Tumbuh adalah fitrah manusia. Semakin kita dewasa, kadang kenangan tentang masa lalu jadi sedikit, kenangan kita tentang momen, kejadian, keadaan, emosi, semakin lama semakin hilang. Tapi untuk beberapa momen luar biasa yang memiliki kesan mendalam, memori kita akan selalu segar menyimpannya.
Beberapa hal yang berkesan hidup mengakar di benak kita, nilai-nilai yang dikandung digunakan sebagai pedoman penunjuk arah. Salah satu momen berkesan untuk diriku, kala itu ketika sudah lulus dari bangku kelas enam. Fase peralihan, memilah-milih SMP yang diinginkan.
Mukimku di daerah, ketika sedang sibuk-sibuknya mengirim lamaran untuk sekolah baru. Ayah, kala itu selalu setia menghantarku mengajukan lamaran berkas penerimaan siswa baru. Ke beberapa sekolah membawa berkas lampiran dan yang paling penting di antara semua file itu adalah hasil copy nilai UN. Di sinilah, ironi kehidupanku dimulai kala itu.
Tahun pelajaran 2016/2017, salah satu tahun yang memiliki luka dan hikmah tersendiri. Pada zaman itu, jika siswa/siswi hendak melamar ke sekolah negeri harus berdasarkan total nilai UN. Walhasil, beberapa sekolah negeri memberikan ketentuan ambang batas nilai yang bisa lolos untuk jadi salah satu warga sekolah di situ.
Sekolah dasar yang masih berdekatan jarak, di kecamatanku itu jumlahnya banyak banget! Ketika itu, ada beberapa sekolah negeri yang masih tergolong dekat dari rumahku. Tapi pada akhirnya aku menentukan satu sekolah yang lokasinya paling dekat jaraknya dari rumahku. Lokasi sekolah yang masih bersahabat, untuk ditempuh dengan mengayuh sepeda yang akan rutin dijalani selama tiga tahun kedepan.
Menunggu hasil berkas lamaran nyatanya tidak secepat mengirim lamaran, untuk pertama kalinya aku berdebar menanti hasil keputusan siswa-siswa yang diterima di sekolah itu. Beberapa minggu berlalu, ketika hari H pengumuman Aku memutuskan untuk pergi sendiri bersama beberapa temanku.
Benar saja, lapangan sekolah SMP tempatku melamar, di tengah-tengah lapangan sudah ada papan pengumuman yang sedang dikerubungi anak-anak seusiaku mengenakan seragam merah putih. Aku seperti sedang melihat kawanan semut dalam jumlah besar sedang antre berdesakan ingin lebih dekat dengan kuenya.
Giliranku, tak mau kalah di antara ragam postur tubuh yang lebih besar. Aku menyusup, tergencet sana sini, terhimpit, dan kakiku berkali-kali tak selamat dari pijakan anak-anak seusiaku yang lain. Aku susuri kertas pengumuman, dari satu kertas ke kertas lainnya. Kucari-cari namaku, “Mana namaku? Apa mungkin ada di kertas pengumuman lainnya?” Aku menyemangati diriku sendiri.
Mataku menyapu dengan seksama, begitu cepat namun teliti. Dan ternyata namaku memang tak pernah ada, hanya aku yang huznuzon.
Hari itu, membuat napasku sesak. Aku melihat banyak siswa/siswi yang tersenyum girang. Dan melonjak-lonjak bahagia, tanda kalau mereka diterima. Aku tahu banyak yang sepertiku kala itu. Sedih.
Sayangnya aku berdiri sendiri saat itu, menjadikan seolah dunia sedang menjahatiku, menertawakanku yang belum lolos. Aku segera pulang ke rumah, tanpa mengganti pakaian. Masih mengenakan seragam, berlari kekamarku menghempaskan badanku yang ringan dan kemudian memeluk guling hijauku erat-erat.
Perasaan kecewa yang pekat. Marah, kesal, dan jadi malas melanjutkan sekolah. Sebab belum lolos di sekolah yang sudah ditargetkan dari SD kelas satu. Sekolah favorit ini letaknya masih satu lingkungan dengan SD-ku, setiap hari kalau mau pulang balik rumah pasti melewati sekolah ini.
Jadi ketika hal ini harus terjadi padaku, rasanya oksigen di sekitarku habis. Walau aku tahu, yang mengalami hal seperti ini tidak hanya diriku seorang, semua anak yang masih tinggal di lingkungan sekolah negri dan memang yang sejak lama berniat untuk sekolah di sana pasti sama sedihnya.
Sampai kejadian itu tiba. Aku dengar, temanku yang punya nilai UN di bawah ambang batas yang sudah ditetapkan. Dan aku tahu betul, bahkan nilainya beberapa tingkat di bawahku bisa lolos dan diterima di sana. Setelah tahu informasi itu, orangtuaku langsung menelusuri.
Bahkan nenekku yang sudah sepuh ikut membantu saran mendukung orangtuaku. Demi aku bisa sekolah di tempat favorit dengan pertimbangan sekolah negeri, fasilitas lengkap, dekat dari rumah. Akhirnya orangtuaku mendapatkan orang yang sudah membantu kawanku sebelumnya.
Terhitung tiga jam, mereka pergi untuk berkompromi dengan salah satu orang (ternyata guru di sekolah itu). Akhirnya mereka pulang, aku di rumah ditemani nenek. Orangtuaku menjelaskan, ternyata beberapa kursi yang sudah dikhususkan dihargai rupiah. Itu sebabnya kawanku bisa lolos, dan harganya untuk tahun itu cukup lumayan bagi perekonomian keluagaku.
Keringat dingin rasanya melapisi kulitku penuh seluruh, lebih khawatir tentang orangtuaku. Apakah mereka akan menuruti mauku atau melarang diriku menjemput keinginanku bersekolah di sana. Akhirnya, nenek dengan bijak berbicara padaku, “Sepertinya niat Nina untuk masuk ke sekolah ini diurungkan dulu ya.
Mbah takut kalau Nina lolos dengan cara seperti ini, ke depannya kurang baik buat Nina." Aku tahu, maksud mbah, dia ingin agar aku mau untuk berlapang dada dan lebih jujur kepada diriku sendiri. Mereka takut, aku gagal menghargai proses dan kedepannya jika menginginkan sesuatu aku mengambil cara instan yang jelas tidak benar.
Sebesar apapun keinginan yang ada di benakku untuk dapat bersekolah di tempat favorit akhirnya kendur. Aku pun enggan meski dalam penolakan itupun aku kecewa mendapatkan sesuatu dengan cara tidak baik. Kejadian itu terngiang-ngiang saat aku berada di jenjang pendidikan baru, dan membuatku bersyukur sebab kejadian itu aku selalu berusaha bertanggung jawab dan berusaha yang lebih ketika memiliki keinginan.
Penulis : Nina - Jembrana/fimela