Melihat kemungkaran politik yang merajalela sekarang ini, banyak orang yang berharap Partai Demokrat (PD), lebih khusus lagi SBY sebagai ketua umumnya, akan melakukan sesuatu untuk memperkuat barisan oposisi. Barisan yang akan tegak mengkonfrotir kemungkaran itu. Kelihatannya, harapan rakyat tidak bersambut. PD dan SBY tidak sepikiran dengan rakyat.
Isyarat demi isyarat yang dimaklumatkan oleh SBY menunjukkan bahwa beliau bersedia memperkuat para penguasa yang melakukan kesewenangan. Siap berkoalisi dengan penguasa dan blok politik penguasa demi kepentingan pribadi dan keluarga beliau.
Akhirnya, kita semua mengerti untuk apa PD dan SBY ada. Mereka bukan untuk rakyat. Omong kosong yang sempurna. Mereka hadir untuk kepentingan yang sangat sempit. Kepentingan egoisme belaka. Maaf kepada para kader asli Demokrat yang berjuang membesarkan partai ini. Anda semua perlu introspeksi. Demokrat dan SBY hanya tertarik untuk melestarikan dinasti keluarga Yudhoyono. Mereka bukan hadir untuk memperbaiki situasi. Bukan untuk menghentikan kemungkaran penguasa.
Mari lihat buktinya. Dengan berbagai cara, SBY berusaha agar putra beliau, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), bisa segera mengorbit tinggi. Dan, menurut pandangan dangkal mereka, orbit tinggi itu hanya ada pada capres blok kemungkaran. SBY berusaha sekuat tenaga agar AHY digandeng sebagai cawapres 2019. SBY sangat “desperate”. Kebelet, kata orang sini. Mungkin beliau tak bisa tidur kalau AHY belum pasti menjadi cawapres blok kemungkaran.
Pragmatisme adalah prinsip utama PD dan SBY. Yang penting keinginan keluarga dan kelompok mereka tercapai. Yaitu, keinginan supaya AHY menjadi wapres. Sehingga, di atas kertas, jarak “the Yudhoyono’s Crown Prince” (Putra Mahkota Yudhyono) menuju posisi pemimpin nasional menjadi lebih dekat. Inilah ambisi pribadi SBY –dan tentunya juga ambisi sang Putra Mahkota sendiri.
Rakyat tidak boleh membiarkan ambisi pribadi seperti ini terealisasikan dengan cara yang akan memperberat dan memperpanjang penderitaan rakyat di bawah para penguasa yang sewenang-wenang. Ambisi pribadi semacam ini harus dicegah melalui proses demokrasi. PD dan SBY jangan sampai memiliki kekuatan atau mandat untuk memperkuat blok kemungkaran.
Pragmatisme tidak mengenal konvensi (norma) politik yang universal. Sebagai contoh, konvensi umum di dunia politik mengharamkan kerja sama (koalisi) partai politik dengan blok politik yang menjadi lawan ideologis mereka. Dari sudut pandang ini, kalau PD berkoalisi dengan blok penguasa, berarti mereka sengaja melanggar konvensi umum itu. Bisa disebut sebagai tindakan tak bermoral.
Tak bermoral politik, tepatnya. Lantas, apa yang bisa kita ambil dari amoral politik ini? Tentu tidak salah kalau amoral politik itu kita kaitkan dengan alam pikiran para pemimpin suatu partai. Sebab, buah pikiran merekalah yang menjadi dasar perjuangan partai. Artinya, nafsu pimpinan partai secara otomatis akan teradopsi menjadi nafsu partai.
Jadi, rakyat jangan sampai keliru memberikan mandat. Kita mengharapkan, bahkan mewajibkan, agar PD dan SBY tegak dan bergabung ke dalam koalisi yang akan menghentikan kesewenangan para penguasa. Suara rakyat harus digunakan untuk tujuan ini.
Banyak yang percaya bahwa AHY berpotensi menjadi salah seorang pemimpin nasional di masa depan. Sangat disayangkan kalau kemampuan dan talenta Putra Mahkota ini menjadi tercemar gara-gara mendukung kesewenangan para penguasa.
Karena itu, sebelum di mana-mana muncul pertanyaan: “Apakah Anda percaya SBY dan Partai Demokrat untuk rakyat?”, kita mengimbau kepada mantan presiden RI ke-6 agar tidak mendukung kesewenangan penguasa. Sangat merugi kalau AHY masuk ke pentas politik nasional melalui jalur yang salah. Jalur yang merusak dan mendera rakyat.
Sebaliknya, alangkah terhormatnya AHY dan keluarga besar SBY jika Putra Mahkota tampil sebagai pemimpin bangsa melalui perjuangannya sendiri. Melalui pemahaman utuh beliau tentag rakyat, dan pemahaman rakyat tentang AHY.
Asyari Usman (Penulis adalah wartawan senior)