Kalijodo Era Ahok
Salah satu pengunjung kawasan Kalijodo, Asiong (29), menceritakan pengalamannya saat beberapa kali berkunjung ke sana, baru-baru ini.
Dia menilai, Kalijodo tidak lagi dikenal sebagai tempat hiburan kelas bawah. Menurut dia, beragam kalangan datang ke sana untuk sekadar berkaraoke hingga bermalam dengan perempuan pekerja seks komersial.
"Jangan heran, di sini itu, dari BMW sampai Fortuner, ada saja. Saya rasa, itu juga soal selera. Enggak selalu yang pakai mobil bagus mainnya ke tempat yang mahal juga," tutur Asiong.
Berdasarkan data Kelurahan Pejagalan, Jakarta Utara, ada sekitar 50 kafe yang beroperasi di kawasan Kalijodo dan sekitar 150 PSK tinggal di sana. Namun, saat para PSK bekerja, jumlahnya bisa mencapai 500 orang.
Tarif tiap PSK pun berbeda-beda, dari Rp 100.000 hingga Rp 1 juta. Biasanya, PSK yang memasang tarif tinggi disiapkan bagi orang-orang tertentu yang dinilai memiliki kemampuan finansial lebih.
"Jadi, itu cuma buat yang bisa saja. Kalau yang standar, banyak, bisa ketemu di pinggir jalan. Yang mahal, harus bisa bikin janji dulu," ujar Asiong.
Kalijodo, di Era 1600-an
Boleh pecaya, boleh juga tidak. Tapi inilah yang terjadi. Ternyata, sungai Kalijodo menjadi tempat orang Cina mencari hoki. Loh, kok bisa begitu? Ini bukan lelucon, tapi keyakinan sebagian orang Cina berdasarkan historis tentang Kalijodo.
Dulu, di era tahun 1600-an ketika Jakarta masih bernama Batavia di bawah kekuasaan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC), mayoritas penduduknya beretnis Cina.
Ungkapan ini bukan tanpa dasar. Menurut penulis novel senior, Remy Sylado, ketika itu VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coen melakukan serangkaian survei di wilayah kekuasannya. Hasilnya, menyebutkan bahwa mayoritas masyarakat Batavia merupakan etnis Cina.
Mereka adalah orang-orang yang melarikan diri dari Mansuria. Ketika itu, di Mansuria tengah dilanda perang. Orang-orang Cina itu kabur ke Batavia tanpa membawa istri, apalagi anak. Karena harus menyeberangi lautan yang luas, hanya dengan menggunakan perahu kecil.
Setelah cukup lama tinggal di Batavia, hasrat biologisnya pun mulai bergejolak. Mereka pun mencari alternatif saluran. Akhirnya, mereka bertemu saluran itu. Tepatnya di saluran banjir kanal, atau dulu disebut Kali Angke.
Secara kebetulan, di zaman itu, kali-kali di Jakarta masih bersih dan dijadikan tempat mencuci oleh para wanita pribumi di pagi hari dan tempat klenong (jalan-jalan) di sore hari.
Para wanita yang ingin menjalin hubungan dengan kaum Cina itu karena berlatar ekonomi. Apalagi, orang-orang Cina dikenal memiliki cukup banyak uang sebagai pedagang handal.
Salah satu tempat klenong para wanita pribumi itu adalah Kali Angke. Karena itulah, orang-orang Cina itu sering mendatanginya untuk mencari pasangan. Ada di antara mereka yang hanya sekedar dijadikan gundik, tapi ada juga yang sampai berjodoh. Karena itulah, kali itu dinamakan Kalijodo.
Untuk bisa menarik orang-orang Cina, para wanita pribumi ini kerap menyanyikan lagu Cina klasik di pinggiran kali. Beberapa di antaranya ada yang sambil menaiki sampan, getek, atau perahu kecil.
Ketika itu, para wanita yang bersedia dijadikan gundik disebut Cau Bau oleh orang-orang Cina. Tapi mereka bukanlah pelacur seperti sekarang ini. Karena mereka tidak dilokasisasi oleh germo atau mami.
“Cau Bau itu artinya perempuan saja. Bukan pelacur, karena memang tidak ada ukuran yang bisa dijadikan alasan untuk menyebut pelacur,” kata Sylado yang pernah melakukan penelitian di kawasan Kalijodo untuk penulisan novelnya.
Sebutan Cau Bau yang disandangkan kepada para gundik ketika itu, sama dengan pengertian Geisha dalam kebudayaan Jepang. Mereka hanya perempuan penghibur dengan imbalan uang.
Karena itulah, istilah Cau Bau itu terbawa hingga sekarang dengan sebutan Cabo, artinya perempuan yang bisa diajak kencan dengan imbalan uang, atau lebih ekstrimnya pelacur. (Syarif Hidayatullah)