Menyandang nama besar keluarga bukan berarti mereka ini kemudian menjadi anak manja, menyandang nama besar keluarga, bisa menguntungkan dan bahkan merugikan jika tidak bisa menjaga citra dirinya.
Ternyata, mereka pun memiliki prestasi yang cemerlang, bisa mandiri, dan tidak sekedar party-party, traveling pake pesawat pribadi doang. Banyak yang well-educated and brainy. bukan sekedar spoiled kids.
Mungkin kalian tidak tau kalau ada sekelompok orang di Indonesia yang kehidupannya seperti Serena Van der Woodsen di Gossip Girl?
Pasti ada yg sinis bilang ya itu kan karena mereka punya uang. Money makes everything easier but they would did not to be there ternyata salah, kalau cuma ngandelin uang itu bukan tujuannya.
Ada banyak pengusaha Indonesia yang jarang absen masuk listnya Forbes, misalnya:
- Budi dan Michael Hartono (Grup Djarum),
- Anthoni Salim (Grup Salim),
- Eka Tjipta Widjaja (Grup Sinarmas),
- Mochtar Riady (Lippo),
- Sukanto Tanoto (Raja Garuda Mas),
- Susilo Wonowidjojo (Gudang Garam),
- Sri Prakash Lohia (Indorama),
- Tahir (Grup TNT)
- Aksa Mahmud (Grup Bosowa).
Code lab sering bertanya-tanya, kok bisa ya mereka menghimpun kekayaan sampai trilyunan dolar, dalam kurun waktu kurang dari 100 tahun. Ternyata para Konglomerat ini, terutama yang generasi pertama, memang punya etos kerja gila-gila-an. Mereka juga sangat konsisten dan berani ambil resiko.
Contoh:
Eka Tjipta Widjaja pendiri Sinarmas. Dia imigran dari Cina, dibesarkan di keluarga miskin dan hanya tamat SD. Mulai bisnis di umur 15 tahun. Bisnis pertamanya jualan gula dan biskuit, beli dari grosir kemudian dijual eceran. Saat tentara Jepang datang ke Makassar, dia melihat ada peluang.
Ada banyak barang buangan tentara seperti semen, material bangunan dsbnya. Eka Tjipta ingin mengambil barang-barang itu dan menjualnya, tapi bagaimana ?
Suatu hari dia dapat ide. Dia mendatangi basecamp tentara-tentara itu jam 4 pagi dengan membawa peralatan masak serta bahan makanan serta minum seperti ayam, kopi, brandy dll.
Kemudian berjualan berjualan disini, singkat cerita dia boleh membawa barang-barang yang tidak terpakai tersebut. itulah sosok Eka Cipta Widjaya manusia pekerja keras.
Selain bekerja keras, kebanyakan dari mereka yang memiliki usaha di masa Orba juga mendapatkan banyak "kemudahan" karena kedekatannya dengan penguasa. Hal ini bisa terjadi karena kepandaiannya dalam mengambil hati pejabat.
Contohnya Grup Salim dan Soeharto. Liem Sioe Liong/Sudono Salim sohiban dengan Soeharto sejak Pak Harto belum jadi presiden. Soeharto dan Salim sudah menjalin hubungan sejak Soeharto ditempatkan di Div Diponegoro (1950-an), di Jawa Tengah.
Dr buku Asian Godfather-nya Joe Studwell dikatakan kalau mereka terlibat dalam perdagangan dan aktivitas penyelundupan. Salim dapat monopoli dan hak-hak eksklusif dari pemerintah saat Soeharto jadi presiden. Di tahun 1968, Salim dapat lisensi untuk impor cengkeh.
Harga impor dan jual cengkeh di pasar domestik sudah ditentukan oleh pemerintah jadi lebih mahal daripada standar jual di pasar dunia. Lalu bagaimana para konglomerat ini hampir dua dekade setelah Soeharto lengser? Mereka terlalu kuat untuk ikut lengser, meski Grup Salim sempat goyah di awal 2000 an tapi Anthoni Salim berhasil membangkitkannya lagi.
Saat krisis, Grup Salim menjual beberapa anak usahanya, termasuk BCA. Tapi Grup Salim tetap mempertahankan Indofood. Keputusan yang sangat tepat! Indofood adalah Salim's pride. Salah satu usaha yang paling moncer. Itulah sekelumit cerita, sekarang kembali ke topik.
Kini para konglomerat tua lebih asyik duduk manis melihat anak-anak atau cucu-cucu mereka mengelola bisnis yang didirikannya puluhan tahun lalu.
Kalau Liem Sioe Liong alias Sudono Salim punya Antony Salim atau Mochtar Riady punya James Riady, kini generasi ketiga dari keluarga para taipan ini sedang bersiap menerima estafet kepemimpinan. Tentu saja gaya kepemimpinan para cucu ini berbeda dengan gaya pendahulunya. Sebab, mereka kebanyakan mengenyam pendidikan di luar negeri.
Usianya relatif muda, namun posisinya di Salim Grup, cukup strategis. Dia adalah Axton Salim, anak dari Anthony Salim yang disebut-sebut penerus Salim Grup. Peraih gelar Bachelor of Science Business Administration dari University of Colorado, Amerika Serikat itu, menjalani lelaku bisnis awal sebegai karyawan Credit Suisse, Singapura.
Baru 2004, Axton masuk Indonesia dan dipercaya sebagai Marketing Manager PT Indofood Fritolay Makmur. Dua tahun berselang, dia dipromosikan sebagai asisten CEO Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF). Mendampingi sang ayah, Anthony Salim yang menjabat President CEO Indofood.
Talenta bisnis Axton terasah secara alamiah. Ini membuat Anthony Salim semakin yakin akan pilihannya. Alhasil, Axton dibebani tanggung jawab baru sebagai direktur Indofood Agri Resources Ltd, sejak 23 Januari 2007.
Belum genap setahun, dia ditunjuk sebagai Non-Executive Director untuk Indofood Agri Resources Ltd. Selanjutnya, dipercaya menjadi komisaris PT Perusahaan Perkebunan London Sumatra Tbk (LSIP). Posisi penting lainnya, komisaris PT Salim Ivomas Pratama, Non-Executive Director PT Indolakto and Pacsari Pte Ltd.
Bersambung "Bebaskan Indonesia dari perbudakan Cina"