Ahok tak mau disalahkan dalam pemberian izin reklamasi

Ahok tak mau disalahkan dalam pemberian izin reklamasi

izin reklamasi untuk Muara Wisesa (Agung Podomoro) justru diterbitkan di zaman Ahok dan karena itu, Ahok tidak bisa melempar tanggung jawab ke Foke


Awal Februari silam, Kementerian Perikanan dan Kelautan menuding Ahok melanggar aturan pemberian izin reklamasi. Ahok mengaku hanya melanjutkan izin reklamasi yang sudah dikeluarkan pendahulunya yaitu Foke tapi Dirjen Kelautan, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil, Sudirman Saad mengungkapkan, izin reklamasi untuk Muara Wisesa (Agung Podomoro) justru diterbitkan di zaman Ahok dan karena itu, Ahok tidak bisa melempar tanggung jawab ke Foke.

Tentu, kementerian di bawah Susi Pudjiastuti punya alasan mempersoalkan izin reklamasi yang dikeluarkan oleh Ahok. Pertama, karena pemerintah belum pernah mengeluarkan izin reklamasi untuk membuat 17 pulau di Teluk Jakarta. Izin reklamasi untuk Muara Wisesa misalnya, sebetulnya masih dalam proses pengkajian. Masih status quo.

Kedua, karena seperti kota-kota besar lainnya di Indonesia, Jakarta adalah kawasan strategis nasional. Wilayah lautnya memiliki banyak aspek kepentingan keamanan, kegiatan ekonomi, sumber daya alam hingga fungsi lingkungan hidup.

Ketiga, karena di bawah laut Jakarta ada banyak pipa kabel yang membentang dari tengah laut Jawa ke Muara Karang, dan ditarik ke Tanjung Perak dan Tanjung Priok. Bila reklamasi dilakukan maka dipastikan akan menimpa pipa dan hal itu tentu berbahaya.

Dan memang, sejak rencana Giant Sea Wall bocor ke publik, proyek itu diprotes aktivis lingkungan dan mengundang kontroversi. Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan [Kiara] menuding proyek Giant Sea Wall menyalahi peraturan perundang-undangan karena tidak berbasis kajian lingkungan hidup strategis, analisa dampak lingkungan berikut perizinannya.


Kalau diteruskan, Giant Sea Wall dinilai akan mendatangkan kerusakan hutan mangrove , terumbu karang, abrasi di pesisir, mengancam kehidupan nelayan dan sebagainya.

Dari ITB muncul suara, Giant Sea Wall bukan jalan keluar mengatasi banjir dan penurunan tanah di Jakarta. Pernyataan itu dilontarkan oleh Muslim Muin PhD., ahli kelautan ITB dan dimuat di situs ITB.ac.id.

Dalam hitungan Muslim, Giant Sea Wall justru memperparah banjir di Ibukota, mempercepat pendangkalan sungai, merusak lingkungan laut dan mengancam perikanan lokal, selain menimbulkan masalah sosial.

Sebagai gantinya, esk ketua Kelompok Keahlian Teknik Kelautan itu menawarkan River Dike atau pembuatan tanggul sepanjang pantai pada daerah yang mengalami penurunan tanah dan mempertinggi tanggul sungai dengan konstruksi menancapkan tiang-tiang ke dalam tanah terlebih dahulu. Dengan demikian, andai terjadi penurunan tanah, tanggul tetap akan berdiri.

Muslim mengkuatirkan, bila proyek Giant Sea Wall diteruskan, dampaknya akan terlalu besar. Antara lain harus menutup dua pelabuhan ikan Nusantara, memindahkan puluhan ribu nelayan, selain harus menutup PLTU Muara Karang karena aliran air pendingin tidak lagi tersedia.

Andai PLTU itu dipertahankan, maka biaya operasionalnya akan sangat besar sebab memerlukan pompa yang berjalan terus. Dia memperkirakan, diperlukan dana paling sedikit Rp 30 triliun untuk membangun pembangkit listrik yang setara PLTU Muara Karang.

Mungkin karena kontroversi itu, pemerintah lantas mengisyaratkan akan mengkaji ulang proyek Giant Sea Wall. Hal itu terungkap dari hasil rapat yang melibatkan sejumlah menteri dan tiga gubernur [Banten, DKI Jakarta dan Jawa Barat], 9 Desember tahun lalu.

Pemerintah hanya akan melanjutkan proyek tahap pertama yaitu pembuatan tanggul. Selebihnya, akan dikaji secara menyeluruh dari hulu sampai hilir.

Tapi hampir sebulan kemudian, Ahok malah meneken SK Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 2238 Tahun 2014 pada 23 Desember 2014. Beleid itu memberikan izin pelaksanaan reklamasi Pulau G [Pulau Pluit City] kepada Muara Wisesa, dan itulah yang dipersoalkan oleh Kementerian Perikanan dan Kelautan.

Sudirman menjelaskan, pemberian izin reklamasi bukanlah kewenangan kepala daerah seperti Ahok melainkan kewenangan kementerian, tapi Ahok [seperti biasa] tak mau kalah. Dia menyerahkan masalah izin reklamasi untuk diselesaikan Presiden Jokowi.

Belum ada kabar tentang reaksi Jokowi menanggapi kisruh perizinan reklamasi pesisir Jakarta antara Ahok dengan kementerian di bawah Susi, tapi proyek Giant Sea Wall benar-benar proyek raksasa.

Sumber-sumber tidak resmi menyebut proyek itu akan menelan biaya Rp 300 triliun, tapi angka yang sebetulnya akan lebih mencengangkan. Semasa jadi menteri di era pemerintahan SBY, Chairul Tanjung menyebut ongkos untuk proyek Giant Sea Wall bisa mencapai Rp 500 triliun, angka yang hampir menyamai dana obligasi BLBI. Separuh ongkosnya akan diambil dari uang negara melalui Kementerian PU dan Pemda DKI, dan sisanya akan ditanggung oleh investor swasta, 12 perusahaan itu.


Muslim ahli kelautan ITB itu menduga, banyaknya investor yang bersemangat terlibat di proyek Giant Sea Wall karena ada proyek tembok laut raksasa yang justru bisa menahan banjir dari daratan Jakarta. Abdul Halim, Sekjen Kiara menuding Giant Sea Wall adalah proyek yang hanya berpihak kepada pengusaha dan untuk melindungi proyek-proyek properti yang dibangun di pesisir Jakarta.

Dalam catatan Kiara, sedikitnya ada 16.855 nelayan berikut keluarganya bakal terusir bila Giant Sea Wall dibangun, sementara sampai saat ini, belum ada perencanaan tentang nasib mereka. “Jika Teluk Jakarta dibendung, ke mana nelayan akan mencari ikan?” demikian Halim, kepada wartawan mongabay.co.id.

Tuduhan Halim tentu harus dibuktikan, tapi di situs reklamasi.com disebutkan, Agung Podomoro sudah mengeluarkan daftar harga hunian yang akan dibangun di atas Pulau Pluit City seluas 160 hektare. Antara lain rumah seharga Rp 3 miliar hingga Rp 6 miliar, dan ruko seharga Rp 7 miliar hingga Rp 9 miliar. Agung Podomoro bahkan sudah memasarkan hunian-hunian itu sejak awal tahun ini kepada 100 ribuan konsumen.

Maka sambil menunggu apakah proyek Giant Sea Wall akan diteruskan atau dibatalkan oleh pemerintahan Jokowi, orang-orang bisa mengenang monyet yang sudah lama hilang, bakau dan ketapang yang semakin susah ditemukan di hutan Kapuk akibat proyek reklamasi PIK, seperti ditulis wartawan majalah Tempo hampir 13 tahun lalu.

Atau inikah contoh proyek yang kesekian, tentang bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan kembali bersekutu seperti halnya dulu PIK dan Ciputra di zaman Orde Baru?

Penulis : Rusdi Mathari

Baca : Ahok sudah memberi izin reklamasi pada 4 pengembang
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda