Demokrasi ala Bung Hatta, Satu pikiran yang briliant dari salah seorang Proklamator Kemerdekaan

Demokrasi ala Bung Hatta, Satu pikiran yang briliant dari salah seorang Proklamator Kemerdekaan

Hatta mengingatkan kita tentang anomali demokrasi. Di tangan orang yang terlalu ultra-demokratis, demokrasi bisa menjadi kuda liar yang kehilangan kekangnya


Tersebutlah sebuah risalah yang hadir di suatu hari pada tahun 1960. Adapun risalah yang ditulis di majalah Panji Masyarakat itu adalah karya Mohammad Hatta, yang mengakibatkan Sukarno berang. Majalah itu dilarang terbit.

Tulisan berisi kritik terhadap Demokrasi Terpimpin itu mungkin menjadi salah satu renungan terbaik perihal demokrasi yang pernah kita miliki. Agaknya, Hatta kecewa dengan tabiat dan pembawaan flamboyan Sukarno, yang mempermainkan tata negara.

Tetapi harapannya tidak ciut: “Demokrasi bisa tertindas sementara, karena kesalahannya sendiri. Tetapi setelah ia mengalami cobaan yang pahit, ia akan muncul kembali dengan keinsafan,” demikian tutur Hatta.

Penilaian politik yang dikemukakan oleh Bung Hatta ini mendapat perhatian penuh dari peminat-peminat politik, baik didalam dan diluar negeri. Hanya sayang pada waktu itu selain “Pandji Masyarakat” dilarang terbit dan keluar pula larangan membaca, menyiarkan bahkan menyimpan buku itu.

Satu pikiran yang briliant dari salah seorang Proklamator Kemerdekaan dilarang keras untuk dibaca dan diancam hukuman barang siapa kedapatan menyimpan buku tersebut.

Lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, Hatta mengingatkan kita tentang anomali demokrasi. Di tangan orang yang terlalu ultra-demokratis, demokrasi bisa menjadi kuda liar yang kehilangan kekangnya. Menurut Hatta, Sukarno sosok yang berbanding terbalik dengan tokoh Mephistopheles, tokoh rekaan Goethe dalam drama Faust.

Sementara Mephistopheles adalah sosok yang berkeinginan jahat yang toh menghasilkan hal-hal yang baik, Sukarno “tujuannya selalu baik tetapi langkah-langkah yang diambilnya sering membawanya menjauh dari tujuan-tujuan itu,” demikian Hatta menulis.

Dimana-mana orang merasa tak puas. Pembangunan dirasakan tidak berjalan sebagaimana mestinya, seperti yang diharapkan. Kemakmuran rakayat yang dicita-citakan masih jauh saja. Sedangkan nilai uang makin merosot. Rencana yang terlantar banyak sekali.

keruntuhan dan kehancuran barang-barang kapital tampak dimana-mana. Seperti rusaknya jalan-jalan raya, irigasi, pelabuhan, berkembangnya irosi dan lain-lain.

Pembangunan demikrasi pun terlantar karena percekcokan politik senantiasa. Indonesia yang adil yang ditunggu-tunggu masih jauh saja. Pelaksanaan outonomi daerah dengan urusan keuangan sendiri yang lama sekali menunggu menadi sebab timbulnya pergolakan daerah. (demokrasi kita, Hatta)

Di setiap zaman, anomali demokrasi memiliki variannya sendiri. Tak hanya di era Sukarno, Soeharto, Habibie , Gusdur, Megawati tapi juga SBY. Tapi dalam risalah Demokrasi Kita yang masyhur itu, Hatta sudah memberikan pegangan bahwa kapan pun, metabolisme demokrasi bisa berlangsung secara alamiah bila dijaga oleh rasionalitas dan konstitusi.

Hatta dikenal sebagai seorang penganut sosialis. Saat menjadi mahasiswa di Belanda, dasar-dasar pemikirannya dibentuk di kalangan sosialis. Ia banyak menulis di buletin kalangan sosialis macam De Vlam, De Socialist, Recht in Vrijheid.

Tapi, yang mencolok dari sikap politiknya itu, ia tumbuh menjadi seorang sosialis yang rasional. Artinya, Hatta tak terseret pada suatu pemelukan paham yang membabi-buta atau penganut sosialisme yang romantik dan melankolis terhadap gelora perjuangan. Para pengamat politik bahkan menganggap bawa sesungguhnya sikap rasional Hatta “secara tak sadar” memberikan sumbangan pada pembentukan awal republik ini.

Sejarah mencatat bahwa “singa” Pujangga Baru, Sutan Takdir Alihsjahbana, adalah tokoh paling populer yang menekankan pentingnya aufklarung (pencerahan) akal budi dalam strategi kebudayaan. Itu terpancar dari polemik kebudayaan melawan pemikiran Sanusi Pane. “Tapi sesungguhnya Hatta adalah sosok pemimpin pertama yang membawa Indonesia ke arah kebudayaan yang lebih rasional,” tutur pakar ekonomi Sarbini Sumawinata kepada TEMPO.

Argumentasi Sarbini bisa dijadikan rujukan karena memang, sebelum keberangkatan Hatta ke Belanda, ia tak pernah menunjukkan tanda-tanda atau minat pada sesuatu yang berbau intuitif ketimuran.

Padahal, seperti yang dicatat ahli sejarah Akira Nagazumi, hampir semua tokoh nasionalis radikal seperti Radjiman Widjodiningrat, Cipto Mangunkusumo, Soewardi Soerjaningrat, Douwes Dekker, Armijn Pane, Sanusi Pane, dan Mohammad Yamin adalah anggota Theosophy.

Di masa itu, Theosophy dikenal sebagai sebuah organisasi kebatinan yang didirikan seorang ningrat berdarah Rusia bernama Helena Petrovna Blavatsky. Inilah sebuah zaman ketika pelbagai pergerakan berhasil memukau banyak pemuda Hindia Belanda.

Namun, pemuda Hatta menolak tawaran menjadi anggota Theosophy di Batavia. Sampai akhir hayatnya, hampir tak ada artikel Hatta yang basis argumentasinya bertolak dari hal yang berbau mistisisme ketimuran.

Sebaliknya, masa kecil Sukarno di Surabaya diwarnai dengan gemblengan dalam perpustakaan teosofi lantaran ayahnya, Sukemi, adalah anggota aktif Theosophy. “Bapakku seorang teosof. Karena itu, aku boleh memasuki peti harta ini (maksudnya perpustakaan).

Aku menyelam lama sekali ke dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku...,” demikian ditulis Sukarno suatu ketika. Akibatnya, kecenderungan pemikiran Sukarno yang sinkretis-mencampur-adukkan berbagai isme seperti Nasakom-adalah pancaran dari pendidikan teosofinya itu.

SIKAP yang paling khas dari Hatta adalah, ia bisa menjadi seorang rasional tanpa harus kebarat-baratan. Begitu banyak orang yang mengenalnya berkali-kali berkisah betapa tokoh yang taat beragama ini menjauhi dansa dan pelbagai “warna-warna” pergaulan Barat. Yang diambil dari visi Barat adalah sikap disiplin dan keterampilan berorganisasi.

Sementara itu, pemikiran Hatta sangat berorientasi pada kerakyatan dan pemberdayaan hal-hal lokal melalui pergumulan yang panjang. Hatta datang ke Belanda untuk menjadi seorang komunis. Saat itu, pemikiran leftist (kiri) adalah sesuatu yang melahirkan pesona, merangsang pemikiran.

Komunisme adalah zeitgeist, suatu panggilan rohani bagi pemuda dunia ketiga. Ia seolah menjadi satu-satunya alat untuk mendongkel imperialisme. Tapi pemuda Hatta lalu cepat berjarak. Ia tampaknya lekas mengerti bahwa ada semacam tahayul ilmiah di dalam pesona komunisme.

Apalagi ada karakter komunisme yang memang tak cocok dengan watak Hatta, yang sejak kecil tahan menyendiri ini: komunisme cenderung merayakan pengerahan fisik orang ramai. Ia keluar dari Liga Anti-Imperialis karena liga ini dikuasai oleh eksponen komunis.

Semenjak di Belanda, seperti pernah ditulis John Ingleson, Hatta berseteru dengan Semaun, seorang aktivis Partai Komunis Indonesia di Amsterdam pada tahun 1924. Sejak itu pula, Hatta membawa serangkaian kritiknya terhadap komunis pulang ke Indonesia, sembari dengan gigih menangkis serangan Tan Malaka terhadap Dwitunggal.

“Meskipun sama-sama lahir di Minangkabau, mereka bermusuhan,” kata Harry A. Poeze, penulis biografi Tan Malaka dari KITLV (Koninklijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde), Belanda, kepada TEMPO.

Konflik antara Tan Malaka dan Hatta terutama meningkat saat saat pendudukan Jepang. Ia menuduh Sukarno-Hatta berkolaborasi dengan Jepang. Banyak artikel yang memperdebatkan strategi Sukarno-Hatta terhadap Jepang: apakah yang dilakukan Sukarno-Hatta itu sebuah kolaborator atau semacam strategi? Mengapa Hatta diam saja terhadap kebijakan romusha?

Adakah fasisme, yang berasal dari kata fasces (Yunani)-yang berarti onggokan anak panah orang Romawi yang diikat erat itu-telah mengikat Hatta dengan erat kepada kemauan para samurai? Tentu saja tidak.

Mereka yang percaya bahwa kerja sama Sukarno-Hatta dengan Jepang adalah sebuah strategi akan selalu merujuk kesuksesan proklamasi. Proklamasi, boleh dibilang, adalah hasil puncak dari strategi itu. Sedangkan mereka yang menganggap dwitunggal itu sebagai kolaborator pasti akan memper-tanyakan kebijakan romusha.

Tonggak politik Hatta setelah proklamasi adalah perannya dalam mengubah Demokrasi Presidensial ke Demokrasi Parlementer. Melalui Maklumat X Tanggal 16 Oktober 1945, Hatta meneken pergantian itu. Pakar politik Lambert Giebels, yang baru saja meluncurkan buku Biografi Sukarno, menilai tindakan tersebut sebagai sebuah kudeta diam-diam (quiet coup).

“Bayangkan, hanya dengan secarik kertas dan goresan pena, sistem presidensial yang tercantum dalam UUD 1945 diubah. Setelah peristiwa memalukan itu, Sukarno sampai menenangkan diri ke Pelabuhanratu,” kata Giebels kepada TEMPO.

Di dalam buku Indonesia Free: a Political Biography of Mohammad Hatta, peneliti dari Universitas Cornell, Mavis Rose, menyatakan bahwa memang dalam pemikiran Hatta yang ideal, kekuasaan yang dibagi (secara) luas adalah yang paling mendekati cita-citanya tentang demokrasi.

Pakar hukum Daniel Lev menganggap bahwa kabinet parlementer di masa lalu memang jauh lebih bermutu dibandingkan dengan sistem presidensial dalam era kepemimpinan presiden mana pun di Indonesia.

“Pada periode parlementer Hatta, elite yang ada bermutu bagus. Sedangkan di masa Orde Baru, sistem parlementer memiliki citra buruk,” tutur Lev kepada TEMPO.

Mimpi Hatta yang lain adalah bentuk negara federalisme. Tapi agaknya Hatta sadar bahwa sistem federal belum populer di Jawa. Seperti yang dicatat Deliar Noer, Hatta tidak ngotot menjalankan konsep federalismenya, meski-seperti yang diakui Harry Poeze-gagasan federalisme bergelora secara diam-diam di dalam diri Hatta.

Poeze mencatat bahwa Hatta melepaskan jabatan wakil presiden pada tahun 1957 karena merasa bahwa-dalam UUDS 50, tugas wakil presiden hanyalah seremonial, dan mengakibatkan awal pemusatan orang Jawa di lingkaran kekuasaan.

“Semua kudeta lokal Sulawesi dan Sumatra melawan pemerintah pusat itu terinspirasi oleh mundurnya Hatta,” kata Poeze. Tapi banyak pakar sejarah dan politik yang menyayangkan mundurnya Hatta dari jabatan itu.

Sebab, justru hilangnya Hatta dalam jabatan strategis itu semakin membuka jalan yang lebar bagi lahirnya Demokrasi Terpimpin.

SETELAH mundur dari pemerintah, Hatta semakin mengembangkan gagasan-gagasan ekonomi-politiknya. Dia berkembang menjadi seorang pemikir Indonesia yang berusaha bergulat menemukan visi ekonomi yang kontekstual.

Ekonom Anne Both pernah mengatakan bahwa sejarah perekonomian Hindia Belanda belum pernah dikaji secara serius oleh para pemikir kita. Akibatnya, hingga kini para pemikir ekonomi Indonesia tidak melahirkan sebuah paradigma ekonomi yang mengakar.

Ini berbeda sekali dengan keadaan di Asia Selatan. Banyak pakar sejarah dan ekonom India dan Pakistan yang telah melakukan penelitian sejarah ekonomi kolonial anak benua Asia Selatan hingga berhasil melahirkan sebuah kanon pemikiran ekonomi yang ingin membebaskan diri dari permainan kekuatan pasar bebas.

Tradisi ini kemudian sangat mempengaruhi pemikiran para nasionalis India. Corak pemikiran demikian, misalnya, bergaung pada ekonom seperti Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel Ekonomi 1988. “Sama seperti Sen, komitmen Hatta ter-hadap hak asasi ekonomi kuat sekali,” kata Chatib Basri.

Hatta mungkin belum menghasilkan “kanon pemikiran” semacam itu. Tapi obsesinya adalah ingin melumerkan struktur ekonomi yang dipatrikan para administratur Belanda. “Ide koperasi Hatta itu sesungguhnya untuk melemahkan konsep pamong praja, karena pamong praja adalah warisan kolonial,” kata Daniel Lev. Banyak pendapat bahwa gagasan koperasi Hatta masih relevan sampai kini, meski harus diinterpretasikan ulang menurut perubahan-perubahan yang ada (baca: Hattanomics, Setelah Setengah Abad).

Menurut Dawam Rahardjo, misalnya, pada masa Hatta ada dua proyek ekonomi kecil yang berhasil, yaitu koperasi batik dan Semen Gresik. Saat itu koperasi-koperasi batik diberi hak impor mori (bahan tekstil). Mereka kemudian bersatu menjadi Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI). GKBI-yang langsung dibina Hatta-akhirnya tumbuh menjadi “konglomerasi” yang memiliki pabrik-pabrik sendiri. “Sampai sekarang GKBI bertahan. Kita bisa mandiri di bidang pertekstilan. Industri tekstil praktis bisa kita kuasai,” kata Dawam.

Jadi, seandainya Hatta masih hidup dan ia sukses mewujudkan Indonesia ini menurut impiannya, bagaimanakah kira-kira wajah Indonesia tercinta ini? Marilah kita bermain imajinasi. Indonesia, di tangan Hatta, tentunya akan menjadi pemerintahan sipil berkabinet ramping, berisi menteri yang profesional sebagaimana kabinet Hatta dahulu. Kekuasaan tak akan memusat di Jakarta karena setiap daerah memiliki otonomi yang kuat dan mampu berdikari secara ekonomi sesuai dengan cita-cita federalisme Hatta.

Dimana-mana tumbuh koperasi-koperasi industri rakyat yang kuat. Seperti petani di Kanada, koperasi petani kita akan memiliki pabrik pupuk sendiri. Seperti di AS, koperasi petani kita akan memiliki industri minyak.

Seperti di pedesaan-pedesaan Jepang, koperasi petani akan memiliki supermarket kecil. Singkatnya, namanya juga mimpi, akan terjadi jalan tengah antara kapitalisme dan sosialisme. Koperasi menjadi semacam alat untuk mengendalikan pasar secara bersama.

TENTU SAJA itu semua adalah fantasi yang termuluk. Kenyataannya, di samping industri rakyat yang dinyatakan berhasil oleh Dawam Rahardjo tersebut, toh banyak juga yang rontok. “Sosialisme Hatta belum teruji benar,” kata pakar sejarah Taufik Abdullah. Koperasi, dalam pelaksanaannya, banyak mengalami penyimpangan.

Kita ingat kasus bagi-bagi uang pada Pemilu 1999 yang menyebabkan lahirnya koperasi karbitan. “Koperasi hanya bagus dijalankan di dalam skala yang kecil. Untuk skala nasional, apalagi global, tidak (akan ber-hasil),” kata Sarbini Sumawinata.

DI USIANYA yang senja, di tahun 1976, Hatta mengejutkan masyarakat Indonesia. Namanya disebut-sebut dalam sebuah kasus makar yang rada-rada berbau kebatinan yang belakangan dikenal sebagai Kasus Sawito.

Sawito Kartowibowo, menantu R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo, Kapolri pertama, dituduh telah melakukan upaya subversi karena merencanakan menurunkan Presiden Soeharto. Sawito mengaku memperoleh wangsit setelah bertapa di Gunung Muria.

Wahyu itu berisi agar Soeharto ditekan supaya menyerahkan jabatannya secara damai kepada Hatta.
Ia mengumpulkan tanda tangan pendukung para “tokoh sepuh” selain Hatta, yaitu mertuanya sendiri R.S. Soekanto Tjokrodiatmojo, kemudian Kardinal Justinus Darmojuwono (Ketua Majelis Wali Gereja Indonesia), Buya Hamka (Ketua Majelis Ulama Indonesia), dan T.B. Simatupang (Ketua Dewan-Dewan Gereja Indonesia).

Dalam “melaksanakan” wangsit itu, Sawito menyiapkan lima naskah pernyataan. Sementara tokoh-tokoh lain cuma meneken satu naskah, Bung Hatta menandatangani tiga naskah. Tentu saja masyarakat tak mudah percaya, tapi toh bertanya-tanya, betulkah Bung Hatta, yang tak suka petualangan politik ini, sudah berkomplot. Atau, ini hanya akal-akalan Sawito? Siapakah Sawito sebenarnya ? Tak syak, pengadilan terhadap Sawito menyedot banyak pengunjung.

“Saya sendiri kaget, Hatta kok ikut-ikutan,” tutur Sarbini, mengenang. Kejaksaan Agung memerlukan diri mengajukan pertanyaan tertulis untuk Bung Hatta. Sawito bersiteguh bahwa dia hanyalah seorang liaison. Sawito menguraikan pertemuan-pertemuan di rumah Hatta di Megamendung (Puncak).

Para penanda tangan mengaku khilaf dan merasa terbujuk Sawito. Mereka meminta maaf kepada Soeharto. “Bung Hatta tertipu,” kata Taufik Abdullah. Itu dibenarkan putri Bung Hatta, Meuthia Hatta.

“Bung Hatta sangat sakit hati kepada Sawito karena merasa dipermainkan,” kata Meuthia kepada TEMPO. Meuthia yakin bahwa tak mungkin ayahnya, yang sangat rasional, bisa percaya pada Sawito.

Dua puluh empat tahun kemudian, apakah masih ada yang disembunyikan Sawito? Sore itu, TEMPO menemui Sawito di rumahnya yang sederhana di bilangan Cimanggis, Bogor.

Di usianya yang ke-69 tahun, Sawito berbincang dari soal perkenalannya dengan Hatta pada tahun 1954 hingga pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Hatta.

“Saya bertemu dengan Bung Hatta minimum seminggu tiga kali, atau bahkan tiap hari, sampai saya ditangkap." Pertemuannya itu pindah-pindah. Kadang di rumah Bung Hatta, kadang di rumah saya, atau di rumah tokoh Angkatan 45 lainnya, tutur Sawito. Sawito mengaku bahwa selama Sawito di penjara, Hatta tetap menulis surat kepada Sawito melalui seorang perantara.

Hingga sekarang, seluruh kasus Sawito dan keterlibatan Hatta memang masih menjadi tanda tanya. Yang jelas, kasus itu tak mengurangi rasa hormat masyarakat terhadap Hatta. Ia memang bukan seorang yang pandai berdalih dalam arena politik, tetapi kemampuan Hatta mengekang diri adalah sebuah aset, karena dengan sendirinya ia akan selalu berpegang teguh pada konstitusi.

Sebuah negeri dimasa transisi, seperti pernah ditulis Vaclav Havel, selalu mengalami kesukaran dalam menentukan urutan terbaik yang harus dijalani.

Kelambanan penanganan akan menyebabkan negeri itu bagai rumah kartu yang mudah roboh. Di era gamang itu, dibutuhkan seorang pemimpin yang jujur, kuat, konsisten, yang memiliki perencanaan yang jelas, menempatkan rasionalitas dan moralitas di atas segalanya. Hatta, yang di makamkan di Tanah kusir-sesuai dengan permintaannya-bisa menjadi cermin.

Dalam akhir risalah Demokrasi Kita, Hatta mengutip kalimat penyair Jerman, Schiller: “Suatu abad besar telah lahir. Namun, ia menemukan generasi kerdil.” Itu adalah kalimat kritik Hatta terhadap para pemimpin partai politik di masa itu, yang dianggap gagal melaksanakan tugasnya sebagai pemimpin bangsa. Itu adalah kritik terbesar Hatta kepada pasangan dwitunggalnya, Sukarno. Dan, agaknya, kritik Hatta ini masih berlaku untuk Indonesia masa kini, yang tengah mengalami krisis kepemimpinan.

“Tetapi Sedjarah memberi peladjaran juga pada manusia. Suatu barang yang bernilai seperti demokrasi baru dihargai, apabila hilang sementara waktu. Asal bangsa kita mau belajar dari kesalahannya dan berpegang kembali kepada ideologi negara dengan jiwa murni, demokrai yang tertidur sementara akan bangun kembali”

Referensi :

Demokrasi Kita, Dr. Mohammad Hatta, Pustaka Antara Djakarta, 1966.
Hatta, Suara Yang Tak Pernah Hilang, Tempo Edisi 13 Agustus 2001
Bung Hatta dan Demokrasi , Franz Magnis-Suseno, S.J. Rohaniwan, guru besar filsafat sosial di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel