Perjalanan nasib seorang guru honorer disebuah desa kecil

Perjalanan nasib seorang guru honorer disebuah desa kecil

Utang kita sudah banyak di warung ibu Sakinah, mas. Itu yang membuat aku bingung, kata Purwanti. Ucapan itu membuat hati kirman bagai teriris.


Nama tokoh utama dalam cerita ini adalah Sukirman, SPd. (bukan nama sebenarnya) Gelar kesarjanaan dia peroleh dari sebuah Uversitas di kota Solo, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia.

Kirman sudah 5 tahun mengajar di salah satu SMP di desanya. Dengan status guru honorer. Gaji per bulan enam ratus ribu rupiah. Itu diterima sekali tiga bulan.

Kirman menikah tiga tahun lalu setelah menyelesaikan kuliah. Purwanti adalah nama istrinya. Dia hanya tamat SMA. Usianya empat tahun lebih muda dari kirman. Tetapi, sampai saat ini, setelah dua tahun menikah dengan kirman, dia belum juga memberi keturunan. Tetapi, kirman maklum diri dan tidak menuntut itu dan ini. kirman adalah tipe laki-laki yang baik hati.


"Utang kita sudah banyak di warung ibu Sakinah, mas. Itu yang membuat 'Purwanti bingung", demikian ucapan istrinya beberapa minggu lalu sehingga membuat hati kirman bagai teriris. Perasaan iba kepada istrinya membuat kulit tubuhnya terasa dingin. Perasaan bersalah karena tidak bisa membahagiakan istri juga menyentak hatinya.

"Ya aku tahu. Nanti akan kita angsur," jawab kirman kemudian.

"Utang kita sudah delapan ratus tujuh puluh lima ribu, mas,  bulan esok mas tinggal menerima sembilan ratus ribu rupiah. Kalau terus-terusan begini, terpaksa 'Purwanti akan tetap berutang ke sana-kemari. 'Purwanti ingin mas mencari usaha lain. 'Purwanti tidak tahan bila ibu Sakinah merengut menagih utang terus."

Kirman terdiam...

"Ya, 'Purwanti, aku akan mencoba mencari usaha lain, katanya pelan dengan nada pilu". Lalu pikirannya menerawang jauh, memikirkan pekerjaan apa yang akan dia lakukan untuk memenuhi tuntutan istrinya itu. Sedangkan dia tahu, mencari pekerjaan itu begitu susah. Mungkin teramat susah...


Pagi ini Kirman datang ke sekolah lebih awal. Murid-murid masih sedikit yang bermunculan. Sebagian asyik bermain di taman. kirman pun tidak mau diam. Sesampai di kantor dewan guru dia mengeluarkan dari dalam laci buku-buku latihan anak muridnya yang kemarin belum tuntas diperiksa.

Dia membolak-balik buku itu dengan pelan.Kirman sering kali mengerutkan kening setiap kali memeriksa latihan murid-muridnya tersebut.

Tak ada yang baik mengarang. Ini tulisan centang-perenang. Ejaannya pun tak beraturan, celotehnya, kali ini dalam hati, ketika memeriksa buku latihan salah satu muridnya yang bernama Riski Sangidu. Dia ingat wajah anak itu. Anak pemalas. Sering kabur. Suka bergaya. Ah, mau jadi apa ini anak, gumamnya.

Dia juga tahu anak itu bukanlah anak orang kaya. Bapaknya bernama Suyono yang kerjanya setiap hari menjadi kuli panggul dipasar desa. Tetapi, anaknya berlagak seperti anak orang kaya. Suka bergaya. Malah pernah, anak itu kedapatan mewarnai rambutnya dengan warna pink.

Mengingat itu, betapa kirman merasa begitu susahnya membina anak-anak remaja zaman sekarang. Tidak seperti dirinya ketika remaja dulu.

Begitulah kirman, dia merasa banyak yang tidak cocok dan tidak sesuai di dalam hati. Mulai dari sikap murid-muridnya, kebijakan kepala sekolah, atau tentang pendidikan itu sendiri secara lebih luas. Karena itu terkadang dia sering dianggap radikal oleh beberapa teman ketika berdiskusi soal pendidikan.

Tiap sebentar kurikulum diganti-ganti. Kemarin KBK, sekarang KTSP. Tetapi, penerapannya tak ada yang sesuai. Ujian nasional diadakan juga. Yang meluluskan anak murid bukan gurunya. Ini kurikulum macam apa. Bertumpang tindih, demikian kata kirman beberapa hari lalu.

Ini kan demi mencari pendidikan yang ideal, jawab guru Mahmud yang hampir sebaya dengan dia.

Tetapi, ini malah mengacaukan sistem pendidikan. Lihat, karena ujian nasional, para guru-guru memberi kunci jawaban kepada murid-muridnya. Bagaimana ini? Dalam kurikulum KBK maupun KTSP itu kan penilaian diberikan tidak hanya pada kemampuan daya pikir anak, tetapi juga tingkah mereka.

Nah, sedangkan pada ujian nasional kelulusan berdasarkan nilai yang diperoleh lewat ujian itu. Ini bagaimana bisa dijelaskan dengan akal sehat kita. Iya, kan? kata kirman berapi-api.

Tepat ketika kirman menyelesaikan tugas memeriksa latihan murid-muridnya, bel sekolah tanda masuk pun berbunyi. Anak-anak yang sedari tadi sibuk bermain di halaman terlihat berhamburan menuju ke ruang kelas masing-masing. Tawa riang dan suara pekikan anak-anak sekolah itu menggema sampai ke kantor dewan guru.

Kirman pun bersiap-siap memasuki kelas. Sejenak dia memeriksa beberapa buku paket yang berada di dalam tas hitamnya yang mulai pudar warnanya dan rusak retsletingnya.

Sudah beberapa bulan ini dia selalu berpikir kapan akan mengganti tas hitamnya itu dengan tas baru. Tetapi begitulah, sampai sat ini dia belum juga bisa melakukannya.

Dia pun sudah tidak sabar akan mengajar hari ini. Suara riang anak-anak yang dia dengar sejak tadi membuat semangatnya untuk mengajar begitu menggebu.

Dan memang begitu, setiap mendengar suara anak-anak di sekolah semangat mengajarnya begitu tumbuh, melupakan kesulitan hidup yang mengimpit, juga melupakan ceracauan istrinya yang mungkin nanti siang akan kembali dia dengar.

kirman mulai keluar dari kantor dewan guru. Dia lihat anak-anak kelas tiga-satu telah berbaris di depan kelas. Lalu satu-satu dari mereka dengan teratur memasuki kelas. Sejenak dia tersenyum. Langkah kakinya terasa ringan menuju ruang kelas.

"Assalamualaikum," sapa kirman sambil tersenyum.

"Wa'alaikum salam," jawab murid-murid serempak.

Dengan langkah pasti kirman memasuki kelas itu dan duduk di bangku guru. Dia membuka tasnya. Mengeluarkan buku paket pelajaran Bahasa Indonesia. kirman akan memerintahkan murid-muridnya untuk memperhatikan kembali pelajaran yang kemarin dia berikan, tetapi anak-anak di baris paling belakang terdengar berisik di telinganya.

"Ya, aku juga memperhatikannya, sudah tiga hari celana pak Kirman masih yang itu-itu juga," kata Sulkan.

"Ya, ya, jawab Jamal. Bajunya juga. Kemeja kotak-kotak itu kan sering juga dia pakai."

"Bosan juga kita, ya, melihat orang berpakaian yang sering kita lihat."

"Ya iyalah."

"Mata ini kan selalu ingin melihat yang baru."

"Hus, jangan keras-keras. Itu Pak kirman melihat ke arah kita," kali ini Prapti yang duduk di depan mereka menyanggah pembicaraan kedua temannya yang terkenal usil di kelas.

Sebagian mata anak-anak yang lain memandang ke arah Sulkan dan Jamal.

Kirman terdiam sejenak. Kali ini kirman benar-benar merasa malu. Dia salah tingkah. Semangatnya untuk mengajar hari ini tiba-tiba saja buyar. Tetapi, dia tidak mau marah kepada kedua anak muridnya itu. Dia hanya merasa iba hati, pada nasib, juga pada pendidikan yang tidak berpihak kepada dirinya.

Hari itu, Kirman mengajar tidak sepenuh hati. Sindiran yang dilontarkan kedua muridnya tadi benar-benar mengena di hatinya. Sepanjang waktu dia hanya ingat kepada istrinya. Juga pada dirinya sendiri yang selama ini tidak bisa membeli pakaian baru untuk mengajar ke sekolah. Ah, hari itu kirman benar-benar merasa sangat lelah. Melebihi lelahnya pada hari-hari biasa.


Kirman pun pulang dengan gontai. Seperti biasa, dia pulang dengan berjalan kaki. Menyusuri jalan yang berkerikil. Tak ada angkutan. Jalan itu hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Dan kirman tidak memilikinya. Baru berjalan beberapa meter, seorang laki-laki separuh baya menegur Kirman.

"Pak guru," sapa dia.

Dan kirman berhenti.

"Ada apa ?" jawab Kirman mengerutkan kening karena dia tidak mengenal laki-laki itu.

"Saya ingin bertanya. anak saya kan sekolah di tempat Pak Guru mengajar. Katanya saya dengar sekarang pendidikan itu gratis, tetapi kenapa ada uang juga. Tiap semester katanya kami membayar uang tiga ratus tujuh puluh lima ribu rupiah. Bagaimana itu, Pak Guru? " tanya laki-laki itu.

Kirman menyurutkan langkah kaki agak ke belakang. Dia sedang berpikir akan memberikan jawaban apa, sebab itu yang tahu hanya kepala sekolah. Sedangkan dia hanya guru biasa.

"Saya tidak tahu itu, Pak," jawabnya asal saja.

"Tidak tahu?"

"Ya."

"Masak guru tidak tahu. Guru macam apa kamu?"

"Benar, Pak. Saya tidak tahu. Permisi, Pak,"

Kirman pun berlalu meninggalkan laki-laki itu. Sedangkan laki-laki itu seperti aneh melihat kirman. Hari ini kirman semakin bertambah pusing. Kepalanya mulai terasa sakit. Tetapi, dari kejauhan kirman masih bisa mendengar ketika laki-laki itu berkomentar agak kasar.

Guru gila. Mungkin dia juga ikut makan uang dari murid-muridnya....

Sungguh, mendengar kalimat itu, membuat kirman benar-benar merasa mau pingsan.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda