Hilangnya esensi jurnalistik

Hilangnya esensi jurnalistik

jokowi

Secara umum dapat dikatakan bahwa jurnalistik mempunyai fungsi sebagai pengelolaan laporan harian yang menarik minat khalayak, mulai dari peliputan sampai penyebarannya kepada masyarakat mengenai apa saja yang terjadi.

Apapun yang terjadi baik peristiwa faktual (fakta) atau pendapat seseorang (opini), untuk menjadi sebuah berita. Dengan demikian berita yang disampaikan kepada masyarakat haruslah berdasarkan fakta yang sudah di cross check kebenarannya dan bukan bersifat fitnah.

Paska penetapan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang akan mengikuti pemilihan umum presiden (Pilpres) 2014, media masa seakan-akan secara otomatis terpolarisasi menjadi dua kubu, yakni kubu pendukung Prabowo Subianto/Hatta Rajasa (Prabowo/Hatta) dan kubu Joko Widodo/Jusuf Kalla (Jokowi/JK).

Sejumlah media cetak dan terutama media elektronik yang berafiliasi dengan salah satu pasangan calon, cenderung memberitakan hal-hal yag baik dari calon presiden yang menjadi pilihannya, dan pada saat bersamaan memberitakan hal-hal yang jelek dari calon presiden lawannya.

jokowi paloh

Masing-masing media secara terang-terangan menyerang kandidat lawan dengan memberitakan secara terus-menerus segala kejelekan yang bahkan cenderung menjurus ke arah fitnah sekalipun, semata-mata untuk menurunkan elektabiltas kubu lawan.

Sementara itu disisi lain, media cenderung memberitakan hal-hal positif tentang keberhasilan kandidat yang didukungnya, dengan harapan dapat meningkatkan elektabilitas calon presiden dan wakil presiden yang didukung.

Adanya pemberitaan yang memihak dan tidak netral seperti itu, publik akhirnya tidak berhasil memperoleh pemberitaan yang mencerahkan tetapi justru sebaliknya medapat pemberitaan yang membingungkan.

Pemberitaan yang tidak netral, dan membingungkan masyarakat bisa terjadi karena para jurnalis tidak bisa memegang kode etik jurnalisme yang mereka miliki, mengingat sudah cukup banyak para jurnalis/wartawan dari media-media besar yang sudah mengikuti uji kompetensi wartawan.

Para jurnalis pada saat itu sudah kehilangan jati diri sebagai jurnalis profesional, harus tunduk pada keinginan pemilik media tempat mereke bekerja mencari uang. Hal itu tentu saja tidak terlepas dari kolaborasi antara pemilik media dengan calon presiden dan wakil presiden yang berkonsentrasi pada hasil pemberitaan yang tidak objektif.

Pemberitaan seperti itu selalu berujung pada hilangnya esensi jurnalistik, yakni memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat untuk mendapatkan informasi yang benar. Publik kemudian menjadi korban provokasi media. Karena terpaut dengan kepentingan politik maka karakter jurnalistiknya kehilangan etika, hal itu juga berpotensi besar membentuk masyarakat yang tidak beretika pula.

Pemberitaan yang tidak netral disebabkan para jurnalis harus mengikuti apapun keinginan pemilik modal dari media tempatnya bekerja. Terkait dengan keberpihakan, patut dipertanyakan kenapa para jurnalis harus mengikuti apapun keinginan pemilik media.

Alasan ketidaknetralan para jurnalis mungkin turut mendukung pasangan calon sesuai pilihannya, atau memang karena terpaksa disebabkan para jurnalis takut kehilangan pekerjaan. Jika faktor takut kehilangan pekerjaan menjadi alasan jurnalis tidak netral dan harus mengikuti apapun keinginan pemilik media, maka saatnya kita pikirkan secara bersama jalan keluarnya.

Dari sekian banyak wartawan di negeri ini, terkecuali yang bekerja di perusahaan media yang bonafid dan terkenal yang memperoleh gaji tetap dengan berbagai fasilitas dan tunjangan, selebihnya merupakan wartawan yang tidak digaji.


Wartawan yang tidak digaji dan hanya dibekali dengan legalitas berupa surat tugas sebagai wartawan, serta kartu pers, yang bisa digunakan sebagai alat untuk memperoleh penghasilan sendiri dengan jalan memeras pihak lain yang dianggap memiliki kesalahan untuk kemudian bargaining dengan sejumlah materi sebagai konpensasi berita tak muncul di media.

Sebaliknya wartawan yang bekerja di perusahaan media yang bonafit dengan gaji dan fasilitas yang memadai, jelas mereka takut kehilangan semuanya hanya karena berbeda pandangan dengan pemilik media.

Urusan gaji dan penghasilan adalah berarti urusan perut wartawan yang bila kosong pasti akan mempengaruhi otaknya untuk bisa bekerja lebih baik sesuai tuntutan profesi.

Untuk mewujudkan jurnalis profesional, maka kesejahteraan jurnalis tidak dapat ditawar-tawar lagi,
Selain upah layak, perusahaan media juga harus memenuhi jaminan kesehatan dan pendidikan terhadap pekerja pers.

Saat ini, potret kehidupan jurnalis di Indonesia cukup memprihatinkan, buktinya tak sedikit jurnalis di daerah yang memperoleh upah sesuai UMR setiap bulan.

Sebagian masyarakat Indonesia mungkin merasa geram dengan pola dan tingkah media partisan selama masa pemilu 2014. Media yang seharusnya memberikan pendidikan politik, bersifat objektif dan menyatakan kebenaran; berubah menjadi alat propaganda politik, bersifat memihak, dan menyampaikan informasi yang belum tentu valid. Hal yang paling berbahaya adalah ketika media turut terlibat sebagai alat penyebaran kampanye hitam.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda