Ada permainan licik pengumpulan dana jelang pemilu 2019 melalui sejumlah kebijakan impor

Ada permainan licik pengumpulan dana jelang pemilu 2019 melalui sejumlah kebijakan impor

Beras dari Vietnam Rp 4.500 di sini jual Rp 9.000 untungnya ke mana ?,” ada indikasi pengumpulan dana politik untuk pemilu.


Pengamat Ekonomi Faisal Basri mencium aroma pengumpulan dana politik jelang Pemilu 2019 melalui sejumlah kebijakan, salah satunya impor. Usai menghadiri media briefing bersama PLN di Denpasar ia menjelaskan, ditilik dari pengalaman masa lalu aroma mengumpulkan pundi-pundi untuk pemilu sudah pernah terjadi.

“Dilihat dari pegalaman masa lalu itu ada kaitan antara impor dengan pengumpulan dana politik,” kata Faisal Basri, Selasa (31/1).

Sebut saja misalnya impor daging yang pernah marak dan mencuat ke permukaan. Pada akhirnya hal itu berkaitan dengan mencari dana untuk menyambut pemilu.

“Sekarang itu gitu, tolong deh bantu pengusaha tekstil dan garment. Dulu itu hanya importir terdaftar yang boleh. Sekarang importir umum juga boleh. Di Bandung itu sudah menjerit, harga sudah tidak karuan barang impor itu,” cetus dia.

“Apalagi dipermudah ekspor kayu, kenapa kok sekarang. Misalnya ekspor rotan. Terus tiba-tiba menyuruh PPI impor beras. Beras dari Vietnam Rp 4.500 di sini jual Rp9.000 untungnya ke mana ?,” tambah Faisal. Ia menyebut sudah berkali-kali Menteri Perdagangan dikoreksi kebijakannya atas sejumlah impor. Sebut saja impor gula dan terbaru impor beras.

“Jelas-jelas melanggar ketentuan. Ya, itu ada indikasi pengumpulan dana politik untuk pemilu. Terjadi setiap menjelan pemilu? Ada pola. Dulu itu bagi-bagi duit daging. Sudah terbukti kok di masa lalu dan itu kelihatannya terus berlanjut,” papar dia.

Pada zaman Orde Baru, Faisal menyebut hanya satu partai saja yang memiliki akses dana untuk pemilu. Dua partai lainnya hanya sebatas penggembira belaka. “Kalau dulu (zaman Orba) yang memeras cuma Golkar. Golkar dominan, sememtara dua partai lain penggembira. Makanya kampanyenya kere. Tapi kalau golkar kan glamour,” kata dia.

Saat ini, situasinya berbanding terbalik dengan masa Orba. Perolehan suara partai pemenang pemilu tak jauh berbeda dengan suara partai-partai lainnya. Jika ada lima partai, maka satu partai sebut saja memperoleh suara 19 persen, partai kedua 12 persen, pqrtai ketiga 9 persen, partai keempat 7 persen dan partai kelima 5 persen.

“Kalau digabung baru lolos dia. Jadi saling dukung mereka. Nah contohnya RUU Pertembakauan. Sudah jelas Pak jokowi menolak pembahasan RUU itu, sekarang DPR ngotot lagi. Definisinya tembakau warisan Nusantara. Jadi jangan diatur produksinya, jangan diatur harganya,” papar Faisal. Padahal, ia melanjutkan, smoking rate di Indonesia saat ini tertinggi di dunia.

“Fieman Subagyo itu inisiatornya. Kemarin juga Pak Misbakhun ngomong soal itu. Itu juga salah satu indikasi pemgumpukan dana politik untuk pemilu,” sebut dia. Soal angka yang berhasil dikumpulkan dari tindakan itu ternyata cukup besar. Faisal memprediksi jumlahnya mencapai ratusan miliar rupiah.

“Nah kalau angka yang gampang, yang jelas hitung-hiungannya itu impor gula rafinasi itu 3 juta ton dikali Rp 82 ribu. Itulah setahun jadi kira-kira Rp 235 miliar. Itu ongkos administrasinya saja,” beber dia.

“Itu baru dari gula. Beras lebih tinggi lagi. Impor Rp4.500 dijual Rp9.000. kita harus bersuara terus,” demikian Faisal. (Bobby Andalan)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel