Provokasi Gubernur DKI Ahok yang mendiskreditkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mendapat kecaman keras dari Lembaga Penelitian Garuda Institute
Pasalnya, perilaku Ahok itu dinilai sebagai bagian dari pengingkaran terhadap audit Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Pemprov DKI 2014, terutama yang menyangkut pembelian tanah 3,64 ha milik Yayasan Kesehatan Sumber Waras.
Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh Tim Peneliti Garuda Institute (GI). Menurut Koordinator GI, Roso Daras menyatakan bahwa provokasi yang dilakukan Ahok tersebut dinilai memelintir fakta sebenarnya. Sehingga, sangat bertendensi politik, yaitu mendistraksi informasi dan mengaburkan pokok masalah yang lebih substansial, yakni akuntabilitas keuangan Pemprov DKI.
Pokok masalah yang dimaksud Roso adalah sebagaimana termuat dalam 12 (dua belas) temuan fakta atas kajian yang telah dilakukan oleh GI dan didiseminasikan ke publik mengenai pembelian lahan bermasalah untuk RS Kanker Sumber Waras seluas 3,64 ha tersebut
Fakta 1
Pemprov DKI membeli sebidang tanah di bagian belakang areal RS Sumber Waras-Grogol seluas 3,64 ha. Tanah ini tidak siap bangun karena di atasnya terdapat sejumlah bangunan milik RS Sumber Waras yang hingga kini masih difungsikan. Tanah sekaligus wilayah di sekitar tanah tersebut juga dikenal sebagai daerah langganan banjir.
Fakta 2
Tanah 3,64 ha itu berbatasan dengan rumah penduduk (utara), Jl. Tomang Utara IV (timur), Jl. Tomang Utara (barat), serta RS Sumber Waras (selatan). Jl. Tomang Utara adalah jalan kampung sempit yang selalu macet pada jam kerja. Saat ini, tanah tersebut tidak mempunyai akses jalan kecuali melalui tanah milik RS Sumber Waras.
Fakta 3
Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp20,75 juta per meter atau Rp755,69 miliar cash. Harga Rp20,75 juta per meter adalah NJOP tanah bagian depan areal RS Sumber Waras yang berbatasan dengan Jl. Kyai Tapa. Sementara NJOP tanah bagian belakang areal RS yang berbatasan dengan Jl. Tomang Utara hanya Rp7,44 juta.
Fakta 4
Pemilik tanah 3,64 ha itu adalah Yayasan Kesehatan Sumber Waras yang pengurusnya dipimpin oleh Kartini Muljadi, perempuan terkaya di Indonesia. Yayasan itu didirikan oleh orang-orang Tionghoa yang bergabung dalam Perhimpunan Sosial Candra Naya yang sebelumnya bernama Perkumpulan Sin Ming Hui ().
Fakta 5
Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) Nomor 2878 per 27 Mei 1998 dengan masa berlaku 20 tahun, alias habis 27 Mei 2018. Berdasarkan Pasal 36 Ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996, tanah dengan sertifikat HGB yang habis jangka waktunya otomatis menjadi tanah milik negara.
Fakta 6
Tanah 3,64 ha yang dibeli Pemprov DKI memiliki tunggakan utang pajak bumi dan bangunan (PBB) senilai total Rp6,62 miliar. Tunggakan pajak itu tidak menjadi pengurang harga beli sebagaimana lazimnya praktik transaksi tanah. Posisi terakhir, Yayasan Kesehatan Sumber Waras baru membayar 50% dari tunggakan tersebut.
Fakta 7
Transaksi pembelian tanah antara Yayasan Kesehatan Sumber Waras dan Pemprov DKI dilakukan saat yayasan masih terikat dengan Akta Perjanjian Perikatan Jual Beli (APPJB) tanah yang sama dengan PT Ciputra Karya Unggul. Yayasan, seperti diatur dalam APPJB itu, juga telah menerima uang muka Rp50 miliar dari PT Ciputra Karya Unggul.
Fakta 8
Harga tanah dalam APPJB tersebut disepakati Rp15,50 juta per meter, ditambah syarat Yayasan Kesehatan Sumber Waras mengurus perubahan peruntukan tanah tersebut dari umum menjadi komersial. Sementara itu, Pemprov DKI membeli tanah tersebut seharga Rp20,75 juta per meter, tanpa ada syarat perubahan peruntukan.
Fakta 9
Pengurus Yayasan Kesehatan Sumber Waras menawarkan tanah 3,64 ha itu kepada Pemprov DKI dengan alamat di Jl. Kyai Tapa, dengan harga NJOP pada 2014 sebesar Rp20,75 juta per meter (Rp755,69 miliar). Padahal, lokasi fisik tanahnya berada di Jl. Tomang Utara, dengan NJOP pada 2014 yang hanya Rp7,44 juta (Rp564,35 miliar).
Fakta 10
Pemprov DKI membeli 3,64 ha tanah itu Rp755,69 miliar tanpa menawar dan mengecek, sama dengan penawaran Yayasan Kesehatan Sumber Waras. Penawaran disampaikan 7 Juli 2014, dan direspons langsung oleh Gubernur DKI Jakarta pada 8 Juli dengan mendisposisikannya ke Kepala Bappeda untuk dianggarkan dalam APBD-P DKI 2014.
Fakta 11
Pemprov DKI membeli tanah itu untuk dijadikan rumah sakit. Padahal, selain lokasinya tidak strategis, belum siap bangun, langganan banjir, dan tak mudah diakses karena berada pada jalan kampung, Pemprov DKI juga masih punya banyak tanah yang strategis. Apalagi, kebutuhan minimal tanah untuk rumah sakit hanya 0,25 ha (2.500 m2).
Fakta 12
Sekalipun Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama telah mengklaim akan membatalkan transaksi pembelian tanah itu, pada praktiknya pembatalan tersebut nyata bukan sepenuhnya berada dalam kekuasaan Pemprov DKI. Selama Yayasan Kesehatan Sumber Waras tidak mau membatalkannya, maka transaksi itu pun tidak bisa dibatalkan. [sj]