Belangnya Ahok dalam pembelian tanah RS Sumber Waras (3)

Belangnya Ahok dalam pembelian tanah RS Sumber Waras (3)


Sesungguhnya, peraturan dibuat untuk memperlancar proses, tertib administrasi dan mencegah Tipikor. Dengan demikian program bisa dipertanggungjawabkan. Di dalam pembelian tanah RS Sumber Waras, Kadiskes DKI mengakui telah membuat kajian teknis, tetapi belum sesuai dengan Perpres Nomor 71/2012. Suatu pengakuan jujur yang perlu diapresiasi.

Sesuai Perpres 71/2012, penentuan lokasi untuk kepentingan umum harus melalui perencanaan dan kajian. Langkah awal, ditentukan beberapa alternatif, dibandingkan dan diuji oleh tim Persiapan Pengadaan Tanah. Sebagai ilustrasi, memilih pengganti stadion Lebak Bulus, dalam Rapim ditentukan beberapa alternatif lokasi untuk dikaji secara komprehensif oleh tim, hasil baru diajukan kepada Gubernur.

Normalnya, Gubernur hanya memberikan arah kebijakan. Gubernur tidak ikut campur secara detail, seperti rapat dengan pemilik tanah, dan mengarahkan tanah yang harus dibeli. Apalagi menyetujui langsung harga yang ditawarkan tanpa kajian staf dan tim. Untuk menjaga Gubernur agar tidak masuk wilayah pekerjaan anak buah dan terjerat Tipikor, satu-satunya cara hanya mematuhi aturan perundang-undangan.

Terlepas ada atau tidak ada kajian apakah rumah sakit tersebut sebagai kebutuhan mendesak rakyat Jakarta, kita dapat menguji dari sisi kelayakan lokasi tanah. Berdasarkan kajian tehnis yang ditanda tangani Kadiskes DKI, syaratnya antara lain (1) siap bangun (2) bebas banjir (3) akses jalan besar (4) minimal 2500 m2.

Dari syarat yang ditentukan, tanah milik RS SW yang dibeli tidak memenuhi syarat. Tanah tidak siap bangun, masih ada 15 bangunan yang digunakan rumah sakit. Areal RS SW daerah banjir, tidak strategis dan rawan macet. Lokasi tidak di jalan besar Kyai Tapa, tetapi di jalan arteri Tomang Utara.

BPK berpikir kritis. Mengapa Pemprov DKI seperti memaksakan untuk membeli tanah milik RS SW tersebut? Mengapa Plt Gubernur Ahok memberikan disposisi hanya satu hari dari surat penawaran? Mengapa Pemprov memaksakan pembayaran pada tgl 31 Desember 2014, dengan cara yang tidak lazim? Mengapa tanah tersebut dibayar padahal masih menunggak pajak PBB Rp. 6.616.205.808?

BPK menilai pembelian tersebut tidak efektip dan berindikasi pemborosan. BPK menunjuk sejumlah tanah yang dimiliki Pemprov DKI yang pantas untuk rumah sakit, antara lain di Jl. MT Haryono Kav 35, 36 dan 37 seluas 12.000 m2. Mengapa mesti menghamburkan uang rakyat membeli 36.410 m2, padahal kebutuhan minimal 2500 m2 ?

Kasus ini menjadi aneh ketika Wagub mengatakan pembelian itu bukan inisiatip Gubernur. Suatu pernyataan bernada pembelaan. Kalau bukan inisiatip Gubernur, lalu inisiatip siapa? Bawahan, temen, istri, saudara atau siapa? Pernyataan Wagub menjadi menarik untuk ditindaklanjuti. Pertanyaan nakal, siapakah inisiator dibalik kasus ini?

Dalam birokrasi, hal terpenting itu pada keputusan pemimpin. Artinya, inisiatip boleh datang dari mana saja, tetapi tanggung jawab tetap pada pemilik otoritas memerintah dan memutuskan. Ketika Gubernur telah memberikan perintah lewat disposisi kepada Kepala Bappeda pada surat penawaran, berarti tanggung jawab sudah ada di Gubernur.

Pada umumnya, dalam berbagai kasus dimana saja, pimpinan bisa marah jika ternyata inisiatip bawahan membawa malapetaka. Bagaimana bentuk kemarahan pemimpin bisa macem-macem. Ada yang memainkan pena dengan hukuman administrasi, menegor lisan sampai dengan marah yang tidak terukur.

lanjutan
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda