Penguasa komprador atau antek mungkin terdengar ganjil. Masa iya, negera-negara sudah merdeka, penguasanya komprador atau antek asing? Namun, fakta berbicara, memang penguasa komprador atau antek itu benar-benar ada. Tentu saja bentuknya sedikit berbeda dengan masa penjajahan fisik dulu.
Apa dan siapa sebetulnya penguasa antek/komprador itu?
Dulu, istilah komprador bermakna pengantara bangsa pribumi yang dipakai oleh perusahaan-perusahaan atau perwakilan asing dalam hubungannya dengan orang-orang pribumi.
Dalam perkembangannya istilah komprador berkembang dalam ranah politik. Penguasa komprador adalah penguasa yang menjadi kaki tangan negara asing, khususnya negara besar, dalam hubungannya dengan rakyat.
Zaman penjajahan dulu dikenal para demang. Mereka adalah orang Indonesia yang menjadi penguasa, tetapi mengabdi bagi kepentingan Belanda. Nah, kedudukan para demang dulu tidak jauh berbeda dengan penguasa komprador sekarang. Dalam bahasa Arab dikenal dengan sebutan al-’umala’ alias penguasa boneka.
Apa tanda-tanda yang bisa dikenali untuk mendeteksi penguasa komprador itu? Ada beberapa tanda yang dapat dikenali.
Sering mengikuti kebijakan asing. Sebagai contoh, pada tahun 1989 terdapat kesepakatan antara AS, Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia yang dikenal dengan The Washington Concensus. Di dalamnya terdapat kebijakan liberalisasi perdagangan, privatisasi, dan pencabutan subsidi. Penguasa yang membebek kepada AS menerapkan kebijakan tersebut.
Perusahaan-perusahaan negara (BUMN) dijual kepada asing, subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut, mengikuti pasar bebas sekalipun tidak siap, dll. Dari aspek politik, ketika AS menyerukan war on terrorism (perang melawan terorisme) segeralah penguasa negeri Muslim yang menjadi kompradornya menerapkan hal yang sama terhadap umat Islam.
Mengeluarkan undang-undang (UU) yang lebih pro asing daripada pro rakyat. Sebut saja UU Migas yang memberikan kesempatan besar bagi asing untuk menguasai migas, UU SDA hingga asing pun diperkenankan menguasai sumberdaya air, dll.
Dalam suatu kesempatan di televisi Kwik Kian Gie pernah mengatakan, bagaimana penyusunan kabinet ditunda karena Presiden menunggu kedatangan Duta Besar AS.
Dalam bekerjasama dengan asing lebih menjaga kepentingan asing. Dalam masalah minyak, misalnya, bagaimana daerah kaya minyak Blok Cepu diserahkan kepada Exxon, atau tambang emas di Papua diserahkan kepada Freeport.
Namru 2 yang merupakan tim angkatan laut AS yang berkedok penelitian kesehatan dibiarkan terus berjalan tanpa tersentuh hukum karena diberi kekebalan diplomatik.
Mengapa bisa muncul penguasa komprador, padahal penguasa dipilih oleh rakyat dan diawasi oleh wakil-wakil mereka?
Memang rakyat memilih langsung penguasanya. Namun, jangan lupa, rakyat akan memilih sesuai dengan opini yang dikembangkan media massa, sesuai politik pencitraan.
Padahal media massa itu dikuasai oleh para pemilik modal yang sebagian besar orang asing. Opini pun dibuat sedemikian rupa sesuai dengan kepentingan mereka. Belum lagi untuk biaya kampanye, dananya darimana?
Politik uang yang semarak dimana-mana dananya dari siapa? Mestilah dari perusahaan, baik swasta maupun asing, atau ada juga yang langsung dari negara besar melalui lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk turut menyukseskan calon penguasa tertentu.
Pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidaklah efektif. Slogan check and balances hanyalah teori. Betapa tidak, penguasa berhasil naik ke tampuk kekuasaan karena didukung oleh partai atau koalisi partai-partai dominan di Parlemen.
Koalisi pendukung penguasa alih-alih mengoreksi penguasa, justru mendukungnya. Sekadar contoh saja, interpelasi tentang beras terganjal, interpelasi terkait kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pun kandas.
UU yang dibuat Pemerintah bersama DPR pun berupa UU yang lebih pro asing. Mengapa? Sebab, Pemerintah maupun wakil rakyat yang dominan di DPR sebenarnya satu dan saling mendukung. Sayangnya, mereka saling mendukung dalam kepatuhan pada kepentingan asing. Akibatnya, penguasa komprador leluasa berjalan. (qentooz)