Lilitan gurita yang menguasai jokowi dan tak bisa ditolak kehadirannya

Lilitan gurita yang menguasai jokowi dan tak bisa ditolak kehadirannya

Ketika Soeharto tumbang, sebagian tapian cepat sekali menyesuaikan diri. Kekuatan korporasi mereka merasuki di berbagai lini kekuasaan negara


Mendenyutkan nadi politik-ekonomi,
Special Interest Group terdiri dari para taipan ini memenuhi semua syarat memenangi lobi tingkat tinggi. Kehadirannya nyaris tak bisa ditolak. Karena telah menanam “saham” di balik kemenangan sebuah rezim. Itulah lingkaran Gurita Bisnis yang menguasai Jokowi.

Di dunia korporasi, nama-nama taipan ini sudah seperti setengah dewa. Edward Soeryadjaya, James Riyadi, Sofjan Wanandi, Anthony Salim, Tommy Winata, Robert Budi Hartono, Tahir, Jacob Soetoyo. Belakangan muncul Rusdi Kirana.

Benar, para Raksasa Bisnis itu merangkak dari bawah. Tapi sistem ekonomi apa di dunia ini hingga nama-nama itu acapkali dinobatkan sebagai Orang Terkaya di Indonesia.

Di banyak negara, bukan hanya Indonesia, hubungan korporasi dan negara sudah seperti dua sisi mata uang. Korporasi adalah pemain utama kegiatan dan penguasaan ekonomi; amat mempengaruhi rezim kekuasaan.

Itulah kenapa, dari sekian nama di atas, mereka yang pernah dibelit kasus cukup serius, tapi sampai hari ini tak tersentuh. Anthony Salim misalnya. Pemilik Indofood ini dililit kasus pengemplang dana BLBI, namun tidak terbukti oleh Kejaksaan Agung 2009.

Tapi kini ia terseret dalam kasus keberatan pajak yang membelit Hadi Poernomo, mantan Dirjen Pajak. Kasus keberatan pajak BCA ditengarai menjadi pintu masuk untuk membuka kembali kasus BLBI itu.

Edward Soeryadjaya, bos Ortus Limited Holdings, juga didera kasus dugaan korupsi proyek pembangunan Depo Pertamina Balaraja, Tangerang. Nilai kerugian negara ditaksir mencapai US$ 12,8 juta.  Sukanto Tanoto, yang mengakui dirinya pengagum Jokowi, sarat dengan masalah hukum.

Pertempuran habis-habisan antara Tanoto dengan Edwin Soeryadjaya, kakak Edward Soeryadjaya, sampai ke pengadilan Singapura memperebutkan Adaro, berbuntut penggunaan hak angket DPR 2004-2009 atas kasus transfer pricing perusahaan raksasa batu bara itu. Kerugian negara per bulan ditaksir mencapai 400-an miliar.

Hasilnya: Angket Adaro di DPR kandas. Beleid permintaan Ditjen Pajak kepada interpol untuk memburu Tanoto ke luar negeri, lenyap. Aroma suap 1 miliar per kepala anggota DPR menyengat. Adaro dengan langkah tegap melakukan IPO. Dan itulah IPO terbesar pertama dalam sejarah Bursa Efek Indonesia.

Ketika Soeharto tumbang, sebagian tapian itu cepat sekali menyesuaikan diri. Sebagiannya baru belakangan muncul mengkilap, seperti Rusdi Kirana.

Kekuatan korporasi mereka merasuki di berbagai lini kekuasaan negara. Terutama dalam partai politik dan parlemen, lembaga hukum, serta lembaga kepresidenan dan lingkaran dekat rezim penguasa.

Metamorfosis sejumlah penumpang rezim Orde Baru itu berhasil membangun dan mempertahankan kerajaan bisnisnya juga dengan cara melibatkan berbagai elemen civil society. Terutama media massa, akademisi kampus dan kelompok budaya.

Pengemplang BLBI, termasuk BPPN, menggunakan strategi “makan bubur panas” Yaitu menggiring opini dari pinggir-pinggir untuk sampai ke tujuan utama.

Peran kelompok civil society itu nampak sekali, antara lain dalam kasus Asian Agri. Itulah kasus pengemplang pajak ratusan miliar yang melibatkan Vincentius, yang akhirnya menjadi Justice Collaburator.

Majalah TEMPO habis-habisan menyorot kasus ini melalui liputan investigasinya.  Sebagai balasan, Raja Garuda Mas milik Sukanto Tanoto menyewa sejumlah akademisi UGM membuat riset menilai objektivitas berita TEMPO.

Di kalangan sejumlah ademisi muncul plesetan “UGM: Universitas Garuda Mas”.  Mantan Rektor UGM bahkan menjadi Direktur Eksekutif Tanoto Foundation.

Jaringan sosial-politik kepentingan korporasi itu sebangun dengan kejahatan korporasi di tengah ketidakmerataan kemakmuran. Di tambah lagi dengan karut-marut sistem dan penegakan hukum negeri.

Prioyono B. Sumbogo, kriminolog UI, dalam disertasinya membuktikan secara ilmiah, bahwa di sektor bisnis terlarang beberapa aktor korporasi itu melibatkan organisasi kejahatan internasional seperti Triad dan Yakuza.  Aparat negara tutup mata.

Anatomi jaringan aktor merasuki kekuasaan negara dan jaringan sosial yang ada itu variabelnya sumir. Praktiknya selalu bawah tanah. Inilah kelompok elit yang amat spesial. Biasa disebut dengan Special Interest Group (SIG).

Jangankan di Indonesia. Di negeri segagah Amerika saja tidak bebas dari pengaruh SIG. Hamid Basyaib, wartawan senior, mencatat: sejak dekade 1990-an, sejumlah analis dan pers AS seringkali meragukan presiden AS mengendalikan SIG. Baik dalam rezim Bush, Clinton maupun Obama.

Tantangan terberat pertama sebelum diambil sumpah jabatannya justeru memformat strategi bagaimana mengelola SIG.  Jumlahnya saja untuk ukuran negara bagian Arkansas yang kecil, saat Bill Clinton menjadi gubernurnya, dia harus menghadapi 500-an SIG.

Dari sekian itu, ada level SIG yang jadi sponsor eksklusif di balik Clinton berkuasa. SIG yang jadi lingkaran inti Clinton mendirikan organisasi semacam think thank. Namanya “Arkansas Connection”, yang juga berafilisasi dengan James Riady, sponsor-nya Jokowi.

SIG, walau berada di luar struktur kekuasaan, tapi mengendalikan jantung  kekuasaan politik, ekonomi dan keuangan AS. Mereka membesarkan politisi untuk dipersiap menuju Gedung Putih dan Capitol Hill.

Jika jagoannya menang dalam Pemilu, sederet kebijakan yang ditetapkan Gedung Putih tentu saja mudah ditekan untuk meraup keuntungan rezim bisnis mereka.

Kebijakan politik, hukum dan ekonomi untuk kepentingan nasional, didikte mengikuti misi korporasi dalam SIG. Demikian pula dengan Capitoll Hill. Sulit menolak apa yang telah ditanam oleh SIG. Termasuk mengondisikan lembaga peradilan.

Kalau jagoan kalah, mereka sedapat mungkin menjangkau melalui persuasi yang sangat eksklusif sebagaimana menggunakan lobi Israel. Tapi, baik jagoan kalah maupun menang, SIG pada tingkatan lebih eksklusif sebetulnya tak ada urusan. Karena kelompok yang kaya raya itu memenuhi semua syarat memenangi sebuah lobi.

Mereka memiliki perangkat administrasi, komunikasi, akuntan yang handal. Memiliki jaringan luas untuk menugaskan para ahli terpercaya sebagai operatornya dengan gaji yang tinggi. Mereka juga punya kapital kuat dalam tawar-menawar untuk menakluk dua jantung kekuasaan AS itu.

Mereka memiliki asosiasi profesi sesuai dengan bidang bisnisnya. Para sarjana terbaik Amerika dan belahan Uni Eropa direkrut dan berkolaborasi dengan praktisi yang bangkotan di bidangnya.

Dengan data dan analisa kajian yang sangat menyakinkan, seringkali pemerintah AS tak berdaya. Sangat agresif.  Suap-menyuap mewarnai rangkaian proses lobi itu. Terutama sokongan modal untuk Pemilu berikutnya.

Di titik didih konflik kepentingan antara publik dan kelompok SIG itulah praktik kejahatan kerah putih ala mafioso itu akhirnya menjadi remang-remang. Karena memiliki legitimasi dari perangkat kebijakan dan melekat di jantung kekuasaan.  Benjamin B. Wager, Jaksa Agung Distrik Timur California, AS, yang diangkat Obama pada 2006 berkesimpulan: kejahatan terorganisir  ini sulit dibongkar, karena beberapa hal.

Pertama, pelaku kejahatan terorganisir menggunakan hubungan antara beberapa pelaku kunci dengan modus kejahatan yang dilakukan dalam sel-sel terpisah, sehingga sulit dirangkai dalam satu kejahatan tunggal.

Tiap pelaku yang terlibat dalam tindak kejahatan tersebut saling mengembangkan jaringan satu sama lain. Baik melalui koneksi pribadi, keluarga, bisnis ataupun melalui koneksi asosiasi profesi, dan koneksi politik; regional maupun internasional. Karena itu sulit mengetahui siapa pelaku utama kejahatannya.

Kedua, karena hubungan dibangun sifatnya mutualisme, para pelaku bersatu dalam menghadapi penyidikan atau kemungkinan adanya tuntutan.  Kecil kemungkinan salah satu pelaku melaporkannya ke aparat berwenang.

Omerta berlaku di sini. Diorganisir secara rapi dan rahasia, penyelesaian masalah internal yang mereka lakukan juga cenderung menggunakan hukum tak tertulis itu.

Ketiga, sangat sulit mengidentifikasi atau bahkan tidak ada "tempat kejadian perkara" yang pasti. Minim bukti forensik untuk mengidentifikasi pelaku.

Bukti materiil seperti dokumen transaksi dan aset yang diraup dari hasil KKN itu, dapat dialihkan kepada orang lain untuk dikelola. Atau bahkan dapat musnahkan dalam posisi yang benar-benar terjepit.

Seringkali para penegak hukum baru mengetahui kejahatan tersebut setelah sekian lama terjadi. Sehingga jejak kejahatan menjadi kabur; bukti-buktinya susah dilacak. Bahkan, para saksi telah dibayar atau memiliki kesempatan panjang untuk membuat alibi-alibi palsu.

Transaksi yang dilakukan juga umumnya dilakukan secara tunai, atau berupa aset. Ini semua kian mempersulit pembuktikan.

Keempat, adanya backing dari oknum aparat pemerintah berkuasa. Bahkan oknum ini menjadi mitra kunci Bos Besar (god father) kejahatan dalam SIG itu, yang sama-sama mengendalikan sebuah bisnis.  Jaringan oknum pemerintah itu seringkali diatur secara vertikal. Dari pejabat paling tinggi sampai pejabat rendah.

Dengan struktur rahasia ini, celah penyelidikan dan penyidikan dapat dikunci. Pelaku yang merupakan orang berkuasa dalam rezim politik seringkali menggunakan pengaruh kekuasaannya untuk mencampuri penyidikan.

Bahkan mengintimidasi para saksi. Atau menghalangi saksi bekerja sama dengan aparat penegak hukum sebagai justice collaburator. Tentu, melalui tangan operator. Pucuk pimpinan tidak akan terlibat langsung.

Metamorfosis korporasi dalam SIG di AS menjadi kejahatan sistemik itu telah lama menular di Indonesia. Formalnya ditandai dengan gejala oligarki korporasi masuk dalam barisan partai politik.

Daftar mega kasus yang mewarnai jagat politik-hukum 2002-2014 menguatkan praktik itu sudah “di-foto copy”. Sebut saja kasus KKN Komisi XI dengan para petinggi BI yang menjerat Burhanuddin Abdullah, Agus Chondro sebagai justice collaburator, Miranda Goeltom, dan sebagainya.

Juga penanganan skandal BLBI yang tak kunjung tuntas di masa Megawati sampai SBY. Sampai dengan mega kasus  Bank Century, Hambalang, Migas, yang mengarah ke lingkaran inti SBY. Di balik semuanya selalu ada pihak pengusaha.

Di rezim Jokowi sekarang, para taipan sebagaimana di atas mengelilingi Jokowi hari ini. Kepastian nama-nama taipan tersebut diungkap oleh politisi senior PDI Perjuangan sendiri: Kwik Kien Gie.  Dan bisa jadi Jokowi menjadi media titik temu Soekanto Tanoto dengan sang rival, Edwin Soeryadjaya, yang dulunya bertikai memperebutkan Adaro.

Dari nama dia atas, yang terang-benderang masuk dalam struktur kekuasaan adalah Sofjan Wanandi. Bos Gemala Group dan Santini Group itu Ketua Tim Ahli Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Kabarnya, dia menjadi palang pintu utama sejumlah investor asing. Termasuk proyek infrastuktur yang gila-gilaan itu. Formalnya melalui Kepala BPKM, Franky Sibarani, junior Sofjan Wanandi di Apindo.

Ada juga Rusdi Kirana. Bos Lion Airlines ini sekarang menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Yang tak disangka: ada Jan Darmadi dalam barisan dewan itu.  Bos judi dan properti yang dekat dengan Soeharto ini lama tak nampak.

Dulunya, dia sudah seperti “TW-nya” era penguasa Orde Baru itu. Kemunculan Jan seakan menjungkarbalik kalimat indah masa kampanye lalu, bahwa Jokowi bebas dari warisan politik Orde Baru.

Tentu semua itu menjadi lampu merah bagi kelangsungan demokrasi di Indonesia. Dikawal Raksasa Bisnis, postur Jokowi makin kekar. Tesis yang gembar-gembor dia akan jatuh kurang dari dua tahun: terpatahkan. Tidak ada opisisi yang berarti.

Gerinda, poros utama Koalisi Merah Putih dipastikan tidak berdaya melawan frontal.  Paling banter, barangkali bagi Prabowo, bisnisnya tidak diganggu. Koalisi ini pecah! Golkar, sebagai penyokong utamanya, di ambang genggaman pihak penguasa.

Kelompok SIG para taipan yang menyetir kekuasaan, bukan saja secara politik, tapi juga ekonomi. Termasuk menguasai jagat penegakan hukum. Karena pada rezim sebelumnya mereka telah “teruji” kebal dari kasus yang menjeratnya.

Penguasaan perekonomian Indonesia masa sebelumnya yang hanya bertumpuk pada segelintir elitpengusaha kakap, pejabat negara, penegak hukum dan beberapa elit politik kelak makin dipersempit lagi dalam menikmati legitnya ekonomi.

Berbagai riset menyebutkan, dalam dekade 2003-2013, sekitar 70 persen aset negara ini dikuasai etnis tertentu. Sisanya baru dinikmati rakyat. Di era Jokowi, persentase ini bakal meningkat. Kalau begini jadinya, Indonesia benar-benar dalam lilitan mafia. [dem]
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda