Nilai yang Ditanamkan Orangtua Memengaruhi Kepribadian Kita Saat Dewasa

Nilai yang Ditanamkan Orangtua Memengaruhi Kepribadian Kita Saat Dewasa

Kejujuran, cara bersikap, cara memperlakukan makhluk hidup merupakan contoh nilai budaya dalam hidup yang lebih tinggi

Saat kita bicara culture atau budaya, rasanya tidak akan jauh dari sekumpulan nilai yang diyakini untuk menjalani kehidupan di dunia fana ini. Karena budaya bukan hanya bentuk fisik dari benda seni maupun hiburan, namun secara lebih dalam berupa nilai-nilai yang relatif menetap dan dijadikan pegangan dalam menentukan beragam pilihan hidup, baik dalam lingkup pribadi maupun komunitas.

Nilai budaya ini diteruskan secara halus dari generasi ke generasi, di mana orang tua menanamkan nilai melalui pengasuhan pada anaknya. Dari kedua orang tua yang juga memiliki keberagaman budaya dari masing-masing orang tuanya dulu, akan diteruskanlah variasi budaya keluarga pada sang anak.

Singkatnya nilai budaya ini akan diteruskan dengan berbagai pengembangan dari generasi ke generasi. Proses ini tidak selalu mulus, masalah bisa timbul saat antar generasi berbeda pendapat akan perlu tidaknya nilai untuk tetap dilestarikan.

Karena saat nilai dianggap sebagai harga mutlak yang sarat hukum penentu baik buruk, persepsi antar generasi bisa berbeda seiring penafsiran yang belum tentu sama. Sebagai contoh budaya untuk mengunjungi teman atau kerabat yang lebih tua, bagi sang anak kegiatan itu cukup diganti dengan videocall atau pesan What's App.

Demikian juga saat orang tua meyakini tentang seperangkat tindakan sopan santun yang harus dilakukan, bisa jadi si anak menganggapnya sudah out of date.

Saya menyadari telah mengalami proses penanaman nilai kehidupan sepanjang saya tinggal bersama orang tua, ajaibnya hampir semua nilai yang tertanam itu masih saya pegang dan lakukan sepanjang hidup ini. Proses internalisasi perlahan seiring tumbuh kembang saya sebagai bayi sampai dewasa terbentuk seiring proses pendewasaan.

Takjubnya di usia sekarang, saya merasa saringan nilai yang sudah disiapkan orang tua, baik yang secara langsung maupun dari sistem yang mereka pilihkan melalui sekolah dan institusi pendidikan non formal keagamaan telah menjadi filter kuat untuk memilah tawaran budaya di sepanjang rentang kehidupan saya.

Sebagai orang dewasa yang saat ini telah memiliki keluarga sendiri, saya dan suami memiliki variasi budaya yang cukup beragam, bisa dibilang budaya kami dalam banyak aspek kehidupan berbeda. Namun yang menjadi pondasi kuat untuk menjalani rumah tangga adalah kesamaan kami yang lebih besar dalam nilai dasar sebagai way of life.

Kejujuran, cara bersikap, cara memperlakukan makhluk hidup merupakan contoh nilai budaya dalam hidup yang lebih tinggi dari sekedar pilihan musik atau selera kuliner. Dan secara sadar kami berusaha menanamkan budaya kami pada kedua anak kami, dimulai dari cara bersikap sampai pilihan akan hal baik buruk yang diajarkan sejak dini.

Sebagai orang yang telah sadar bahwa penanaman budaya ini adalah proses on going yang lasting forever, kami berusaha menjaga segala ucap dan sikap agar layak disebut sebagai “budaya keluarga”. Karena toh internalisasi ini tidak akan efektif bila hanya diucapkan tanpa terlihat dilaksanakan.

Anak-anak yang menyerap segala yang indra mereka tangkap haruslah disuguhi stimulus yang tidak hanya ditangkap indra pendengar, namun juga indra penglihatan meski yang terpenting juga harus tertangkap oleh “hati” mereka.

Bahwa apa yang kita tanamkan akan masuk dalam nurani mereka dan sebagai orang tua bisalah kita agak tenang karena meyakini bahwa anak-anak telah memiliki saringan kuat yang akan membuat mereka tetap tegak berdiri, percaya bahwa budaya dan nilai yang mereka pegang adalah suatu kebanggaan, tidak mudah dipatahkan oleh budaya baru dengan tetap bisa mengambil budaya baru yang sejalan dengan apa yang mereka yakini.

Surabaya, 28 Februari 2019

Penulis : Widi Puspita Sari/Fimela


*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel