Harapan seorang Guru Honorer

Harapan seorang Guru Honorer


Baru saja Zulkifli pulang dari mengajar di sekolah tempat ia mengabdi. Sekarang, ia sedang berbaring di atas ranjangnya dan masih mengenakan seragam yang sama. Ia menatap langit-langit kamar. Pikirannya melayang pada sesuatu yang begitu ingin digapainya pada pertengahan tahun ini.

Adalah seorang perempuan, kekasih dari Zulkifli, yang selalu meminta agar ia segera menikahinya. Tapi, betapa berat bagi Zulkifli untuk mendapatkan biaya pernikahan yang telah ia kumpulkan tiga tahun belakangan ini. Begitu juga, uang tabungan dari hasil mengajar sebagai guru honorer, tetap tak cukup untuk ongkos perkawinannya.

Demikianlah Zulkifli. Pikirannya begitu berat memikirkan gaji sebagai guru honorer. Membeli bahan bakar sepeda motornya pun tiap harinya bila diperhitungkan per bulannya hampir tak memadai. Belum lagi, uang cicilan kredit sepeda motor tiap bulannya.

Uang yang mana lagi yang mau disisihkannya untuk menabung? Maka, ia harus lebih hemat dan mempertimbakan segala sesuatunya untuk mengeluarkan uang dari dalam dompetnya.

“Tak sampai sejuta, Pak. Namun, dari pada dua tahun lalu, lumayanlah yang sekarang ini.” begitulah jawaban Zulkifli tempo hari ketika calon mertuanya bertanya tentang gajinya sebagai guru honorer.

“Tak apa Zul! Butuh proses itu. Tapi, kau usahakanlah pertengahan tahun ini kau nikahi Azizah. Maklumlah, kalau perempuan memang selalu tak sabar.”

“Insya Allah, Pak. Saya pun sudah menabung.”

Dua keluarga dari pihak Zulkifli dan Azizah telah setuju atas hubungan mereka. Begitupun, keluarga Zulkifli selalu mendesak.

“Sudah cocok kalian itu. Manis si Azizah itu, tampaknya salehah pula dia, suka Ayah menengoknya! Janganlah lama-lama Zul! Nanti diserobot orang pula dia!” begitu pesan ayah Zulkifli ketika Azizah diperkenalkan pada ayah dan ibunya di rumah mereka.

Namun, semua orang hanya tahu di luarnya saja, sedangkan tekanan batin dan pikiran Zulkifli orang-orang tak mau peduli. Hanya sesama guru honorerlah yang mengerti perasaan satu sama lain.

“Memang begitu Zul kalau jadi Guru honorer! Abang pun setelah ada sertifikasi ini baru bisa bernapas. Kalau enggak, makan telur dan mi instan saja kami tiap hari. Bisa-bisa, bisul pun bertumbuhan di mana-mana! Begitupun kau, harus sabar dulu. Ada saja jalan rezeki itu, Zul.”


Beberapa tahun lalu, Zulkifli mengikuti ujian calon pegawai negeri sipil (PNS). Tetapi, nihil hasilnya. Bukan ia kalah dalam mengerjakan tes ujian, melainkan sesuatu yang mengucur ke saku oknum-oknum bejat yang tak mementingkan orang-orang pintar yang layak menjadi PNS menyebabkan Zulkifli harus tersingkir dari persaingan yang tak lagi sehat.

Begitulah bila tak memiliki uang di negeri kita ini! Keluh Zulkifli pada sesama teman yang gagal lulus menjadi PNS.

Tak hanya menjadi guru honorer, Zulkifli pun pernah membuka usaha kecil-kecilan menjual pulsa “berjalan”. Tapi, menjadi tak lancar ketika orang-orang lebih banyak memilih utang. Dan, akhirnya pun Zulkifli memilih tak lagi berjualan.

“Tunggu gajian ya Pak Guru, baru saya bayar.”

“Ya sudah tak apa-apa.” Begitu jawab Zulkifli ketika masih mencari pelanggan.

Sempat pula Zulkifli mengikuti program multi-level marketing (MLM). Tapi, itu tak berapa lama.

“Semakin tak jelas pula programnya! Masa, disuruhnya aku beli produk-produk mereka. Ah, meskipun diiming-imingi melancong ke luar negeri, sudah cukup sampai di sini sajalah usaha marketing-marketing ini!” keluh Zulkifli pada Azizah, tempo hari.

“Kalau begitu menurut Abang. Tak usahlah lagi dilanjutkan, Bang!”

Banyak usaha Zulkifli untuk mendapatkan uang tambahan supaya ditabung sebagai modal segala keperluan pernikahannya dengan Azizah. Tapi, Zulkifli belum pernah berhasil mendapatkan dari usaha lain, selain menjadi guru honorer.


Zulkifli bangkit dari rebahannya, ia berjalan keluar kamar menuju meja makan. Ia mendapati di meja makan itu tempe goreng dan mi instan yang dimasak tadi pagi untuk sarapan. Memang, hampir tiap hari ibunya memasak seperti itu.

Apa saja yang dimasak untuk sarapan, itu pula lauk ketika makan siang. Pun, jarang sekali mereka memasak ikan, apalagi daging. Tapi, betapa Zulkifli tahu, mendapatkan uang begitu susah. Apa pun lauk yang tersaji, itulah yang harus dinikmati dan disyukuri.

Tiba-tiba, ibu dari Zulkifli menghampirinya di meja makan.

“Zul, uang listrik dan air sudah dua bulan tertunggak. Keperluan dapur pun mulai habis. Ayahmu itu minta dibelikan rokok.” lapor ibu pada Zulkifli.

Memang, semenjak ayahnya pensiun dari pekerjaannya dan gaji pensiunannya pun tak seberapa, Zulkifli-lah yang menanggung biaya kebutuhan keluarganya.

“Iya Mak, nanti Zul bayar. Tapi, mengapa pula ayah minta belikan rokok?”

“Entah! Makin tua ayahmu itu makin deras dia merokok. Macam asap knalpot lah! Dilarang tak bisa!”

“Iya, nanti Zul belikan juga rokok ayah.”

Sebenarnya, Zulkifli, pekan ini, tak memiliki cukup uang membayar uang listrik dan air, pun dengan rokok ayahnya. Pada pekan depan, tepat awal bulan, baru Zulkifli gajian. Tapi, untuk rokok bisa saja Zulkifli utang terlebih dulu di kedai tetangga. Untuk uang listrik dan air, awal bulan depan jugalah dibayarnya.

“Jangan lupa Zul!” pesan ibunya.

“Iya!”


Malam ini, Zulkifli berkujung ke rumah Azizah. Mereka bercakap-cakap di beranda rumah. Di atas langit sana bulan purnama menaungi malam.

Ada hal serius yang ingin dibicarakan Zulkifli pada Azizah. Maka, percakapan malam ini menjadi tegang. Tampak jelas di raut wajah Zulkifli dan Azizah.

“Memang tak bisa diundur lagi Dik Zizah ?! Tahun depan sajalah!” Kata Zulkifli.

“Bang! Dari tahun ke tahun, Abang selalu bilang begitu. Selalu diundur! Selalu diundur! Lama-lama Zizah bisa jadi perawan tua, Bang!” kata Azizah sedikit marah.

“Bukanlah begitu maksud hati abang, Dik! Tapi, Dik Zizah tahu sendirilah, selama menabung ini, belum cukup uang abang, Dik! Mungkin tahun depan sudah cukuplah!”

“Untuk tahun depan, abang pun belum yakin! Masih abang bilang, mungkin! Misalnya, tahun ini tak jadi, di tahun depannya pun abang bilang, belum cukup tabungan abang Dik Zizah, di tahun depan sajalah! Berilah kepastian sama adik, Bang! Tak mudah menahan rasa menunggu dan terus menunggu, Bang!” kata Azizah ketus.

Zulkifli hanya bisa diam. Ia benar- benar dilema. Ia tahu perasaan Azizah dan ia juga tahu dengan kondisi keuangannya sendiri.

“Iyalah Dik Zizah! Di pertengahan tahun ini pun kita nikah. Bagaimana pun abang usahakan. Abang sayang sama Dik Zizah!”


Tepat di pertengahan tahun. Acara resepsi pernikahan.

“Cantik sekali Azizah hari ini!”

“Iya. Memang selalu cantik dia. Serasi pula dengan laki-lakinya! Ganteng!”

“Serasi pun dengan pelaminnya!”

“Iya. Komplitlah sudah!”

Mendengar percakapan para undangan itu, Guru Zulkifli hanya tersenyum. Betapa ia menyadari bahwa Azizah memang cantik. Maka dari itu pula ia mencintai Azizah sampai saat ini. Meskipun, ia hanya bagian dari tamu undangan.

“Selamat ya Azizah! Beruntung kali Paribanmu itu!” kata Zulkifli dalam hati. Ia tersenyum ketika menyalami kedua mempelai di atas pelaminan.

Zulkifli pulang ke rumahnya dengan hati yang hampa....

Harapan Guru Zulkifli
Cerpen Muftirom Fauzi Aruan (Republika, 30 Maret 2014)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda