Refleksi Akhir Tahun, Fadli Nilai Jokowi Gagal Urus Pertanian

Refleksi Akhir Tahun, Fadli Nilai Jokowi Gagal Urus Pertanian

Contoh kebijakan pangan era Jokowi yang merugikan petani, ketika menerbitkan izin 3,6 juta ton Gula Kristal Rafinasi. jumlah impor tersebut sangat aneh mengingat GKR untuk kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri hanya berkisar 2,4 juta ton


Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan pemerintahan Presiden Joko Widodo gagal menjaga ekosistem bisnis usaha tani di Indonesia sepanjang tahun 2018. Menurutnya, hal itu terjadi lantaran kebijakan pemerintah di bidang pertanian tidak memiliki konsep dan konsistensi.

"Sebagai negara agraris, kebijakan bidang pertanian kita tak memiliki konsep dan konsistensi yang jelas," ujar Fadli dalam keterangan tertulis, Senin (31/12).

Fadli menuturkan akibat dari tidak adanya konsep dan konsistensi menyebabkan isu-isu pertanian di Indonesia tetap didominasi oleh wacana subsistensi, seperti ketahanan pangan dan sejenisnya.


Terkait dengan konsep, Fadli menekankan Indonesia di bawah kepemimpinan Jokowi tak pernah memiliki desain kebijakan pembangunan pertanian yang komprehensif. Padahal, kata dia, pertanian adalah tulang punggung negara dan sebagian besar rakyat bekerja di sektor tersebut.

"Jika kita gagal merumuskan konsep kebijakan yang tepat maka negara bisa ambruk," ujarnya.

Lebih lanjut, Fadli menilai konsep yang bagus tidak cukup untuk menjaga ekosistem pertanian nasional tanpa diiringi dengan konsitensi. Sebab, ia berkata konsep dan konsistensi merupakan kunci keberhasilan.

"Ini yang saya lihat tidak ada dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo," ujar Fadli.

Terkait dengan masalah itu, Ketua HKTI ini pun menyinggung soal orientasi kebijakan harga pangan era Jokowi. Ia mempertanyakan apakah orientasi kebijakan pangan itu terkait dengan harga murah untuk konsumen atau kemakmuran bagi petani selaku produsen.

Jika orientasi harga murah bagi konsumen, Fadli tidak mengelak kebijakan impor pangan harus dilakukan oleh pemerintah secara besar-besaran. Efek orientasi itu, kata dia, menyebabkan produsen mati.

Sebaliknya, jika orientasinya adalah kemakmuran petani, ia berkata pemerintah harus memberikan ruang toleransi yang cukup bagi petani untuk mendapat insentif. Ia meminta pemerintah tidak melakukan impor tiap kali petani mendapatkan harga bagus.

"Jika pun impor pangan tidak bisa dihindari tetap saja ada satu prinsip yang dilanggar oleh sebuah negara agraris, yaitu jangan sampai impor itu merugikan petani sendiri. Inilah yang tidak saya lihat dijalankan oleh pemerintah Presiden Joko Widodo," ujarnya.

Contoh kebijakan pangan era Jokowi yang merugikan petani, kata Fadli, terlihat ketika menerbitkan izin 3,6 juta ton Gula Kristal Rafinasi. Ia menilai jumlah impor tersebut sangat aneh mengingat GKR untuk kebutuhan industri makanan dan minuman dalam negeri hanya berkisar 2,4 juta sampai 2,5 juta ton.

"Ujungnya kebijakan ini jelas merugikan para petani tebu kita," ujar Fadli.

Di sisi lain, Fadli juga menyebut pemerintah Jokowi gagal melakukan reforma agraria sebagai upaya untuk menjaga ekosistem bisnis usaha tani. Selain jumlah distribusi dan penyediaan lahan masih jauh dari janji, ia berkata reforma agraria tidak berjalan karena pemerintah baru tahun ini merilis Perpres Nomor 86/2018 tentang Reforma Agraria.

"Itu benar-benar tidak menunjukkan komitmen serius melaksanakan agenda reforma agraria," ujarnya.

Lebih dari itu, Fadli menegaskan Indonesia sebagai negara agraris harus menerapkan orientasi pembangunan pertanian nasional untuk kemakmuran bagi petani. Tanpa itu, ia menilai revolusi 4.0 yang diumbar pemerintah Jokowi hanya omong kosong.

"Kita harus bicara kemakmuran petani dahulu sebelum menjadi negara industri yang kuat. Itu sebabnya, menurut saya sebelum pemerintah bicara mengenai revolusi industri 4.0 mereka harusnya menjadikan petani sebagai kelas pengusaha baru," ujar Fadli. (jps/DAL)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel