Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Christine Lagarde dan timnya berkunjung keIndinesia. Presiden Jokowi kemudian mengajak Legarde blusukan ke sejumlah tempat. Mulai dari rumah sakit hingga pasar Tanah Abang di Jakarta Pusat.
Presiden menyatakan, belum ada rencana kerja sama antara Indonesia dan IMF. Namun, tidak menutup kemungkinan kerja sama tersebut dibahas dalam pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia, pada Oktober mendatang.
"Kerja samanya nanti di bulan Oktober, akan ada IMF-World Bank annual meeting," kata Jokowi.
Sebelumnya, Indonesia punya sejarah kelam saat berurusan dengan IMF. Bukannya keluar dari krisis moneter tahun 1998, Indonesia malah terjerumus ke dalam krisis ekonomi hingga mematik kerusuhan di bidang politik dan keamanan.
Ekonom Rizal Ramli, mengungkapkan saat-saat paling buruk ketika IMF mendikte pemerintah Indonesia di era 1998. Rizal masih mengingat dia menjadi salah satu ekonom yang diundang pemerintah untuk bertemu dengan petinggi IMF di Jakarta. Dengan keras Rizal menentang masuknya IMF saat itu.
"Cuma saya dulu ekonom yang menentang masuknya IMF. Saya bilang keras-keras, Indonesia tidak butuh IMF. Krisis akan makin buruk kalau IMF diundang masuk ke Indonesia," tegas Rizal kepada merdeka.com beberapa waktu lalu.
Ternyata, keesokan harinya Presiden Soeharto meneken perjanjian dengan IMF. Bos IMF Michael Camdessus menyaksikan momen penandatanganan tanggal 15 Januari 1998 itu sambil menyilangkan kedua lengan di dada. Sementara Soeharto membungkuk untuk menandatangani Letter of Intent (LoI). Inilah momen kekalahan Indonesia oleh IMF.
Kekhawatiran Rizal soal IMF bukan tanpa alasan. Dia melihat beberapa negara malah terperosok makin dalam. Benar saja, IMF segera mengeluarkan aneka kebijakan yang membuat situasi makin buruk.
"Begitu IMF masuk, dia sarankan tingkat bunga bank dinaikkan dari 18 persen rata-rata jadi 80 persen. Banyak perusahaan langsung bangkrut," kata Rizal.
Saran IMF untuk menutup 16 bank juga menuai polemik. Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat pada perbankan Indonesia. Para nasabah ramai-ramai menarik uang simpanan mereka di bank.
Dari sini pemerintah terpaksa menyuntikkan dana BLBI sebesar US$ 80 miliar. Inilah awal mula kasus korupsi megatriliunan yang belum tuntas di Indonesia.
Namun yang paling parah, IMF meminta Indonesia menaikkan harga BBM. Akhirnya pada 1 Mei 1998, Presiden Soeharto menaikkan harga BBM hingga 74 persen. Hal ini menurut Rizal yang memantik kerusuhan besar-besaran di Indonesia.
"Besoknya demonstrasi besar-besaran. Kerusuhan di mana-mana, ribuan orang meninggal. Rupiah anjlok," kata Rizal.
Butuh bertahun-tahun hingga Indonesia bisa keluar dari krisis ekonomi itu. Rizal membandingkan sikap Malaysia yang menolak IMF dan mengeluarkan kebijakan ketat soal moneter. Hasilnya mereka dengan mudah keluar dari krisis.
Karena itu saat menjadi Menko Perekonomian era Presiden Gus Dur, Rizal Ramli tak sudi menuruti saran IMF. Menurutnya, cuma di era Gus Dur ada presiden tak menambah jumlah utang negara.
"Waktu saya masuk, minus 3 persen ekonominya. Kami putuskan tidak mengikuti kebijakan IMF, kita jalan sendiri dengan segala kontroversinya," kata Rizal.
Rizal mengaku bisa menarik napas lega saat perekonomian Indonesia yang tadinya minus 3 persen dalam kurun waktu 2 tahun tumbuh menjadi hampir 6,5 persen.
Mimpi buruk soal IMF itu masih diingat. "Indonesia tak perlu bantuan IMF," katanya. (HT)
Selain Rizal Ramli, menurut Fadli Zon, IMF itu Biang Kerok !
Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengaku aneh dengan sikap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memberikan sambutan meriah kepada Managing Director International Monetary Fund (IMF) Christine Lagarde.
Pasalnya, menurut Fadli IMF adalah institusi yang menghancurkan Indonesia 20 tahun lalu. Kebijakannya merusak sendi-sendi ekonomi di dalam negeri.
"Penyambutan IMF ini kok dibuat seperti kedatangan raja gitu lho," ujar Fadli saat ditemui di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (27/2).
Menurut Fadli, Kala itu di tengah krisis yang makin memburuk di Indonesia, Presiden Soeharto dipaksa menerima bantuan dari IMF. Namun bantuan itu ternyata makin menjerumuskan Indonesia.
"Karena IMF punya kekuatan besar untuk mendikte ekonomi Indonesia. Contohnya seperti sekarang memuji ekonomi Indonesia kuat. Bahkan dikatakan oleh World Bank sebagai, Asian Miracle. Tahu-tahu terjadi krisis," katanya.
Fadli yang pernah melakukan kajian terhadap IMF itu, menilai, lembaga itu sebagai sumber masalah buruknya perekomonian di Indonesia di era Presiden Soeharto.
"Terbukti IMF ini biang kerok dari berbagai macam krisis di dunia," tegas Wakil Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu.
Namun anehnya, lanjut Fadli, Jokowi memberikan karpet merah pada IMF, bahkan sampai mengeluarkan dana hampir Rp 1 triliun untuk pertemuan tersebut.
"Memangnya negara Indonesia event organizer. Kan bukan," ungkapnya.
Harusnya dana Rp 1 triliun itu digunakan untuk kepentingan lain. Ketimbang menjamu IMF di dalam negeri. Bahkan sampai berkunjung ke Pasar Tanah Abang, Jakarta.
Fadli ingat benar, gara-gara IMF di tahun 1998 subsidi bahan bakar minyak (BBM) dicabut. Karena saat itu pemerintah Indonesia mau tidak mau berhutang kepada IMF untuk mengatasi krisis.
"Dan ternyata di balik itu IMF bisa mendikte kebijakan ekonomi di dalam negeri. Sehingga harga BBM naik sampai 71 persen. dan berlanjut dengan terjadinya demonstrasi di mana-mana," tegasnya.
Menurut Fadli, di Amerika Latin IMF dianggap biang masalah dalam krisis. Namun anehnya di Indonesia pada pemerintahan Jokowi IMF ini dipuji seperti pahlawan. "Padahal IMF tidak ada gunanya," pungkasnya. (JW)