Suatu hari di tahun 1958, Panglima Komando Daerah Militer Diponegoro berseru di depan para prajuritnya. “Seorang pemimpin atau perwira harus senantiasa sadar tentang apa yang dilakukannya. Ia harus pula bersikap jujur dan tidak licik,” tegasnya.
“Kekuasaan pemimpin tidaklah mutlak. Kekuasaan itu bersumber pada kepercayaan yang diberikan anak buah atau rakyat yang dipimpinnya. Tanpa kepercayaan ini, tak mungkin seorang pemimpin berwibawa,” lanjut sang panglima.
Panglima yang berteriak lantang itu sejatinya berkarakter kalem. Ketika nanti menjabat sebagai presiden Indonesia, ia dijuluki The Smiling General: tak banyak bicara, jenderal yang terkenal dengan senyumannya yang ikonik. Namun, meski tak berwajah garang, (rezim) Soeharto menggebuk pihak-pihak yang ia anggap (bisa) merongrong. Ya, ia adalah Presiden Republik Indonesia ke-2, Soeharto.
The Smiling General
Seruan yang dikutip dari buku Anak Desa: Biografi Presiden Soeharto karya O.G. Roeder (1976:219) tersebut tampaknya terlalu berat untuk Soeharto. Ia terbukti tidak mampu menjalankan imbauannya sendiri.
“Kekuasaan pemimpin tidaklah mutlak,” katanya, tapi ia bertakhta selama lebih dari 30 tahun di pucuk kekuasaan negeri ini sebelum akhirnya “mengundurkan diri” setelah dituntut lengser oleh aksi rakyat dan mahasiswa pada Mei 1998.
Simak pula lidah Soeharto yang berucap, “Ia (pemimpin) harus pula bersikap jujur dan tidak licik.” Belum genap setahun, Soeharto sudah melanggar nasehatnya sendiri tentang dua sifat mulia itu. Tanggal 17 Oktober 1959, ia tersangkut kasus.
Eros Djarot (2006:41) dalam buku Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-30-S/PKI menyebut bahwa Soeharto nyaris dipecat karena menggunakan kuasa militernya sebagai Pangdam Diponegoro untuk memungut uang dari berbagai perusahaan di Jawa Tengah.
Tak hanya itu, Soeharto juga ketahuan melakukan penyelewengan dengan menyelundupkan gula dan kapuk ilegal bersama Bob Hasan dan Liem Sioe Liong. Dua orang ini nantinya menjadi kongsi karib Soeharto selama Orde Baru berkuasa.
Persekongkolan Soeharto yang tentara dengan para juragan itu diungkapkan Joe Studwell (2009:30) dalam buku Asian Godfathers: Menguak Tabir Perselingkuhan Pengusaha dan Penguasa. Itu bukan yang pertama dan terakhir. Kelak, Soeharto dan banyak pemuka militer Indonesia lainnya yang menjalin relasi mesra dengan kaum saudagar.
Perkara-perkara beraroma korupsi itu tak pelak memantik murka Menteri Keamanan dan Pertahanan A.H. Nasution. Nasution pun berniat memecat Soeharto. Beruntung, berkat campur-tangan Jenderal Gatot Soebroto, karier militer Soeharto terselamatkan.
Indonesia di Era Orde Baru
Terlepas dari dosa-dosa Soeharto, baik sebelum, selama, juga setelah menjabat sebagai Presiden RI, seperti yang terekam dalam banyak referensi, bukan berarti The Smiling General nihil jasa untuk Indonesia.
Selama Orde Baru, Soeharto mencanangkan perbaikan untuk Indonesia. Lewat pembangunan terencana yang diaplikasikan melalui tahapan Repelita, ia yakin Indonesia akan tinggal landas pergantian milenium, tahun 2000, meski akhirnya itu tidak pernah terjadi.
Tahun 1984, misalnya, Indonesia meraih swasembada pangan yang membuat Soeharto mendapat kehormatan berpidato dalam Konferensi ke-23 Food and Agriculture Organization (FAO) di Roma, Italia, pada 14 November 1985. Soeharto juga memberikan bantuan 100.000 ton padi untuk korban kelaparan di Afrika.
Jangan lupa baca juga : Yayasan Prasetya Mulya konglomerasi kelompok Cina yang berkedok lembaga nir-laba
Selain itu, Soeharto juga membangkitkan Indonesia dari keterpurukan ekonomi. Tahun 1967, negeri ini punya utang luar negeri sebesar 700 juta dolar AS, dan Soeharto dibantu para pakar ekonomi, terutama Soemitro Djojohadikoesoemo, membalikkan keadaan yang berpuncak pada swasembada pangan pada 1984 (Laidin Girsang, Indonesia Sejak Orde Baru, 1979:41).
Namun, selain kesuksesan di bidang ekonomi, rezim Soeharto juga disorot dalam perkara-perkara pelanggaran hak asasi manusia. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat setidaknya 10 kasus, mulai dari Pulau Buru terkait kader PKI, penembakan misterius yang terkait kriminalitas, daerah operasi militer di Aceh dan Papua, peristiwa Talangsari, sampai penculikan dan kerusuhan Mei 1998.
Akhir Sang Penguasa
Program Keluarga Berencana (KB) juga menjadi salah satu prestasi Soeharto. Ia meyakini kenaikan produksi pangan yang besar tidak akan banyak artinya jika jumlah penduduk tak terkendali. Misi KB adalah tercapainya jumlah penduduk yang serasi dengan laju pembangunan.
Soeharto dengan cerdik merangkul Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk memuluskan program KB yang sempat mendapat penolakan dari kaum agamis. Fatwa MUI tentang KB membuat masyarakat tenang karena merasa tidak melanggar ajaran agama (Nazaruddin Sjamsuddin, Jejak Langkah Pak Harto:16 Maret 1983-11 Maret 1988, 1992:51).
Hasilnya, angka kematian bayi dapat ditekan, juga usia harapan hidup rata-rata orang Indonesia yang semula hanya 41 tahun pada 1965, meningkat menjadi 63 tahun pada 1994.
Keberhasilan ini menghasilkan pujian dari UNICEF. Soeharto pun diganjar UN Population Award, penghargaan tertinggi PBB di bidang kependudukan, yang diberikan langsung oleh Sekjen Javier de Cuellar pada 8 Juni 1989 di Markas Besar PBB, New York.
Pengakuan untuk Soeharto tidak hanya datang dari dalam negeri. Ia mengoleksi 37 tanda kehormatan dari berbagai negara di dunia (Dewi Ambar Sari & Lazuardi Adi Sage, Beribu Alasan Rakyat Mencintai Pak Harto, 2006: 29).
Krisis moneter yang menjangkiti Asia hingga ke Indonesia menjadi awal dari kejatuhan Soeharto. Ditambah sejumlah blunder politik di detik-detik akhir kekuasaannya dan makin tidak terbendungnya gelombang rakyat yang menuntut perubahan, akhirnya Soeharto menyerah. Ia mengumumkan berhenti sebagai presiden pada 21 Mei 1998, aksi yang ia sebut sebagai "lengser keprabon."
Hampir 10 tahun kemudian, pada 27 Januari 2008, Soeharto meninggal dunia setelah 24 hari dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina Jakarta. (Iswara N Raditya)