Agar tak terjadi cium tangan politik, sebaiknya Ulama jangan ikutan ngarep dapat proyek

Agar tak terjadi cium tangan politik, sebaiknya Ulama jangan ikutan ngarep dapat proyek

Barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa maka dia akan terkena fitnah; dan seorang yang semakin dekat dengan penguasa dia semakin jauh dari Allah.


Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin menemui Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Jakarta. Namun, kedatangan Ma'ruf Amin bukanlah kedatangan biasa.

Ma'ruf mengatakan, dia datang ke Istana Kepresidenan untuk bersilaturahmi dengan Jokowi. Dalam silaturahmi itu, Ma'ruf membawa tamu untuk bertemu Jokowi.

Dia mengatakan, tamu yang dia bawa adalah seorang investor yang bertujuan untuk pembangunan nasional. "Ada tamu investor lah. Dia ingin membantu pembangunan nasional kita," katanya.

"Sektor migas. Chemical," tambah Ma'ruf. (sumber berita lengkapnya)

Dewan Pengarah UKP-PIP

Presiden Joko Widodo meningkatkan status Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) melalui Perpres Nomor 7/2018.

"Pemberian SK kami berubah dari UKP ke BPIP, konsekuensinya fasilitasnya tidak fasilitas UKP. Kedua, masa kerjanya lima tahun. Kerjanya juga tentu berat lagi," kata Kiai Ma'ruf usai bertemu Jokowi di Istana Merdeka, Kamis (22/3).

Adapun nama-nama Dewan Pengarah UKP PIP yang dilantik Presiden Joko Widodo sebagai berikut:

1. Presiden RI ke-5 Megawati Soekarnoputri.
2. Wakil Presiden ke-6 Jendral TNI (Purn) Try Sutrisno.
3. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Muhammad Mahfud MD.
4. Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah Ahmad Syafii Maarif.
5. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Maruf Amin.
6. Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siradj.
7. Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Pendeta Andreas Anangguru Yewangoe.
8. Ketua Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya.
9. Ketua Umum Majelis Buddhayana Indonesia sekaligus CEO Garudafood Group Sudhamek. (Sumber berita lengkapnya)

Topik Bahasan Ulama Harus Menjauhi Penguasa

Minta maaf lagi. Kali ini saya mengambil porsi para ustadz yang sewajarnya menuliskan artikel seperti dijudulkan di atas. Tetapi saya percaya bahwa meramu berbagai sumber tentang topik ini, bukanlah “dosa besar” dibidang tulis-menulis.

Yang dibicarakan adalah sikap al-mukarram KH Ma’ruf Amin, Ketua MUI, dalam masalah penistaan agama Islam yang dilakukan oleh Sukmawati Soekarnoputri lewat puisi “Ibu Indonesia” (banyak netizen menjulukinya “Bu Konde”).

Setelah mengumumkan permintaan maaf kepada umat Islam, Bu Sukmawati menemui Kiyai Ma’ruf. Setelah pertemuan yang dibumbui cium tangan Pak Kiyai, Ketua MUI mengeluarkan imbauan agar laporan penistaan yang menyangkut Bu Sukma itu dicabut. Alasan Kiyai Ma’ruf ialah bahwa Bu Sukma sudah meminta maaf.

Dari salah satu sudut pandang (dari sekian banyak sudut), imbauan Kiyai tentulah pantas diikuti. Tetapi, kelihatannya kaum muslimin menuntut agar proses hukum tetap dilanjukan walaupun Bu Sukma diberikan maaf.

Saya bukan mau membicarakan proses permintaan maaf itu maupun pencabutan pengaduan penistaan itu ke kepolisian. Yang terlintas di kepala saya adalah, mengapa Kiyai Ma’ruf berkali-kali memperlihatkan “keanehan” bersikap kalau diletakkan dalam perspektif aspirasi kaum muslimin terkait macam-macam hal yang menyinggung kesakralan agama?

Inilah yang kita tengok. Inilah yang akan dicarikan penjelasannya.

Kita semua mengamati dengan seksama bahwa Kiyai Ma’ruf adalah orang yang sangat baik. Lurus. Tulus. Suka memaafkan. Mudah meringankan masalah yang besar. Sangat ideal. Semua kita juga ingin seperti beliau. Tapi, ada “tapi”-nya. Sikap beliau itu sangat ideal untuk situasi pengelolaan negara yang ideal pula. Situasi yang tidak dzolim, tidak sewenang-wenang.

Pada saat ini, ajakan Kiyai Ma’ruf tidak bersambut di kalangan kaum muslimin. Sebabnya antara lain adalah aggapan bahwa pihak penguasa tidak adil. Umat merasa penguasa sangat cepat bertindak kalau ulama atau warga muslim yang menjadi terduga.

Sebaliknya, kasus-kasus penistaan agama yang kebetulan melibatkan orang yang pro-penguasa sebagai terlapor, pihak yang berwenang cenderung lambat. Bahkan terkesan mendiamkannya.

Kembali ke topik kali ini: mengapa Kiyai Ma’ruf dianggap “aneh” dalam kasus Bu Sukma? Apa yang terjadi? Ada apa?

Tidak terjadi apa-apa kecuali “pertanda” bahwa Pak Kiyai terlalu dekat dengan penguasa. Nah, dari sinilah kita mulai pembahasan syar’iah tentang posisi ulama. Berikut ini hadits pertama tentang ulama yang dilarang oleh Rasulullah SAW mendekati (terlalu dekat dengan) penguasa.

Dalam potongan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dengan kualifikasi “hasan gharib”, Nabi mengatakan: “…barangsiapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa maka dia akan terkena fitnah; dan tak seorang pun yang semakin dekat dengan penguasa kecuali dia semakin jauh dari Allah.”

Maksudnya, terlalu dekat bergaul dengan para pemegang kekuasaan, bisa membuat ulama “segan”. Karena “segan”, menyusullah “diam”. Karena semakin akrab, “diam” itu kemudian pelan-pelan bergeser menjadi “ikut penguasa”. Begitu tak terasa ikut penguasa, para ulama yang akrab dengan penguasa itu berubah menjadi pembela penguasa.

KH Ma’ruf Amin “belum” sampai seperti ini. Alhamdulillah. Cuma, kaum muslimin harus terus mengingatkan agar, misalnya, Pak Kiyai tidak lagi mendatangi pintu-pintu penguasa, atau setidaknya jangan terlalu sering.

Jauhilah pintu penguasa, wahai para ulama. Ulama besar Abdussalam Mubarakpuri menceritakan konsistensi Imam Bukhari yang menjaga dirinya dari persentuhan dengan penguasa, khususnya penguasa yang dzolim. Diriwayatkan bahwa Imam Bukhari tidak akan pernah mau berada di tengah para penguasa. Dia tidak mau menghadiri acara-acara yang diselenggarakan oleh para pejabat pemerintahan.

Gara-gara menolak permintaan penguasa negerinya, Imam Bukhari diusir dari kota Bukhara. Pengusiran ini dilakukan penguasa dengan cara yang keji. Imam Bukhari difitnah membuat fatwa yang menyesatkan. Rakyat Bukhara percaya pada berita hoax yang disiarkan oleh perangkat kekuasaan sehingga mereka marah kepada Bukhari.

Menjauhi penguasa memang memiliki konsekuensi. Tetapi, begitulah seharusnya para ulama. Mereka tidak boleh “segan”, “diam”, apalagi sampai diperalat oleh penguasa yang dzolim.

Alhamdulillah, para ulama “muda” di negeri ini mengerti betul bagaimana mereka seharusnya bersikap terhadap penguasa. Mereka memahami cara Imam Bukhari menjaga keulamaannya. Mereka siap masuk penjara, siap hidup susah, siap digertak-gertak oleh aparat keamanan dan lain sebagainya. Tetapi, sayangnya, banyak juga “ulama-ulamaan” yang bisa “disumbat” oleh penguasa.

Para ulama yang berani ambil risiko menjauhi penguasa yang dzolim, adalah orang-orang yang paham bahwa “perbuatan yang paling dibenci Allah adalah mendatangi penguasa” (HR Ibnu Majah). Kita bersyukur sekali karena masih banyak dan, in-sya Allah, akan semakin banyak ulama yang bersikap tegas menentang kesewenangan penguasa.

Satu hadits lagi. Sahabat Tsauban r.a. bertanya kepada Baginda Nabi, “Ya Rosulullah, apakah saya termasuk ahli bait?” Baginda berdiam diri. Setelah ditanya ketiga kalinya, Nabi kemudian mengeluarkan statemen, “Iya, selama engkau tidak berdiri di depan pintu penguasa dan meminta sesuatu dari mereka.”

Kita berharap KH Ma’ruf Amin masih menjadi bagian dari ulama yang tidak berada di pintu-pintu penguasa. Tentunya kita menghargai sikap “arif” beliau ketika mengimbau agar para pelapor puisi Bu Sukma mencabut laporannya. Namun, sebaliknya, kita percaya Pak Kiyai memahami pula mengapa para pelapor bertekad akan maju terus.

Asyari Usman. (Penulis adalah wartawan senior)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel