Kapolri Jenderal Tito Karnavian memaparkan alasan kepolisian tak melakukan penahanan terhadap tersangka kasus penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Rapat Kerja bersama Komisi III DPR, Senin (5/11).
“Kita dengar akan ada lagi aksi untuk meminta penahanan. Disampaikan saat itu, kenapa tersangka tidak dilakukan penahanan padahal kasus-kasus yang lain penodaan agama itu ditahan,” ujar Tito dalam rapat di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (5/11).
Kapolri mengaku sudah menjelaskan kepada perwakilan maupun media bahwa dalam kasus Basuki Tjahaja Purnama, yang gelarnya diikuti pihak terlapor dan pelapor itu terjadi keterbelahan antara para saksi ahli tentang apakah kasus tersebut masuk area pidana atau tidak, serta ada unsur sengaja atau tidak.
Di kalangan penyidik dan penyelidik, kata dia, ada keterbelahan yang kemudian diambil keputusan mayoritas secara musyawarah bisa ditingkatkan ke kasus pidana. Maka kemudian, status Ahok dinaikkan menjadi tersangka dan diberkas.
“Resiko kita memang kalau terjadi penahanan. Kami jelaskan ke semua pihak, penahanan dilakukan apabila ada faktor objektif dan subjektif,” ungkap Tito.
Adapun faktor objektif adalah ketika penyidik bulat, mutlak dan telak menyatakan yakin bahwa telah ada bukti kesalahan pada kasus perkara. “Sebaliknya, kalau belum bulat maka kita tidak ingin mengambil resiko untuk melakukan penahanan. Jadi, fakta hukum menjadi masalah bukan tekanan publik,” jelasnya.
Tito mengaku sudah menyampaikan perbedaan kasus Ahok dengan kasus yang cukup menonjol. Misalnya, kasus pembunuhan Munir, Pollycarpus sebagai tersangka tidak ditahan karena alat buktinya tidak telak dan mutlak. Sehingga diserahkan pada pengadilan yang memutuskan meskipun sebagai tersangka.
“Tapi tersangka kasus lain itu tidak ada yang bebas. Sebagaimana juga, kasus Jessica, waktu itu saya sebagai Kapolda, itu terjadi perbedaan pendapat meskipun kita yakini dia sebagai tersangka tapi masih ada beberapa hal yang menurut penyidik perlu diambil langkah-langkah,” urainya.
“Perlu diungkap seperti asal sianida dan lain-lain. Tapi karena ada hal subjektif melarikan diri maka kemudian dilakukan penahanan. Sekarang kasus nya dipengadilan sudah selesai,” lanjut Jenderal bintang empat ini.
Disinggung pula kasus Ahok dengan beberapa kasus serupa lainnya yakni kasus Arswendo dan kasus Lia Eden. Kepolisian menyampaikan dalam kasus tersebut, penyidik melihat bukti secara telak dan mutlak. Karena dalam kasus Arswendo Atmowiloto terjadi polling.
“Pollingnya Nabi Muhammad SAW dimasukkan sebagai tokoh populer diranking no 11. Sementara Arswendo ranking 10. Tentu banyak pihak terlukai dengan itu sehingga bagi penyidik itu mutlak. Kebetulan saya masih letnan satu ikut menangani kasus itu,” terangnya.
Dalam kasus Lia Eden, pembuktiannya juga mudah karena yang bersangkutan menganggap titisan Nabi Muhammad SAW. Itu juga pembuktiannya sangat mudah karena bagi umat Islam Nabi Muhammad adalah satu.
Kemudian, lebih kurang 4 minggu lalu juga terjadi kasus penodaan agama di Jawa Tengah yaitu kasus perobekan kitab suci Al-Quran. Perkara tersebut, langsung polisi lakukan penahanannya.
“Tidak ragu-ragu karena pembuktiannya mudah sekali, merobek kitab suci Al-Quran. Dimana-mana juga merobek kitab suci itu penghinaan agama. Beda dengan kasus ini yang pembicaraannya adalah masalah ungkapan perkataan,” imbuh Tito.
Dalam kasus Ahok, penyidik memerlukan keterangan ahli berbeda. Maka itulah kami sampaikan ke banyak pihak bahwa langkah penahanan tidak dilakukan. Atas dasar itulah Kepolisian segera melakukan percepatan proses kasus Ahok agar bisa cepat diadili diperadilan secara terbuka.
“Untuk itu kita serahkan bersama barang bukti hari Kamis lalu,” pungkasnya. (aktual)
Ketua Setara Institute Hendardi menilai proses hukum atas Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang sangat cepat di Kejaksaan Agung tidak memenuhi unsur keadilan. Kejaksaan dalam hitungan jam langsung melimpahkan ke pengadilan.
Kecepatan dalam memproses kasus hukum yang menjerat Ahok, kata dia, menunjukkan Kejaksaan Agung tidak mengkaji konstruksi peristiwa secara cermat dan cenderung melempar bola panas ke pengadilan.
“Dari beberapa kasus yang berdimensi politis, Kejaksaan Agung tidak memiliki posisi yang tegas dan terukur sehingga menimbulkan pelanggaran hak atas peradilan yang adil dan tidak memihak,” katanya. (Ant)