Tidak ada makan siang yang gratis. Ini ungkapan populer di Barat. Kalau di sini, yang populer sekarang adalah ”tak ada kandidat presiden yang gratis”.
Siapa yang disindir? tentu Jokowi, presiden ketujuh negeri ini. Ia menjadi calon presiden dalam pemilu pada tahun lalu karena ditunjuk oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Padahal Jokowi-begitu nama presiden ini disingkat-bukan kader yang menjadi pengurus pusat PDIP. Bahkan, ia belum pernah menjadi anggota DPR. Ia menelikung sejumlah kader partai, termasuk Megawati sendiri.
Memang betul Jokowi berhasil merangkul banyak relawan. Tanpa dukungan relawan, sulit Jokowi menang. Namun, tanpa tiket dari partai politik, tak ada orang sehebat apa pun di negeri ini yang bisa menjadi calon presiden. Sebab, calon presiden independen tak dibolehkan undang-undang.
Jokowi memang beruntung. Namun tidak ada yang gratis. Ia harus membayarnya. Bukan hanya kepada PDI Perjuangan, tapi juga kepada partai politik yang berkoalisi dengan PDIP. Dengan cara apa Jokowi membayar? Sudah pasti dengan barter jabatan, baik suka maupun tak suka, diakui maupun tidak.
Jadi, sesungguhnya Jokowi tak bisa berjalan secara independen. Hak prerogatif presiden hanya ada dalam kata-kata formal. Cara Jokowi menunjuk menteri jelas merupakan upaya membayar utang.
Puan Maharani, anak Megawati, menjadi salah satu menteri koordinator. Tentu sulit dibantah bahwa sejatinya Jokowi memang “tak bisa membantah”. Repotnya lagi, Jokowi tak punya basis di partai mana pun. Ia juga harus membayar utang kepada partai-partai koalisi.
Tong kosong berbunyi nyaring kalau Jokowi mengatakan menteri yang ia angkat jauh dari urusan transaksional, apalagi tanpa syarat.