F
Hutan untuk Para Taipan

Hutan untuk Para Taipan

Ketika distribusi aset mengalir ke konglomerat masyarakat adat dan kelompok lokal hanya menjadi penonton

Kawasan hutan yang diincar paling besar secara berurutan berada di Kalimantan, Papua, Sumatera, Maluku, dan Sulawesi
DI atas podium, Presiden Prabowo Subianto adalah orator yang gagah membela kepentingan orang banyak. Katanya di pelbagai forum: kekayaan negara tak boleh dikuasai segelintir orang karena itu adalah ciri negara gagal.

Di lapangan, pemerintah tak beranjak dari praktik lama membela segelintir pengusaha melalui proses yang tidak transparan. Ini juga tampak dalam distribusi hak penguasaan dan pengelolaan hutan.

Pemerintah berencana menerbitkan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) istilah baru yang sebelumnya dikenal sebagai Hak Pengusahaan Hutan atau HPH untuk kawasan seluas 4,8 juta hektare. 

Hingga akhir 2023, terdapat 152 pemohon. Luas wilayah konsesi setara dengan Provinsi Jawa Barat plus Provinsi Banten. Kawasan hutan yang diincar paling besar secara berurutan berada di Kalimantan, Papua, Sumatera, Maluku, dan Sulawesi.

Pemberian konsesi ini berbeda dengan kebijakan di era Soeharto: hutan dikaveling oleh segelintir pengusaha untuk dieksploitasi kayunya, lalu disulap menjadi perkebunan sawit atau area pertambangan. Kebijakan yang digulirkan oleh Joko Widodo dan Prabowo Subianto adalah pemberian konsesi hutan untuk program hutan karbon.

Di dalamnya juga termasuk pengelolaan kawasan ekosistem hutan, termasuk biomassa tumbuhan, serasah, dan tanah yang dipertahankan untuk siklus karbon global.
 
Sepintas mulia, kebijakan konsesi jenis kedua tetap menyangkut bisnis besar. Pemerintah memang sedang mendorong industri karbon sebagai strategi menekan pelepasan emisi gas rumah kaca sekaligus membuka peluang ekonomi baru dari agenda perubahan iklim. 

Tapi praktik ini menuai kritik: tanpa strategi yang komprehensif, perdagangan karbon hanya wahana cuci dosa para penghasil emisi (greenwashing).

Saat ini konsesi untuk perdagangan karbon dikuasai oleh raksasa sektor kehutanan, perkebunan sawit, dan pertambangan. Di Papua Barat dan Papua Barat Daya, misalnya, ada PT Salawati Hijau Lestari dan PT Sorong Hijau Ekosistem yang mengajukan permohonan PBPH pada 2022. Januari 2025,

Kementerian Kehutanan telah memberi konsesi hutan seluas 150 ribu hektare. Salawati Hijau dan Sorong Hijau dimiliki oleh Angelia Bonaventure Sudirman, cucu Martias Fangiono, pendiri Grup Surya Dumai yang belakangan membangun perusahaan sawit First Resources Limited di Singapura. Adapun di Kalimantan, terdapat beberapa perusahaan yang diduga terafiliasi dengan Grup Triputra,

Grup Integra (Indocabinet), Grup Harita, dan Grup Sinar Mas. Keempat kelompok bisnis besar tersebut bergerak dalam pelbagai bidang usaha eksploitasi kawasan hutan, dari perkebunan sawit hingga pertambangan.
Ketika distribusi aset mengalir ke konglomerat yang sudah berpuluh-puluh tahun menikmati bisnis sektor kehutanan, masyarakat adat dan kelompok lokal hanya menjadi penonton. Dalam liputan Tempo menemukan terdapat 67 perusahaan yang mengajukan permohonan konsesi baru di area yang mengiris 310 ribu hektare wilayah adat milik 37 komunitas adat. Fakta ini menyimpang dari ketentuan pemerintah bahwa masyarakat semestinya diberi kesempatan yang sama untuk mendapatkan nilai ekonomi karbon.

Persoalan besar lain dari program bagi-bagi hutan ini adalah kurangnya transparansi. Sejak Mei 2024, Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sekarang Kementerian Kehutananmengklasifikasikan proses PBPH di lingkungan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari sebagai informasi yang dikecualikan dari publik. 

Sejak saat itu, Sistem Informasi Geospasial atau Sigap Kementerian Kehutanan yang diklaim sebagai wujud tata kelola sektor kehutanan tak berfungsi. Peta PBPH hanya berisi nama perusahaan, tanpa detail informasi lain, seperti luas, nomor izin, dan jenis usaha.

Sikap tertutup pemerintah dalam pemberian izin merugikan orang ramai. Apalagi dalam Undang-Undang Cipta Kerja ada pasal yang menambahkan sektor bisnis baru, yakni multiusaha kehutanan. Pelaku usaha bisa menyelenggarakan beragam jenis usaha dalam satu area konsesi. 

Di sisi lain, pemerintah menempatkan sektor kehutanan dalam kelompok industri berisiko tinggi. Seharusnya, makin tinggi risiko, tata kelola kehutanan makin terbuka.

Presiden Prabowo harus segera menghentikan program yang melebarkan ketimpangan itu. Jika tidak, ia hanya mengulang pidato hipokrit Joko Widodo lewat pidato yang kini telah jadi olok-olok: we walk the talk, not only talk the talk
 
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel