Bukan Rp 4 Ribu Triliun, Utang RI Sebenarnya Rp 7 Ribu Triliun

Bukan Rp 4 Ribu Triliun, Utang RI Sebenarnya Rp 7 Ribu Triliun

Data Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia tercatat sebesar USD 183,4 miliar atau sebesar Rp 2.512,5 triliun dengan kurs Rp 13.700 per USD. Naiknya laju utang dalam rupiah, salah satu faktornya karena pelemahan nilai tukar yang terjadi terhadap USD.


Bank Indonesia (BI) mencatat utang Indonesia hingga Januari 2018 sebesar USD 357,5 miliar atau sebesar Rp 4.897,7 triliun. Untuk rasio utangnya, tercatat sebesar 34,7 persen.

Direktur Institute for Development of Economics and Finance ( INDEF) Enny Sri Hartati mengatakan, total utang Indonesia sebenarnya sebesar Rp 7 ribu triliun. Utang itu merupakan milik pemerintah dan swasta.

"Total utang Negara Indonesia setidaknya telah mencapai lebih dari Rp 7 ribu triliun, terdiri atas total utang pemerintah dan swasta," ujarnya di Kantor INDEF, Jakarta, Rabu (21/3).

"Utang pemerintah untuk membiayai defisit anggaran, dan utang swasta dilakukan oleh korporasi swasta dan BUMN," tambahnya.

Dia merincikan, total utang tersebut terdiri atas Surat Berharga Negara (SBN) yang pada September 2017 tercatat sebesar Rp 3.128 triliun. "Itu terdiri SBN denominasi Rupiah Rp 2.279 triliun, dan dalam denominasi valas Rp 849 triliun," tuturnya.

Sementara posisi Utang Luar Negeri Pemerintah pada 2017 mencapai USD 177 miliar atau sekitar Rp 2.389 (kurs Rp 13.500). Sedangkan untuk utang luar negeri swasta tahun 2017 tercatat sebesar USD 172 miliar atau sekitar Rp 2.322 triliun (kurs 13.500).

"Besar kemungkinan (utang-utang) ini belum termasuk semua utang BUMN," pungkasnya.

Bagaimana dengan Indonesia? Data Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri Pemerintah Indonesia tercatat sebesar USD 183,4 miliar atau sebesar Rp 2.512,5 triliun dengan kurs Rp 13.700 per USD.

Deputi Direktur Departemen Statistik Bank Indonesia Tutuk Cahyono mengatakan, pertumbuhan utang Indonesia tercatat stabil di angka 10,3 persen. Naiknya laju utang dalam rupiah, salah satu faktornya karena pelemahan nilai tukar yang terjadi terhadap USD.

Menurutnya, hal ini sejalan dengan kebutuhan dalam pembiayaan proyek infrastruktur dan sektor produktif lainnya. (ce1/hap/JPC)

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel