Sungguh tidak adil bahwa hingga saat ini pemerintah masih membayar bunga dan utang para obligor BLBI. rata-rata diatas 30 triliun hingga 60 triliun per tahun. Disisi lain, rakyat dipaksa membeli sumber kekayaan alam dengan harga lebih mahal karena mengikuti kebijakan pasar bebas.
Sangat ironis bahwa dengan alasan kooperatif membayar utang, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri telah mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA (Master Settlement Acuisition Agreement) dan 17 obligor PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) APU (Akta Pengakuan Utang).
Lima obligor kategori MSAA yang sudah mendapatkan SKL terdiri dari :
- Anthony Salim dengan tingkat pengembalian Rp 19,4 triliun (37%)
- Sjamsul Nursalim Rp 4,9 triliun (17,3%)
- M Hasan Rp 1,7 triliun (27,4%)
- Sudwikatmono Rp 713 miliar (37,4%), dan
- Ibrahim Risjad Rp 370,8 miliar (55,7%)
Itulah keputusan pemerintah yang sangat lemah dan pengecut kepada para obligor, bankir, pemegang saham daripada memperjuangkan keadilan bagi rakyat dan bangsa.
Jika kebijakan ekonomi harus terus membayar utang obligor BLBI dengan cara menambah utang negara, maka tidak perlu sekolah hingga tamat sarjana cukup SMA pun bisa.
Seandainya pemimpin kita lebih pro-rakyat, maka semestinya tim pemerintah mengeluarkan seluruh tenaga dan pemikiran berjuang menindak ketidakbenaran ini.
Mengapa BLBI dan penyehatan perbankan selama 1997-2004 senilai Rp 640,9 triliun harus dibebankan kepada rakyat sedangkan para Obligornya saat ini bisa santai dan tinggal di apartemen mewah ?
Para nelayan, petani dan pemulung harus ikut menanggung utang para obligor dengan membayar pajak yang dipungut, serta segala kekayaan alam kita yang dijual oleh pemerintah.
Ironisnya, selama ini para obligor besar BLBI dilindungi oleh Pemerintah Singapura dan juga Penguasa Indonesia. Rakyat melongo dan yang harus bayar utang.