Melihat bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan bersekutu

Melihat bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan bersekutu

Belanda, melalui program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), mengusulkan teknologi Giant Sea Wall pada pemerintah Indonesia dan DKI Jakarta. Sebuah tanggul laut raksasa


God made the Earth, but the Dutch made Holland yang artinya Tuhan yang menciptakan dunia ini, namun manusialah yang 'menciptakan' Negeri Belanda, kalimat ini terdengar akrab di telinga warga Koninkrijk der Nederlanden.

Negeri itu mungkin tak bakal lestari tanpa campur tangan manusia. Sebab, lebih dari 20 persen wilayahnya berada di bawah permukaan laut.

Karena itulah, tanggul-tanggul dibuat, membentang lebih dari 2.400 kilometer. Tanpa benteng itu, niscaya 65 persen wilayah Belanda akan digenangi air laut. Bahkan, Kota Amsterdam mungkin tinggal nama, karam dalam air.

Meski tak persis seperti yang dialami Belanda, masa depan Jakarta dibayangi kekhawatiran. Salah satunya akibat eksploitasi air tanah yang berlebihan. Dalam setahun, permukaan tanah Ibu Kota turun lebih dari 10 cm.

Seiring berlalunya waktu, Jakarta terancam tenggelam. Dalam arti sebenarnya.

"Anda harus punya rencana jangka panjang. Sebab, jika penurunan tanah di Jakarta terus berlanjut, pada 2023, sudah terlambat. Anda tak akan bisa mengatasinya," kata Duta Besar Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Rob Swartbol dalam wawancara khusus dalam program 'The Ambassador' Liputan6.com.

Air laut kian menyeruak masuk, dimulai dari pesisir pantai utara Jakarta. "Jadi, Anda harus membentengi diri."

Dubes Swartbol menambahkan, negaranya berpengalaman menghadapi dan menangani hal tersebut. Negaranya membentengi rakyat dari lautan.

"Kami tahu benar bagaimana caranya, karena kami di Belanda hidup di bawah permukaan air laut," dia menambahkan.

Negeri Kincir Angin, melalui program National Capital Integrated Coastal Development (NCICD), mengusulkan teknologi Giant Sea Wall pada pemerintah Indonesia dan DKI Jakarta. Sebuah tanggul laut raksasa. [l6]


Proyek Giant Sea Wall senilai Rp 500 triliun sedang berlangsung di Teluk Jakarta. Satu perusahaan bahkan sudah memasarkan hunian di pulau buatan yang akan dibuat. Inikah contoh kesekian tentang bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan kembali bersekutu seperti halnya proyek Pantai Indah Kapuk dan Ciputra di zaman Orde Baru.

Jika kelak kerusakan lingkungan terbukti, saya siap dihadapkan ke meja hijau. Saya mempertaruhkan segalanya: nama baik, moral, bank guarantee.

Kata-kata itu diucapkan oleh Ciputra menjawab pertanyaan wartawan majalah Tempo tentang dampak buruk proyek reklamasi Pantai Indah Kapuk atau PIK. Itulah proyek bisnis hunian elite di bibir pesisir Jakarta yang meluncur dengan garansi tak akan merusak lingkungan, dan Ciputra adalah penggagas dan pemilik proyek.

Semula, Ciputra menjanjikan lahan pengganti dan pembangunan hutan lindung, tapi hingga Tempo menurunkan tulisan di rubrik “Investigasi” 1 April 2002 atau 20 tahun sesudah hutan dan pantai Kapuk direklamasi, Ciputra tidak memenuhi janjinya.

Proyek PIK yang direncanakan ramah lingkungan malah diduga menjadi penyebab banjir dan biang keladi kerusakan lingkungan. Tempo menulis “PIK adalah contoh bagaimana uang, ambisi, dan kekuasaan bersekutu di zaman Orde Baru.”

Kini 35 tahun sudah janji-janji Ciputra menguap, tapi proyek reklamasi yang jauh lebih besar dari PIK sedang dikerjakan di sepanjang pesisir Jakarta dan sekitarnya: proyek Giant Sea Wall.

Tanggul raksasa yang diperkenalkan sejak zaman Fauzi Bowo alias Foke menjabat gubernur. Idenya berasal dari seorang konsultan Belanda, dan sudah masuk ke Rencana Tata Ruang Wilayah DKI [2010-2030].


Proyek ini semula disebut Sea Dike Plan dan di era Jokowi jadi gubernur menjadi Giant Sea Wall, tembok laut besar sepanjang kurang-lebih 30 kilometer. Membentang dari pesisir Bekasi di timur Jakarta hingga pesisir Tangerang di sebelah barat, Giant Sea Wall konon akan menjadi tanggul terbesar di dunia dan menjadi penampungan air dari 13 sungai yang nanti bisa diubah menjadi sumber air bersih. Tujuannya: menangkal pasang air laut dan mengatasi banjir Jakarta hingga 1.000 tahun ke depan.

Saat jadi gubernur, Jokowi menyebut proyek Giant Sea Wall banyak diminati swasta karena dianggap menarik secara bisnis dan dia benar, sebab proyek ini kemudian dikembangkan menjadi proyek terpadu untuk membuat 17 pulau buatan, yang di atasnya akan dibangun perumahan, hotel, pusat bisnis, belanja dan lain-lain. Sampai akhir tahun lalu, setidaknya ada 12 perusahaan yang tercatat akan terlibat di proyek ini.

Keduabelas perusahaan adalah PT Muara Wisesa Samudera (PT Agung Podomoro Group), Salim Group Co., PT Agung Sedayu Group, PT Pembangunan Jaya Ancol, PT Intiland Development, PT Kapuk Naga Indah, PT Taman Harapan Indah, PT Jakarta Propertindo, PT Pelindo, PT Jaladri Eka Paksi, PT Manggala Krida Yudha, dan satu perusahaan dari negara Cina, Fuhai Group.

Sebagian besar dari perusahaan yang terlibat adalah raksasa proyek properti. Agung Podomoro misalnya, dikenal karena sejumlah proyek perumahan elit dan pusat belanja mentereng di Jakarta, Bandung, Bali, Kalimantan, Medan dan Nias. Berasal ari konsorsium tujuh pengembang, Agung Podomoro didirikan oleh Salimin Prawiro Sumarto dan Anton Haliman.

Kelompok usaha yang kini dikendalikan Trihatma Kusuma Haliman (anak Anton), diptotes oleh ribuan petani Margamulya, Mulyasari, Wanakerta di Karawang karena dituding telah menguasai tanah para petani seluas 350 hektare. Protes mereka dihadapi oleh oleh ribuan aparat bersenjata.

Delapan warga ditangkap, sembilan warga mengalami luka-luka serius pada bentrok pertama pertengahan tahun lalu. Februari silam, bentrok kembali terjadi, tapi para petani tampaknya harus kehilangan lahan mereka.

Dilanjutkan Pembangunan pusat bisnis dan perumahan mewah di Giant Sea Wall.

*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda