Orang Hokkian (Hanzi: 福建人, pinyin: fujian ren) atau Orang Hoklo adalah penduduk dari provinsi Fujian bagian selatan di Republik Rakyat Tiongkok. Banyak orang Hokkian menjadi perantau dan tinggal di berbagai negara, terutama di Asia Tenggara.
Pendatang Tionghoa di Asia Tenggara umumnya termasuklah Indonesia adalah berasal dari propinsi Fujian (Hokkien) mereka tidak menggunakan bahasa Mandarin yang merupakan dialek Utara.
Orang Hokkian merupakan mayoritas perantau di Indonesia. Di zaman kolonial Belanda, pemerintah Batavia menetapkan kuota perantau yang diperbolehkan merantau ke Indonesia.
Pemerintah Batavia juga mendata jumlah pendatang menurut daerah asal, yang pada zaman tersebut dikelompokkan menjadi empat kelompok besar; Hokkian, Tiochiu, Konghu dan Hakka. [wiki]
Orang yang mengaku Hokkian di Medan kebanyakan berasal dari Tiochiu, demikian pula halnya dengan orang Hokkian di Penang, Malaysia. Dialek Hokkian di Medan sangat mirip dengan yang dilafalkan di Penang. [Budaya Cina]
Mantan Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew mungkin orang yang luhur tapi mungkin juga tidak. Kita ingat Bapak bangsa keturunan hokkian ini pernah mengatakan bahwa bangsa-bangsa tetangganya yang punya ras melayu adalah bangsa yang tidak intens, tidak kreatif dan malas.
Namun anehnya mereka paling doyan berbelanja, suka leyeh-leyeh tanpa mau banting tulang. Kebudayaan melayu kata Lee lebih lanjut, maunya kerja enteng tanpa peras keringat tapi ingin cepat kaya.
Sementara itu Singapura yang mayoritas orang hokkian tergolong bangsa yang tekun dan ulet dalam berusaha. Benarkah demikian ?
Sejarah belum selesai mencatat dan Lee ternyata tidak asal ngomong. Coba kita lihat statistik.
Di lapangan bisnis, hanya segelintir orang kita yang berkutat di bidang ini. Sementara itu warga keturunan Cina yang populasinya hanya 5 persen dari total penduduk, hampir mendominasi perekonomian Indonesia.
Pendapat Lee tersebut seakan mendapat stempel pengesahan manakala pemerintahan Orde Baru membuka peluang bagi mereka untuk berusaha. Kelompok pengusaha pribumi yang memang belum terbiasa dalam iklim persaingan akhirnya pada keok dan berguguran.
Banyak pendapat mengatakan bahwa kekalahan Indonesia di rumahnya sendiri tidaklah terjadi serta-merta. Semua itu kata orang adalah faktor budaya kita yang memang tidak menumbuhkan iklim kompetitif secara sehat bila tidak diberi proteksi oleh pemerintah.
Menurut data Leo Suryadinata sebagaimana dikutip Eep Saefullah Fattah, di Indonesia, dominasi ekonomi Cina terjadi di tengah minoritasnya orang Cina dibanding pribumi. Pada tahun 1980 misalnya, hanya ada sekitar 4 juta orang Cina (2,8%) dari 147 juta penduduk Indonesia.
“Pada saat yang sama sebagaimana ditunjukkan Yahya Muhaimin, dari 41,25% investasi modal domestik, 26,95% adalah modal orang Cina dan hanya 11,20% modal pribumi” kata Eep Saefullah Fattah.
Bila kita melacak lebih jauh, beda populasi antara pengusaha Cina dan pribumi kian terang. Dari 200 konglomerat yang bisa diidentifikasi, hanya 37 konglomerat pribumi yang omzetnya di bawah Rp 1 triliun.
Berdasarkan jumlah asset yang dimiliki maka ada 10 konglomerat Cina yang masuk ranking. Di antaranya ururtan pertama tentu saja Sudono Salim alias Liem Sioe Liong. Menyusul Prajogo Pangestu alias Phang Djun Phin, Eka Tjipta Widjaya alias Oei Ek Tjhong, Michael Bambang Hartono alias Oei Hwei Siang dan lainnya.
Kita pun tertegun bila tahu bahwa mereka itu juga punya hubungan sangat mesra dengan penguasa. Kita pun iri dan menelan itu semua seraya menyaksikan kondisi perekomian kita yang porak-poranda dihantam krisis.
Lee Kuan Yew mungkin benar ketika mengatakan bahwa ras melayu memang bukanlah pekerja keras. Tapi apakah asumsi Lee tersebut dapat dibenarkan ? Tidak, kata SH Alatas.
SH Alatas adalah Guru Besar pada Jabatan Pengajian Melayu di Universitas Nasional Singapura. Dalam bukunya yang terbit 1988 berjudul Mitos Pribumi Malas, Alatas mengecam pendapat yang mengatakan bahwa ras Melayu adalah pemalas. Menurutnya, ada kesalahan fatal dalam menilai ras Melayu bila mengikuti pendapat para ahli dari barat.
Kesalahan itu kata Alatas pula lantaran kita melihat orang Melayu dengan kacamata seperti itu. Dan itu sangat menyesatkan. Ia hanyalah mitos yang sengaja ditiupkan oleh kaum kolonialisme agar kekuasaannya di tanah jajahan bertambah kukuh.
Ada seorang ahli bernama FA Swettenham yang menulis beberapa ciri orang Melayu yakni kebenciannya terhadap kerja keras yang terus menerus baik dengan otak maupun dengan tangannya.
Para penjajah itu yang juga membawa para ahli selalu membandingkan orang Asia khususnya Melayu dengan kaum pekerja pabrik di Eropa abad 19. Para pekerja pabrik Eropa memang sangat giat bekerja karena orientasinya memang pada keuntungan semata. Sementara itu orang Melayu bekerja tanpa standar seperti itu.
Orang Melayu juga bekerja tanpa ukuran waktu, merekalah yang mengatur waktu, bukan sebaliknya. Sebagaimana Rafless, anggapan Lee Kuan Yew mungkin saja berangakat dari sana.
Apa boleh buat, kita memang tidak punya pledoi yang cukup atas pendapat seperti itu. Kita bisa lihat misalnya derasnya arus orang kita yang berbelanja di Singapura sementara mereka tahu bahwa Indonesia adalah negara yang miskin untuk ukuran Asia.
Alatas memang telah menyatakan bahwa asumsi malas ras Melayu adalah rekayasa barat, namun kita sepertinya tak kepingin membuktikan itu. Kita pun terus dipertontonkan dengan segala rupa kejadian yang membenarkan bahwa kita memang tergolong bangsa yang tidak intens.
Di tahun 70-an dulu kita dihebohkan kasus Komisi Haji Tahir di Pertamina. Harta hasil korupsinya lantas disimpan di sebuah bank di Singapura, tepat di depan hidung Lee Kuan Yew. Tentu saja Lee bertepuk tangan untuk itu.
- Penulis : Arsyad Salam dengan beberapa tambahan dari Code Lab sebagai penguat artikel dengan tidak mengurangi isinya.