Republik Indonesia dalam bahaya. Poros Jakarta - Peking yang dibentuk rezim merah, dalam rangka melanjutkan formula pemerintahan terakhir Soekarno, di ujung tanduk. Mirip situasi tahun 1965, kedekatan Indonesia dengan Tiongkok membuat koalisi Atlantik Utara pasang posisi serius.
Sebuah gerakan kebangkitan sentimen anti Cina di Indonesia sedang digalang, secara bawah tanah. Kerusuhan Pribumi - Cina jilid III di hadapan mata. Ada yang bilang, lebih tepat menyebut Kerusuhan Pribumi - Cina jilid ke V. Terlepas dari itu, sudahkah anda mempersiapkan diri?
Sebelum masuk lebih jauh, kita harus melihat akar permasalahannya. Pada tingkat global, tentunya potensi kerusuhan Pribumi - Cina di Indonesia adalah dampak dari tarik menarik antara Koalisi Atlantik Utara dan Koalisi Asia Utara.
Penyederhanaan mudahnya, kompetisi global antara Bani Israel dan Bani Ching. Bani Israel memimpin Koalisi Atlantik Utara, meliputi Amerika Serikat, Inggris, Uni Eropa, Israel dan sebagainya. Bani Ching sebagai pemimpin Koalisi Asia Utara, meliputi, Tiongkok, Rusia, Korea Utara dan sebagainya.
Berikut peta kekuatan Koalisi Dunia saat ini (fokus pada titik-titik strategis terkini)
Peta Kekuatan Dunia. Sumber : Dokumen Pribadi
Di Pagar Barat Koalisi Asia Utara, atau lazimnya disebut Timur Tengah, Koalisi Atlantik Utara memenangkan posisi. Terlihat pada peta di atas, penguasaan Koalisi Atlantik Utara dari Mesir hingga Afghanistan. Tersisa Pakistan dan Suriah yang masih menjadi pekerjaan rumah Koalisi Atlantik Utara.
Koalisi Asia Utara pun kini bergerak vertikal dari Yaman, Saudi Arabia hingga Turki, guna memperkuat Suriah. Koalisi Asia Utara pun memperkuat hubungan dengan Pakistan. Sebab jika Pakistan jatuh ke Koalisi Atlantik Utara, maka Koalisi Asia Utara harus menyerbu Nepal dan Bhutan.
Karena itu Koalisi Atlantik Utara kini serius membacking Nepal dan Bhutan, serta memicu konflik Bangladesh. Sementara Koalisi Asia Utara memperkuat Bangladesh, guna menghalau Myanmar yang direbut Koalisi Atlantik Utara.
Di Pagar Timur Koalisi Asia Utara, atau lazimnya disebut Timur Jauh, Koalisi Atlantik Utara juga menang posisi. Tiongkok sempat melobi Korea Utara dan Taiwan agar kembali menjadi provinsi Tiongkok. Sebelumnya, Tiongkok telah merebut kembali Tibet sebagai provinsi Tiongkok.
Taiwan menjawab tawaran itu dengan memperkuat persenjataan yang dibeli dari AS senilai USD 51 miliar. AS memprovokasi Taiwan bahaya pendudukan paksa Tiongkok ke Taiwan sebagaimana Tibet. Alhasil, proyek Re-Unifikasi Tiongkok atas Taiwan gagal. Taiwan pilih pro AS. Korea Utara pun urung memberikan jawaban, meski tetap menjadi sekutu utama Koalisi Asia Utara.
Bagi Tiongkok, Taiwan memegang posisi penting. Tiongkok menguasai Taiwan, berarti mengamankan Hong Kong dan Shanghai. Menguasai Taiwan, juga berarti Tiongkok bisa memperkuat pos militer di Shanghai untuk menyerbu Korea Selatan.
Jika Korea Selatan jatuh ke tangan Koalisi Asia Utara, maka pendudukan Tiongkok ke Jepang adalah langkah selanjutnya. Taiwan juga kunci penting Tiongkok menghalau serbuan dari Filipina, sekutu Koalisi Atlantik Utara.
Di Pagar Selatan Koalisi Asia Utara, atau lazim disebut Asia Tenggara, Koalisi Atlantik Utara juga menang posisi. Koalisi Atlantik Utara merebut Myanmar dari Tiongkok. Semula, 70% ekonomi Myanmar dikuasai Tiongkok melalui tangan pemerintahan militer Myanmar.
Penemuan cadangan gas Myanmar, membuka pintu penguasaan Myanmar oleh Koalisi Atlantik Utara melalui tangan Aung San Suu Kyi. Dengan janji demokratisasi dan pemerataan ekonomi dari hasil gas, kini Myanmar jatuh ke tangan Koalisi Atlantik Utara. Meluncurlah proyek pipa gas Myanmar ke India. Itulah kenapa Tiongkok memperkuat hubungan dengan Bangladesh.
AS juga berhasil merebut Vietnam melalui kampanye ‘Pembersihan Ranjau’ hasil perang Vietnam – AS dengan sepenuhnya didanai AS. Tiongkok pun tak tinggal diam, Myanmar dan Vietnam direbut AS, Tiongkok sokong kudeta militer Thailand.
Myanmar dan Vietnam, berbatasan langsung dengan Tiongkok. Dengan merebut Thailand yang berada di antara Myanmar dan Vietnam, Tiongkok bisa menghalau dari punggung dua negara itu.
Dapat dikatakan, Pagar Barat, Timur dan Selatan Bagian Barat Koalisi Asia Utara masih tergolong aman. Penyeimbangan posisi berhasil dilakukan. Namun tidak demikian pada pagar Selatan Bagian Timur. Kegagalan Tiongkok merebut Taiwan serta direbutnya Vietnam, menjadikan Hong Kong rentan tanpa pertahanan.
Bila pecah perang, Hong Kong dapat diserbu dari Vietnam, Filipina dan Taiwan. Itulah sebabnya, Tiongkok kini tengah mempersenjatai provinsi Hainan (lihat peta). Hainan adalah provinsi tua yang kini menjadi daerah tujuan wisata.
Namun provinsi Hainan pada awal Masehi, adalah posko militer penting. Kini Tiongkok tengah berkampanye agar masyarakat Hainan menerima perubahan status dari daerah Wisata menjadi daerah Militer.
Hainan saja belum cukup. Hainan hanya menjaga Hong Kong dari Vietnam. Hong Kong masih rentan serbuan dari Taiwan dan Filipina. Tiongkok pun menjalankan 2 skenario :
- Menciptakan Konflik Laut China Selatan.
- Menjadikan RI sebagai Benteng Selatan Tiongkok.
Konflik Laut China Selatan akan menyibukkan negara-negara sekutu Koalisi Atlantik Utara dalam kesibukan perang. Konflik Laut China Selatan juga membuka potensi perubahan peta sekutu di Asia Tenggara. Tentunya, Tiongkok punya kesempatan melobi ulang Taiwan, Filipina, Vietnam dan Maalaysia jika pecah perang Laut China Selatan.
Menjadikan RI sebagai Benteng Selatan Koalisi Asia Utara juga langkah strategis. RI memegang posisi penting menyerang punggung para sekutu Koalisi Atlantik Utara di Asia Tenggara. Itulah sebabnya, Poros Maritim dan Tol Laut yang diusung Jokowi menjadi program andalan.
Memperkuat sektor Kelautan RI adalah kunci penting Tiongkok memenangkan Perang Laut China Selatan. Rusia siap memasok kapal perang ke RI. Tiongkok siap memasok 2.500 kapal angkut untuk tol laut di RI.
Indonesia, sejak kemenangan Presiden Jokowi, dapat dikatakan sah menjadi bagian dari Koalisi Asia Utara. Anda boleh berpolemik membantah eksistensi Poros Jakarta – Peking Jilid II yang dibangun Jokowi dan rezim Merah.
Namun anda boleh jadi akan berpendapat lain jika melihat kondisi faktanya. Setelah pelantikan Jokowi, kita lihat Dolar AS menguat tajam, hingga hampir menembus Rp 15.000 / USD. Penguatan Dolar AS dibarengi dengan fenomena yang disebut “Bule Pulang Kampung”.
Anda boleh tanya ke agen properti di 2 kawasan yang menjadi Posko Utama Atlantik Utara di Indonesia, yaitu Menteng dan Kemang, Jakarta. Sebelum Pilpres, rumah-rumah sewaan di 2 area itu penuh, bahkan waiting list. Setelah pilpres, anda bisa lihat ratusan rumah berharga sewa Rp 30 juta s/d Rp 150 juta per bulan itu bertuliskan “For Rent”.
Agen-agen properti premium di 2 kawasan itu kini amat sangat kesulitan mendapatkan penyewa. Mereka bilang “Bule Pulang Kampung”.
Tiongkok tak tinggal diam melihat penguatan Dolar AS terhadap Rupiah yang bisa mengganggu ekonomi RI sebagai sekutunya. Lalu mengucurlah apa yang disebut “Chinese Dollar” guna menyelamatkan Rupiah.
Chinese Dollar adalah uang para pengusaha Tiongkok dalam mata uang Dollar AS. Arus masuk uang para pengusaha Tiongkok bermata uang Dollar AS itu ke RI, mengangkat kembali Rupiah ke level Rp 13.000-an.
Contoh lain, momentum pergantian Menteri Perdagangan. Semula, jabatan Mendag dipegang oleh Rachmat Gobel yang masih menyeimbangkan kepentingan AS dan Tiongkok. Lalu, ia diganti dengan Tom Lembong yang tidak lain adalah agen Tiongkok, didikan Mochtar Riyadi pendiri Grup Lippo.
Silakan anda cek apa yang terjadi di hari pergantian Rachmat Gobel menjadi Tom Lembong di pasar Valuta Asing. Di hari Tom Lembong menjabat, nilai tukar Yuan terhadap Rupiah melemah tajam. Dampaknya, segala pembelian RI ke Tiongkok menjadi jauh lebih murah.
AS tak tinggal diam, sebagai balasan atas Chinese Dollar, AS menghantam konspirasi Rupiah – Yuan dengan 2 hantaman.
Pertama, AS melancarkan American Yuan ke RI, program serupa dengan Chinese Dollar, guna mengangkat kembali Yuan terhadap Rupiah. Kedua, Dollar AS bertarung secara ekstrem dengan Yuan di pasar Valas. Mungkin masih banyak yang berpikir, apa Indonesia se-penting itu sampai-sampai AS dan Tiongkok rebutan kuasa disini?
Bagi yang belum tahu, pemerintahan Jokowi bertanggung jawab mengurus perpanjangan kontrak 27 blok migas. Belum lagi bicara perpanjangan kontrak Freeport. Kemudian ada juga soal kepentingan Perang Kedelai versus Sawit di sektor Minyak Nabati. Dan masih banyak lainnya.
Bagi Koalisi Atlantik Utara, sikap pemerintahan Jokowi soal Kereta Cepat yang memudahkan kemenangan Tiongkok, adalah sinyal keras. Sinyal keras bahwa ada potensi 27 blok migas dan Freeport bisa lepas dari tangan Koalisi Atlantik Utara.
Apalagi, Tiongkok membuka konflik Laut China Selatan tanpa mengikutsertakan Natuna. Koalisi Atlantik Utara menilai, Natuna tetap di tangan RI adalah sebuah Sweetener Tiongkok atas kerjasama strategis dengan RI.
Natuna memegang peranan penting dalam skenario Perang Laut China Selatan. Diperkirakan ada 3 titik perang Laut China Selatan, yaitu :
- Lautan, titik tengah Hong Kong, Taiwan, Filipina, Hainan, Vietnam.
- Natuna, titik tengah antara Singapura, Malaysia, Vietnam, Sarawak.
- Palawan, adu domba Sabah dan Filipina, kelanjutan sengketa Sulu.
Kawasan Sulu, Mindanao dan Palawan hingga kini masih terus memanas. Sengketa Natuna juga terus memanas. Sepertinya, situasi memanas di 2 titik ini akan terus diprovokasi.
Contohnya, kasus jatuhnya Hercules di Medan. Apakah kejatuhan ini ada kaitannya dengan sengketa Natuna? Sebab, Hercules jatuh di Medan ini bertujuan ke Natuna dan membawa logistik persenjataan ke Natuna. Mengingat Natuna tengah dalam sengketa tingkat global, bukan tidak mungkin jatuhnya Hercules TNI AU adalah sabotase suatu pihak.
Hercules Jatuh di Medan. Sumber : Waspada Online
Natuna ini persoalan menarik. Banyak yang belum tahu kalau tanah dan air Natuna dikuasai Indonesia, tapi kawasan udara Natuna dikuasai Singapura. Kok bisa Singapura kuasai kawasan udara Natuna? Pada 21 September 1995, RI menandatangani perjanjian Military Training Area (MTA) dengan Singapura.
Perjanjian ini kemudian diratifikasi melalui Keppres No 8/1996 pada 2 Februari 1996. Sejak itu, Singapura boleh menggunakan 2 area di wilayah RI untuk latihan militer (MTA). Sebagai negara kecil, Singapura tak punya kawasan untuk latihan perang.
Kawasan Udara Natuna. Sumber : Dokumen Chappy Hakim
Wilayah Udara di kawasan A dan C dikuasai Singapura, sedangkan kawasan B dikuasai Malaysia. Perjanjian MTA antara RI dan Singapura sebetulnya habis pada 2001. Namun entah kenapa, Presiden Megawati waktu itu tidak melanjutkan pembahasan ini. Hingga saat ini, statusnya masih abu-abu. Bagi Singapura, perjanjian MTA berlaku hingga ada perjanjian berikutnya.
Dan lucunya, setiap kali RI mendesak Singapura soal perjanjian ekstradisi, Singapura menjadikan MTA sebagai syarat. Singapura mau berikan akses Ekstradisi ke RI, jika Singapura mendapat kuasa lebih di area MTA. Jadi, Singapura memposisikan Perjanjian Ekstradisi selalu dibarengi dengan Perjanjian Pertahanan.
Belakangan, Singapura mulai melunak terhadap Indonesia. Bahkan, Singapura di Hari Kartini kemarin, menyerahkan buronan Century Hartawan Aluwi secara inisiatif. Ada apa?
Bagi yang belum tahu, Singapura akan segera terbenam dipicu 2 hal, yakni :
- Deklarasi Sistem Informasi Perpajakan Global yang memicu keluarnya Panama Papers.
- Tiongkok menyiapkan RI sebagai Tax Haven baru para Naga, pengganti Singapura.
Kontroversi eksistensi negara-negara Tax Haven berujung pada terbentuknya forum global AEOI (Automatic Exchange of Information ) pada 2013. Motor berdirinya AEOI sudah tentu, negara-negara G20. Fokusnya membahas sistem pertukaran informasi perpajakan secara global. Tujuannya, menghapus kerahasiaan nasabah yang diterapkan oleh negara-negara Tax Haven.
Tak hanya negara-negara seperti Cayman Island, Panama, Bahama, British Virgin Island, dan sebagainya yang panik. Negara-negara yang ditopang ekonominya oleh pengusaha pengguna jasa Tax Haven juga kalang kabut. Jika forum AEOI berhasil membangun sistem yang dituju, maka tak ada aset yang lolos dari pendataan pajak.
Sederhananya, keadilan pajak secara global menjadi tujuan utama forum ini. Pada April 2016, forum AEOI sukses merumuskan sistem pendataan pajak global.
Langkah selanjutnya, implementasi secara global. Sebanyak 98 negara peserta AEOI berkomitmen merealisasikan sistem pendataan pajak global ini. Pada tahun 2017, sebanyak 55 negara akan mengimplementasikan AEOI.
Pada 2018, sebanyak 43 negara akan mengimplementasikan AEOI , termasuk Tiongkok, Rusia, Indonesia, Singapura, dan sebagainya.
Menariknya, 2 negara peserta menolak implementasikan AEOI, yakni Bahrain dan Panama. Lebih menarik lagi, Amerika Serikat tidak ikut partisipasi, baik sebagai peserta, apalagi implementasi.
Komitmen Peserta AEOI. Sumber : Dokumen AEOI
Bagi yang belum tahu, aktivitas forum AEOI ini berkaitan dengan meluncurnya dokumen yang disebut Panama Papers. Pada Agustus 2015, forum AEOI memulai ujicoba implementasi sistem tukar data pajak antar 47 negara dari 100 negara peserta secara sukarela.
Ujicoba pertukaran data ini yang kemudian di-sinkronisasi oleh server raksasa di Brussel (Belgia), menghasilkan data aset terintegrasi di 47 negara. Dokumen aset terintegrasi di 47 negara sebesar 2,6 TB (Terra Byte) ini yang kemudian dikenal sebagai Panama Papers.
Sebanyak 11,5 juta dokumen atas 214.000 perusahaan di 47 negara, dibocorkan Brussel ke kantor berita Suddeutsche Zeitung di Jerman pada Agustus 2015. Tak mampu mengolah triliunan byte data, kantor berita Jerman itu kemudian menggalang pembentukan ICIJ (International Consortium of Investigative Journalists). Setelah proses pengolahan data selama 8 bulan, dilansirkanlah Panama Papers pada 3 April 2016.
Panama Papers melansir 11 hari sebelum forum AEOI (sumber data Panama Papers) mendeklarasikan selesai merumuskan sistem pendataan pajak global. Itulah sebabnya, Panama dibebaskan dari kewajiban implementasi sistem pendataan pajak global AEOI. Panama telah memberi sumbangsih besar bagi suksesnya AEOI dan Panama Papers.
Konon, setelah Panama Papers, akan meluncur Bahrain Papers, berisi data cuci uang para raja minyak terkait pendanaan terorisme global. Bahrain memang tergolong negara Tax Haven dan menjadi pusat perputaran uang bagi pergerakan Islam global.
Kelihatannya, Koalisi Atlantik Utara akan memanfaatkan Bahrain Papers untuk semakin memfitnah umat Islam dalam stigma Terorisme. Kita tunggu kebenarannya.
Dampak implementasi AEOI atau sistem pendataan pajak secara global ini sangat krusial bagi arus uang dunia. Pengusaha pelaku cuci uang tak lagi memiliki tempat bersembunyi. Otomatis, akan banyak sekali dibuka kasus kejahatan pajak di tingkat global, dimulai sejak 2017.
Para pengusaha di seluruh dunia, kini sedang hitung mundur waktu, kapan dirinya akan menyandang label ‘Penjahat Pajak’. Dan demikianlah kompetisi yang akan menjadi panggung utama dalam beberapa tahun ke depan.
Sedang dicari ! Negara yang mau mengampuni kejahatan pajak para pengusaha pencuci uang !
Harus diakui, pengusaha etnis Cina tercatat paling banyak melakukan cuci uang dan kejahatan pajak secara global. Dan biar bagaimanapun, pengusaha Cina di mana saja, berpartisipasi membangun ekonomi Tiongkok yang pesat itu. Itulah sebabnya, Tiongkok dan para pengusaha Cina sedang ketar-ketir mencari negara yang mau mengampuni ‘kejahatan pajaknya’.
Dari sudut pandang Indonesia, uang hasil mengeruk RI yang beredar disimpan di luar negeri mencapai Rp 11.000 triliun. Anggap 70% dari uang itu dimiliki oleh pengusaha Cina yang mengeruk RI lalu menggunakan jasa negara Tax Haven, sekitar Rp 7.700 triliun.
Artinya, ketika 2018 berlaku AEOI di RI, Tiongkok, Singapura dan sebagainya, ada potensi kejahatan pajak pengusaha Cina ke RI senilai Rp 770 triliun.
Dan meluncurlah ide RUU Tax Amnesty di RI sejak akhir tahun lalu. Tiongkok tahu antisipasi berlakunya AEOI harus segera dilakukan.
Tidak melakukan antisipasi berarti membuka potensi para pengusaha Cina akan disandera kasus pajak di RI mulai tahun 2018. Jika para pengusaha Cina terkena kasus pajak di RI pada 2018, berarti menghambat kerjasama strategis Jakarta – Peking.
Jika poros Jakarta – Peking bubar pada 2018, artinya ada potensi Tiongkok tidak memenangkan Pilpres 2019.
Di Indonesia, ide Tax Amnesty tampaknya dinilai semua pihak pemerintahan sebagai solusi. Beratnya APBN akibat harga migas yang sangat rendah, menjadikan Tax Amnesty sebagai solusi mudah mendanai APBN.
Tax Amnesty akan memberikan 2 aspek penambahan pendanaan APBN :
- Penerimaan pajak sebesar 2% hingga 6% dari aset-aset yang selama ini tidak dilaporkan.
- Pemulangan aset yang selama ini tidak dilaporkan (Repatriasi).
Target penambahan penerimaan pajak dari Tax Amnesty berkisar dari Rp 40 triliun hingga Rp 200 triliun. Target aset yang pulang ke RI (Repatriasi) berkisar antara Rp 500 triliun hingga Rp 2.000 triliun. Kesuksesan Tax Amnesty di RI tergantung apakah RUU ini akan mengampuni penuh asal-usul dananya.
Jika ini dipenuhi, maka para pengusaha yang sumber dananya selama ini dikategorikan ‘gelap’ akan melapor dan bayar pada harga diskon. Dan kelihatannya, semua pihak pemerintahan setuju pengampunan total asal-usul dana.
Inilah yang membuat Singapura ketar-ketir. Ada potensi Rp 2.000 triliun dari Rp 3.000 triliun dana ‘gelap’ pengusaha RI di Singapura pulang kampung. Dominan tentunya dana pengusaha Cina.
Dan boleh jadi, negara-negara Tax Haven lainnya yang juga jadi tempat cuci uang pengusaha Cina RI, kalang kabut. Apalagi kalau RI menjadikan satu atau dua provinsi sebagai Tax Haven. Inggris dan Amerika menerapkan ini, negara bagiannya dijadikan area Tax Haven, contohnya Nevada, Delaware, British Virgin Island.
Singapura tampaknya mulai menggerakkan wacana diskon Tax Amnesty terlalu besar, guna mencegah migrasi dana terlalu besar ke RI. Jokowi pun sudah mengantisipasi jika RUU Amnesty gagal di DPR, dengan PP Deklarasi Pajak. Tiongkok mendukung penuh Tax Amnesty guna menyelamatkan para pengusaha Cina dari jeratan kasus pajak di 2018.
Secara hubungan, Tiongkok dengan Singapura juga melemah, khususnya pasca Lee Kuan Yeuw wafat. Hubungan erat Tiongkok dan Singapura terjadi berkat Lee Kuan Yeuw yang disebut salah satu tokoh modernisasi Cina.
Bisa dibayangkan kalau dana Rp 2.000 triliun dari Singapura pulang ke RI (Repatriasi). Selain penerimaan pajak meningkat drastis, juga akan terjadi penguasaan aset-aset strategis RI oleh pengusaha Cina. IPO BUMN, segudang proyek infrastruktur, dan sebagainya, tentu akan didanai dan dimiliki bersama dengan pengusaha Cina. Artinya, kesuksesan Tax Amnesty juga berarti akuisisi Tiongkok terhadap RI.
Singkatnya, Tax Amnesty menjadi kunci kelangsungan Poros Jakarta – Peking secara jangka panjang.
Inilah yang sedang dihadang habis oleh Koalisi Atlantik Utara. Mendadak, segudang pengusaha Cina menjadi tersangka sejumlah kasus korupsi. Sebut saja, Bos Agung Podomoro Ariesman, lalu Bos Agung Sedayu Aguan, dan lain sebagainya. Dulu, hampir mustahil nama-nama pengusaha Tonghoa tersebut menjadi tersangka.
Soal Tax Amnesty, mulai muncul pertanyaan, untuk apa mengampuni kejahatan pajak Cina jika 2018 RI bisa jerat habis mereka?
Di masjid-masjid, mulai dikumandangkan sentimen anti-Cina secara ekstrem saat khutbah Jum’at. Misi perburuan terhadap ISIS dan teroris, membuka pintu intelijen AS menyusup ke masjid-masjid. Berdalih memburu ISIS dan teroris, AS belok provokasi kerusuhan Pribumi – Cina ke tokoh-tokoh muslim.
Gereja-gereja mulai mewanti-wanti potensi kerusuhan Pribumi – Cina terulang kembali. Gerakan bawah tanah memecah belah Indonesia sudah dimulai. Tak hanya sentimen anti-Cina, gerakan memprovokasi separatisme juga sudah dimulai. Saya tak tahu apakah SBY berkaitan dengan ini. Tapi amat sangat kebetulan ketika SBY deklarasi kini ber-KTP Bali, di hari yang sama (2 Februari 2016) berkibar bendera Papua Merdeka di Bali.
SBY Ber-KTP Bali (02 Februari 2016). Sumber : Viva News |
Bendera OPM Berkibar di Bali (02 Februari 2016). Sumber : Rappler |
Mantan Presiden SBY, biar bagaimana pun adalah Gubernur Jenderal Koalisi Atlantik Utara di Indonesia. Mendadak ia pindah KTP ke Bali, kawasan wisata yang ditopang oleh turis Australia.
Australia adalah pihak yang sejak dulu mendukung Papua Merdeka, sebagaimana ia mendukung Timor Leste. Kemudian Organisasi Papua Merdeka (OPM), juga melebarkan sayap ke Bali, kantor cabang Australia di Indonesia.
Deklarasi SBY KTP Bali dan Deklarasi OPM buka kantor cabang di Bali terjadi pada hari yang sama, 2 Februari 2016. Saya kok tidak yakin ini semua hanya kebetulan. Bagaimana jika dua peristiwa ini sebuah sinyal dari Koalisi Atlantik Utara kepada Medan Merdeka yang dikuasai Tiongkok?
Pesan bahwa, “Jika Medan Merdeka tidak memberi ruang bagi Koalisi Atlantik Utara, maka bersiaplah menyambut Kemerdekaan Papua”.
Sentimen anti-Cina dan potensi Separatisme sedang dibangun. Bisa dibayangkan jika Tax Amnesty sukses, maka pengusaha Cina di RI akan semakin kaya. Kesenjangan yang tercipta akibat Tax Amnesty, akan semakin menghidupi sentimen Anti-Cina.
Potensi kerusuhan di depan mata. Dan ini tidak main-main. Sekarang adalah saat yang tepat tentukan sikap.
Soekarno jatuh karena pertahankan Poros Jakarta – Peking. Megawati berupaya bangun kembali bangun Poros Jakarta - Peking dengan berikan Surat Keterangan Lunas BLBI. Tujuannya, agar para pengusaha Cina berutang menghubungkan kembali RI dengan Tiongkok.
Kini, rezim merah kembali memerintah. Para pengusaha Cina itu menunaikan utangnya kepada Megawati, membangun kembali Poros Jakarta - Peking.
Akankah Jokowi bernasib serupa dengan Soekarno? Tulisan ini bukan untuk membela AS maupun Tiongkok. Namun saya percaya, baik Tiongkok maupun AS sangat mampu mengacak-acak Indonesia jika mereka merasa perlu melakukan itu. Mari kita simak kelanjutan kisahnya.
Poros Peking by Ratu Adil