PLN terancam gagal bayar diduga karena syarat dengan tindak pidana korupsi

PLN terancam gagal bayar diduga karena syarat dengan tindak pidana korupsi

PLN, memiliki potensi gagal bayar utang. Karena rasio utang terhadap pendapatan (Debt Service Ratio/DSR) PLN tidak sesuai dengan perjanjian utang (covenant)


Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara (PLN) Sofyan Basir harus dicopot, hal itu menyusul ancaman gagalnya PLN mencicil utang yang sudah sangat mengkhawatirkan. Belum lagi, nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS terus merangkak naik.

Demikian disampaikan Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Arief Poyuono dalam keterangan kepada wartawan, Jumat (9/3/18).

“Ambruknya industri nasional yang ditandai dengan tinggi import produk-produk industri tentu saja akan semakin banyak mengurangi pendapatan PLN, karena banyaknya pabrik yang tutup lantaran tidak kuat lagi membayar tarif listrik,” kata dia.

Menurut Arief, acaman gagal bayar sebagaimana edaran surat Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani S-781/MK.08/2017 yang diterbitkan 19 September 2017 silam, dimana menyoroti potensi gagal bayar PLN akibat proyeksi utang jatuh tempo yang semakin meningkat, dan diiringi dengan performa keuangan yang melemah.

Tidak cuma itu, mengutip laporan keuangan PLN per semester I 2017, kata Arief, laba PLN terbilang anjlok 71,64 persen dari Rp 7,97 triliun di tahun lalu ke angka Rp 2,26 triliun akibat tarif listrik yang tidak naik di tengah meroketnya harga energi primer.

“Surat Menkeu sudah sebagai bukti buruknya kinerja Direksi PLN apalagi ditambah dengan kerugian penyewaan Kapal Pembankit Listrik dari Turki oleh PLN, yang diduga syarat dengan tindak pidana korupsi yang sedang di sidik oleh KPK, dimana negara mengalami kerugian triliunan rupiah, yang diduga ada kerabat Petinggi Istana dalam proyek penyewaan kapal Turki tersebut,” kata Arief.

Sementara itu, dirinya menyubut keterangan bekas Dirut BRI Sofyan Basir terkait rasio keuangan perusahaan masih mumpuni, sebagaimana mengacu pada total aset dan liablitas perusahaan saat ini, dimana batas maksimum pinjaman bisa lebih tinggi dibanding realisasi utang, tidak bisa jadi pembenaran. Karena, kata dia, aset-aset yang dimiliki PLN tidak punya nilai sebesar itu.

“Karena banyak yang tidak produktif justru menambah PLN semakin tidak efisien,” kata Arief.

“Seperti pembangkit-pembangkit program 10 ribu megawatt era SBY yang dari Cina, banyak rusak dan reabilitinya hanya dibawah 50 persen serta dioperasikan dengan biaya tinggi.”

Karena itu, dirinya meminta Presiden Joko Widodo segera memerintahkan Menteri BUMN, Menteri Keuangan, serta ESDM untuk duduk bersama mengelar RUPSLB PLN untuk menganti Dirut PLN Sofyan Basir, karena gagal menjadikan PLN perusahaan yang berkinerja Keuangan.

“Sebab PT. PLN, memiliki potensi gagal bayar utang di masa depan. Karena rasio utang terhadap pendapatan (Debt Service Ratio/DSR) PLN tidak sesuai dengan perjanjian utang (covenant),” kata dia.

PLN memiliki utang dengan covenant berbasis DSR sebesar Rp 40 triliun. Adapun, sebanyak 25 persen dari utang tersebut dijamin oleh pemerintah.

Bahwa angka DSR PLN saat ini tidak mencapai satu atau kondisi di mana penerimaan perusahaan bisa membayar seluruh utangnya. Berdasarkan kalkulasi yang dilakukan Kementerian Keuangan, rasio DSR PLN sepanjang 2017 bahkan hanya mencapai 0,71.

“KPK juga sebaiknya jangan terlalu lamban dengan adanya dugaan korupsi penyewaan Kapal Pembangkit Listrik dari Turki, sebab jika lamban menyidiknya bisa-bisa perusahaan Turki sudah para kabur nantinya,” tukas Arief. (ipk)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel