Wartawan harus sanggup menembus sumber berita siapapun orangnya

Wartawan harus sanggup menembus sumber berita siapapun orangnya

Tidak semua wartawan punya kemampuan daya tembus, Diperlukan keahlian tertentu dan jam terbang yang lama untuk bisa melakukan pekerjaan itu


Prioritas pertama yang harus diwawancara adalah para pemain figuran. Ia, bisa aparat penegak hukum, pengamat, para ahli, aktivis LSM, juga pemberi informasi awal dan sebagainya.

Posting ini merupakan lanjutan dari liputan investigasi tentang penyimpangan penyaluran BLBI dan bagian terakhir dari penulisan tentang melihat cara kerja penulis berita atau waryawan.

Sifat keterangan dari mereka biasanya hanya sebagai pelengkap yang mendukung jalan cerita liputan. Kendati demikian, informasi dari pihak pertama tak lalu bisa diabaikan.

Sebagai pihak yang dimintakan verifikasi, keterangan mereka kadang bisa menentukan apakah sebuah liputan layak diteruskan atau sebaliknya. Semakin banyak sumber pertama yang dimintakan keterangan, akan semakin memperjelas peta sebuah liputan: siapa yang terlibat, keaslian dokumen, dan sebagainya.

Pemeran pembantu adalah pihak kedua yang harus diwawancarai. Karena sebagai “pemeran pembantu”, keterangan dari pihak kedua akan memperjelas atau memperkuat jalan cerita sebuah liputan.

Semakin banyak unsur pihak kedua yang diwawancarai, maka akan semakin kuat hasil sebuah liputan. Pihak kedua dalam hal ini, bisa berupa lawan dari pelaku utama, maupun para saksi lain. Mereka adalah prioritas kedua untuk diwawancara, sebelum melakukan wawancara dengan sumber utama.

Menembus Sumber Berita
Tak ada sumber yang tidak bisa ditembus. Itu kata Bambang Bujono, wartawan senior. Salah satu ukuran dari wartawan yang baik, menurut mas Bambu, wartawan harus sanggup menembus sumber berita siapapun orangnya. Minimal mampu menembus sumber-sumber yang memang berhubungan dengan bidang liputannya. Misalnya, wartawan ekonomi harus bisa menembus sumber-sumber yang berhubungan dengan liputan ekonomi, wartawan politik untuk sumber-sumber politik, dan sebagainya.

Persoalannya, tidak semua wartawan punya kemampuan daya tembus, bahkan untuk sumber-sumber yang berhubungan dengan bidang liputannya. Diperlukan keahlian tertentu dan jam terbang yang lama untuk bisa melakukan pekerjaan itu.

Salah satunya dengan memanfaatkan jaringan lobi yang sudah dimiliki. Lewat lobi-lobi itulah, wartawan bisa terbantu dalam menembus sumber. Lobi-lobi itu misalnya, bisa melalui teman atau keluarga, sekretaris, dan sebagainya.

Kalau tidak memiliki jaringan lobi, yang harus dilakukan pertama adalah membuat permohonan wawancara yang disampaikan lewat surat, email, sms atau telepon. Jika cara ini juga tidak manjur, langkah terakhir yang harus dilakukan wartawan adalah mencegat langsung sumber.

Inipun bukan pekerjaan gampang. Selain harus tahu benar jadwal acara, dan kebiasaan sumber, juga dibutuhkan nyali besar untuk melakukannya, terutama jika sumber misalnya adalah orang penting yang punya banyak pengawal, atau dikelilingi birokrat yang berwatak rumit.

Soal jarak, tempat, dan waktu bukan pembenar bagi wartawan untuk tidak bisa menembus sumber. Tidak ada alasan, kegagalan menembus sumber hanya disebabkan oleh keberadaan sumber atau hal-hal teknis yang tidak penting. Misalnya karena berada di luar kota atau harus menghubungi dan mencegat di pagi buta, harus menginap dan menunggu berhari-hari dan sebagainya.

Wartawan yang menjadikan jarak, tempat, dan waktu sebagai alasan tidak berhasil menembus sumber adalah wartawan etalase yang hanya duduk di belakang meja dan malas. Wartawan jenis ini mestinya perlu mengkaji ulang profesi sebagai kewartawanannya.

Kalau semua upaya sudah dilakukan, namun sumber juga tidak berhasil ditembus, maka apa boleh buat, itulah serendah-rendah “keimanan” sebuah liputan.

Beda persoalannya dengan sumber yang tidak mau buka mulut karena akan ada alasan kepada publik bahwa sumber memang tidak bersedia memberi keterangan walaupun hal itu juga menunjukkan kebodohan wartawan.

Sumber yang tidak tertembus adalah persoalan krusial yang bisa berdampak buruk pada liputan. Media yang baik, yang mempertaruhkan profesi jurnalistik dan institusinya tentu tidak akan gegabah menurunkan laporan wartawan yang tidak berhasil menembus sumber.

Penulis : Rusdi Mathari

  • Tulisan ini pernah disampaikan dalam pelatihan jurnalistik investigatif untuk jurnalis media cetak se-Propinsi Aceh, yang diselenggarakan oleh Internews dan AJI Jakarta, di Lhokseumawe 29 April 2006.
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel