Konspirasi jahat yang dilakukan politisi dan penguasa

Konspirasi jahat yang dilakukan politisi dan penguasa

Para penyidik KPK sadar bahwa penyadapan, yang selama ini menjadi senjata pamungkasnya dalam mencokok para koruptor, akan hilang


Ketua DPR RI Ade Komaruddin belum bisa memastikan revisi Undang-Undang no 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dicabut dalam progam legislasi nasional (Prolegnas) 2016. Pasalnya, harus menunggu kesekapatan Fraksi-fraksi partai politik di DPR RI.

"Kita lihat pendapat dan pandangan pasti dari Fraksi-fraksi itu terlihat saat kita lakukan rapat konsultasi dengan pimpinan dewan, akan bahas hal yang sama," ujar Akom, sapaan akrabnya di gedung DPR RI, Jakarta, Selasa (23/2/2016).

Sementara itu...
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon memastikan partainya menolak revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Alasan penolakan karena revisi UU dinilai akan melemahkan lembaga antikorupsi itu.

"Ya itu kan harus kemauan dari semua pihak. Kalau kita (Gerindra) tidak ada masalah dihentikan atau dicabut," kata Fadli di kompleks Parlemen, Senayan, Selasa (23/2/2016).

Wakil Ketua DPR ini menilai, pencabutan revisi UU KPK dalam Prolegnas 2016 hanya masalah teknis, kapan saja bisa dilakukan jika disepakati DPR dan pemerintah.

Pemerintah dan DPR kian bernafsu menghabisi senjata Pamungkas KPK: penyadapan.

Para penyidik KPK tentu sadar betul bahwa penyadapan, yang selama ini menjadi senjata pamungkasnya dalam mencokok para koruptor, akan hilang. Apa boleh buat, para politisi di Senayan dan pemerintahan tampak sudah kompak untuk melumpuhkan KPK.

Para pengusaha yang juga politisi tentu memainkan peran sangat penting dalam hal ini. Maklumlah, sudah demikian banyak pebisnis yang telah dicokokok KPK. Bila dibiarkan, akan lebih banyak lagi pebisnis, yang belakangan ini makin gemar menjadi politisi, dimasukkan bui oleh KPK.

Menurut Menkopolhukam Luhut Panjaitan dan mayoritas fraksi di Senayan, penyadapan oleh KPK akan diatur. Masih menurut Luhut secara keseluruhan, aktifitas KPK akan diawasi oleh Dewan Pengawas. Alasannya, agar KPK tak bisa lagi melakukan penyadapan dan beroperasi secara sembarangan.

Bila gerakan tersebut berhasil, masa jaya KPK, yang berlangsung selama 2004-2014, akan tamat. Dalam periode ini, KPK melakukan penangkapan koruptor terbesar sepanjang sejarah Indonesia, dengan tingkat keberhasilan 100 persen.

Menurut Menkopolhukam, revisi UU KPK diharapkan tuntas dalam waktu beberapa bulan. Perdebatannya pun tampaknya akan dingin saja karena hanya tiga fraksi – PD, Gerindra, dan PKS – yang menolak revisi UU KPK.

Aksi pelumpuhan KPK ini tentu saja membuat kepastian hukum di Indonesia kian tak menentu. Maklumlah, selama ini KPK, sebagaimana terbukti dalam semua survei, adalah satu-satunya lembaga penegakan hukum yang benar-benar serius dalam menjalankan tugas. Apalagi sekarang ini amburadulnya penegakan hukum di Indonesia sedang menjadi sorotan dunia.

Kekalahan IKEA dalam pengadilan melawan penguaha Surabaya yang terang-terangan menjiplak merek ‘IKEA’ menebar pesan ke seluruh dunia tentang betapa buruknya penegakan hukum di Indonesia. Bagaimana tidak, jauh sebelum ‘IKEA’ Surabaya lahir, IKEA Swedia sudah puluhan tahun malang-melintang di dunia dan menjadi merek paling terkenal dalam industri perabotan rumah tangga.

Kekalahan IKEA Swedia tentu disambut sangat hangat oleh para penjiplak, dan bisa menjadi malapetaka bagi para pemilik merek terkenal. Ini tentu saja menjadi peringatan keras bagi mereka agar mejauh dari Indonesia karena penjiplakan merek dilindungi oleh hukum.

Dalam situasi seperti itu, para penydidik KPK memlilih untuk mengayunkan langkah lebih cepat sebelum senjata pamungkasnya diberangus. Haislnya, seorang pejabat Mahkamah Agung, tak sempat kabur ketika ditangkap tangan oleh para penyidik KPK pada 12 Ferbuari lalu.

Dia adalah Kasubdit PK dan Kasasi Perdata dan Khusus MA Andri Tristianto Sutrisna. Dia ditangkap bersama pengusaha Ichsan Suaidi, dan pengacara Awang Lazuardi Embat.

Apa kabar BLBI? Mega skandal yang merugikan negara hingga ratusan triliun rupiah itu, ternyata bakal segera kedaluwarsa pada bulan Februari mendatang.

Kabar bakal habisnya tenggat waktu pengusutan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang cair di masa krisis 1998, disampaikan oleh Apung Widadi, Koordinator Advokasi dan Investigasi Sekretariat Nasional (Seknas) Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra). “Februari 2016 BLBI kedaluwarsa,” katanya.

Lalu siapakah pihak yang bisa diharapkan bakal menuntaskan penyelidikan BLBI yang dipercaya melibatkan elite di masa itu? Tentu saja, ya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan kemauan pemerintah.

Masalahnya, apakah KPK bisa? Banyak yang pesimis. Lihat saja saat jaksa Yudi Kristiana ditarik dari KPK ke Kejaksaan Agung, meski masa tugasnya belum usai. Padahal, jaksa Yudi dikenal sangat konsen mendorong penyelidikan BLBI.

Banyak yang menilai, penarikan Yudi adalah salah satu bukti untuk menggembosi target KPK dalam menyelesaikan kasus BLBI.

Upaya menyelesaikan kasus BLBI memang tak pernah tuntas, mengingat skandal ini dipercaya melibatkan kelompok besar yang berada dalam struktur perekonomian dan elite, baik di sektor perbankan, politik, dan pemerintahan.

Pernyataan Ketua KPK yang baru, Agus Rahardjo kedengarannya juga tak tegas. “Kalau alat buktinya cukup, kemungkinan untuk diteruskan, akan selalu ada,” katanya. Hanya segitu saja.

Sikap pemerintah? Pada pertengahan Desember lalu, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan justru mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Seusai menghadiri pelantikan tiga deputi KPK di Gedung KPK, Luhut menyatakan bahwa kasus tersebut tutup buku.

“Tidak ada urusannya dengan BLBI. BLBI sudah selesai, sudah tutup buku. Kita berbicara dana-dana kita yang ada di luar negeri dan mereka tidak mau membawa ke dalam negeri,” kata Luhut yang saat itu menjelaskan soal RUU Pengampunan Nasional.

Tahun 2014 Ketua KPK Abraham Samad pernah berjanji akan memanggil Megawati Soekarnoputeri untuk diperiksa terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) untuk beberapa obligor BLBI.

SKL itu dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002. Saat itu, puteri Bung Karno ini adalah Presiden RI.

Sekadar catatan, KPK mulai menyelidiki dugaan tindak pidana korupsi penerbitan SKL sejak April 2013. Lembaga antikorupsi ini menduga ada masalah dalam proses pemberian SKL kepada sejumlah obligator tersebut.

SKL tersebut berisi tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya. SKL itu kemudian populer dengan nama release and discharge.

Tercatat beberapa nama konglomerat papan atas, seperti Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan, yang menerima release and discharge dari pemerintah.

Sayangnya, belum lagi Megawati diperiksa, KPK sudah ditimpa berbagai masalah. Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK (saat itu) Bambang Widjajanto dijadikan tersangka oleh polisi. Padahal, banyak kalangan berharap kasus ini bisa segera diselesaikan, karena sudah mengendap begitu lama.

Hampir 15 tahun komitmen penuntasan BLBI memang bukan kepada penegakan hukum, tapi komitmen ekonomi politik rezim yang berkuasa. [GFI, teropongsenayan, kompas]
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda