Hujan deras telah mengguyur berbagai wilayah Indonesia. Salah satu kebakaran hutan paling dahsyat di dunia bakal padam. Tapi banjir dan longsor telah menanti.
Salah satu ‘tradisi’ Indonesia yang paling terkenal di dunia adalah, bila musim kemarau kebakaran hutan bersimaharajalela. Lalu, ketika musim hujan tiba, banjir dan longsor siap menghantam segala penjuru nusantara. Sialnya, seperti yang sudah-sudah, tak orang yang mau mengaku bertanggung jawab.
‘Mencari kambing hitam’, inilah tradisi sosial-politik Indonesia paling sering muncul ketika terjadi musibah besar yang mengancam kelestarian lingkungan dan jiwa manusia. Tak ada yang mau disalahkan. Sebaliknya, banyak yang bahkan bergaya jagoan penyelamat umat manusia.
Di era ‘kerja, kerja,kerja’ ini, kambing hitam yang paling sering disebut adalah pemerintah sebelumnya. Semua ini seolah menunjukkan bahwa makin membludaknya orang Indonesia yang beribadah ke tanah suci di Timur Tengah maupun Eropa tak memiliki korelasi dengan ‘tradisi’ yang mencerminkan busuknya karakter seseorang atau masyarakat itu. ‘Tradisi’ buruk ini bahkan cenderung menguat belakangan ini.
Lihat saja, dalam soal kebakaran hutan, para petinggi pemerintah lebih suka menuding negara tetangga sebagai pihak yang ikut bertanggung jawab. Juga, tak ada satupun dari mereka yang mau mengaku bersalah karena menolak bantuan negara lain sampai kebakaran hutan merebak tak terkendali.
Kini, sang kambing hitam tentu sadar bahwa dirinya akan kembali menjadi bulan bulanan seiring dengan datangnya musim hujan. Maklumlah, seperti yang sudah-sudah, tak ada politisi atau petinggi pemerintah yang mengaku bertanggung jawab atas terjadinya bencana banjir, tanah longsor, bendungan jebol, wabah penyakit dan sebagainya. Sebaliknya, banyak orang penting yang mengaku telah berusaha semaksimal mungkin untuk mencegah terjadinya bencana, tapi Tuhan berkata lain.
Menjatuhkan tanggung jawab kepada Tuhan memang gampang. Segampang para hakim menjatuhkan vonis bebas kepada koruptor berkelas triliunan rupiah, yang tak segan berkilah bahwa hanya Tuhan boleh mengawasi pekerjaan mereka. Tapi bisa dipastikan, mengkambinghitamkan Tuhan bukan perkara gampang sama sekali.
Semua itu menunjukkan, di era demokrasi ini falsafah ‘tujuan menghalalkan cara’ tetap kuat. Bedanya, kalau dulu laras senapan dipakai secara telanjang di arena sipil, sekarang harus dibungkus dengan kepentingan rakyat atau negara. Rakyat, yang cuma menjadi penonton, pun nyaris tak bisa berkutik karena kepiawaian para politisi, aparat penegak hukum, dan birokrat mengakali demokrasi.
Maka wajar bila telah bergulir sebuah ide gila. Yakni mengembalikan Indonesia ke tangan militer. Para pendukung ide ini mengacu pada Thailand, dimana militer memperoleh dukungan luas dari masyarakat untuk mengambil alih kekuasaan dari tangan para politisi. Kini Thailand diperintah oleh Jendral Prayuth Chan-ocha, yang ternyata lebih suka memperkuat kekuasaan ketimbang mengembalikan demokrasi.
Dengan demikian wajar saja kalau banyak orang menjadi makin tak perduli pada urusan negara. Di tengah lesunya perekonomian dan hantu PHK yang kian rajin bergentayangan, gampang dimengerti tentunya bila makin banyak orang kasmaran pada falsafah ‘tujuan menghalalkan cara’. Yang penting keluarga bisa tetap makan, dan anak-anak tak putus sekolah.
Mereka tentu juga makin tak perduli pada mimpi-mimpi indah tentang masa depan yang terus ditebar oleh pemerintah melalui berbagai upacara ground breaking oleh Jokowi. Selain banyak proyek tetap macet setelah ground breaking seperti PLTU Batang dan LRT, mereka harus stress menghadapi biaya hidup yang makin mahal karena tahun depan pemerintah akan menghapus subsidi listrik 23 juta rumah tangga, yang kebanyakan kelas menangah ke bawah.
Di tengah kebingungan semacam itu, pemerintah sendiri tampaknya juga sedang bingung. Lihat saja, para menteri sekarang ini tak segan untuk melakukan perang terbuka melalui pers. Sementara itu, di tengah dahsyatnya program raksasa infrastuktur, menteri keuangan Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa presiden cukup waswas karena penerimaan negara ternayata masih jauh dari sasaran sementara pengeluaran mulai membengkak.
Sulit dibayangkan bagaimana jadinya nanti bila pemerintah tetap bingung, sementara rakyatnya makin kebingungan. Pada akhirnya, kalau Tukul Arwana kembali ke Laptop, pemerintah kembali ke kambing hitam. [gigin]