Siap-siap kerja lebih keras lagi orang miskin pun akan kena pajak

Siap-siap kerja lebih keras lagi orang miskin pun akan kena pajak

Mengapa barang kebutuhan pokok dijadikan objek pajak ? Padahal, barang kebutuhan pokok ini dikonsumsi oleh masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan

Pemerintah berencana menghapus beberapa jenis barang dan jasa dari daftar kelompok yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN). Rencana tersebut tertuang dalam revisi kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).

Berdasarkan rancangan RUU KUP, ada dua kelompok barang yang akan dihapus dari kategori bebas PPN. Keduanya, yaitu hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya, tidak termasuk batu bara; dan barang kebutuhan pokok.

Berdasarkan aturan yang ada saat ini, barang yang masuk kategori bebas PPN terhadap kelompok hasil tambang, di antaranya minyak mentah, gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, bijih timah, bijih besi, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, hingga bauksit.

Sementara, kategori kebutuhan pokok yang saat ini masih bebas PPN, di antaranya segala jenis beras, jagung, sagu, kedelai, garam, gula, tepung, telur, daging segar maupun beku, buah, sayur, umbi, hingga bumbu masak.

Pada kategori jasa, pemerintah mengeluarkan 11 jenis jasa dari kategori bebas PPN. Dengan demikian, hanya tersisa enam jenis jasa kategori bebas PPN dari sebelumnya 17 jenis jasa.

Pertama, jasa pelayanan medis. Nantinya, jasa dokter umum, dokter hewan, ahli kesehatan, bidan, hingga rumah sakit dan laboratorium kesehatan akan dihapus dari kategori bebas PPN.

Kedua, jasa pelayanan sosial, seperti panti asuhan, panti jompo, pemakaman, hingga jasa lembaga rehabilitasi. Ketiga, jasa pengiriman surat dengan perangko, yakni yang selama ini dilakukan PT Pos Indonesia (Persero).

Keempat, jasa keuangan, seperti jasa penyediaan tempat menyimpan barang dan surat berharga.

Kelima, jasa asuransi. Keenam, jasa pendidikan, seperti pendidikan sekolah, seperti PAUD, SD-SMA, perguruan tinggi; dan pendidikan luar sekolah, seperti kursus.

Ketujuh, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, seperti jasa penyiaran radio atau televisi. Kedelapan, jasa angkutan umum di darat, air, dan udara dalam dan luar negeri.

Kesembilan, jasa tenaga kerja, seperti jasa penyediaan asisten rumah tangga. Kesepuluh, jasa telepon umum yang menggunakan uang logam. Terakhir, kesebelas, adalah jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Adapun tarifnya, pemerintah saat ini juga berencana untuk menaikkan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen. Kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12 persen ini sesuai bunyi Pasal 7 Ayat 1 draf RUU KUP.

Melalui draf ini, pemerintah sepertinya berupaya menanggapi kritikan dari Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD). Pada Maret lalu, OECD menyoroti pendapatan perpajakan Indonesia yang rendah dibanding negara anggota G20.

Hasil Survei Ekonomi OECD Indonesia terbaru menyebutkan pada 2018, dengan jumlah orang yang membayar pajak penghasilan (PPh) kurang dari delapan juta orang. Artinya, rasio perpajakan Indonesia terhadap PDB hanya 11,9 persen. Angka rasio pajak ini jauh lebih rendah bila dibandingkan rata-rata negara OECD sebesar 34,3 persen.

Mengapa rasio pajak di Indonesia bisa sangat rendah? Menurut Sekretaris Jenderal OECD Angel Gurria, Indonesia memiliki kepatuhan pajak yang buruk dan terlalu murah hati dalam memberikan pengecualian dan diskon pajak.

Sejak 2020 hingga saat ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan stimulus pajak. Salah satu stimulus pajak yang diberikan adalah keringanan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) kendaraan bermotor dan keringanan PPN pembelian rumah baru.

Keringanan PPnBM kendaraan bermotor, misalnya, berlaku secara bertahap mulai 1 Maret 2021. Pada periode Maret hingga Mei 2021, keringanan PPnBM yang diberikan mencapai 100 persen. Kemudian, pada tiga bulan berikutnya, besaran diskon PPnBM yang diberikan menjadi 50 persen dan dikurangi lagi menjadi hanya 25 persen untuk periode September hingga Desember 2021.

Saat ini, negara sedang menggelontorkan anggaran yang cukup besar untuk menangani pandemi Covid-19 yang entah kapan benar-benar akan berakhir. Untuk memenuhi kebutuhan anggaran penanganan Covid-19, pemerintah tidak bisa sepenuhnya mengandalkan dana pinjaman luar negeri ataupun dana dari penerbitan surat berharga negara (SBN) ataupun SBN syariah.

Namun, dana yang dihimpun dari penerbitan surat utang tidaklah cukup untuk membiayai seluruh pengeluaran negara. Sementara, jurus lain yang disiapkan pemerintah, yakni membentuk lembaga Sovereign Wealth Fund (SWF) yang akan mengelola dana investasi abadi, hingga kini belum mendapat sumber pendanaan yang pasti.

Kalaupun ada pihak-pihak yang sudah menyatakan bersedia menanamkan uangnya di SWF milik Pemerintah Indonesia, tetapi sifatnya baru sebatas pernyataan lisan, tanpa ada perjanjian yang mengikat. Satu-satunya yang bisa dipikirkan pemerintah saat ini untuk menambal kas negara (yang hingga April 2021 defisit Rp 138,1 triliun--Red) adalah dengan menggenjot penerimaan pajak.

Yang menjadi tanda tanya besar adalah mengapa barang kebutuhan pokok, seperti beras, garam, gula, tepung, telur, daging segar maupun beku, buah, sayur, umbi, hingga bumbu masak, menjadi salah satu objek pajak baru ?

Padahal, barang-barang kebutuhan pokok ini tak hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas, tapi juga masyarakat yang berpenghasilan pas-pasan dan bahkan kurang.

Kebijakan diversifikasi penerimaan pajak baru ini bertolak belakang dengan rencana pemerintah untuk kembali memberikan program pengampunan pajak (tax amnesty) kepada para pengusaha. Kebijakan pajak di Indonesia ini juga bertolak belakang dengan kebijakan yang diambil oleh negara-negara lain.

Saat sejumlah negara gencar mengejar penerimaan pajak dari orang-orang kaya, di Indonesia justru orang-orang miskin makin dibebani dengan tambahan pajak. Beberapa negara yang berencana menaikkan pajak orang kaya adalah Kolombia, Argentina, Inggris, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.

Pada zaman ekonomi yang serbasulit akibat pandemi Covid-19 apakah pantas barang kebutuhan untuk hajat hidup orang banyak (termasuk si miskin) dikenakan pajak ?

Tanpa pajak pun daya beli kelompok masyarakat miskin sudah sangat rendah. Selain itu, selama ini pemerintah masih sulit untuk meredam lonjakan harga barang-barang kebutuhan pokok tersebut dari permainan para mafia pangan dan pemburu rente. (rep)

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel