Setelah menerima hasil real count KPU DKI 100 persen soal pilkada DKI 2017, terlihat jelas mana lembaga survei yang memberikan hasil sesuai metodologi dan mana lembaga survei 'titipan'. Peneliti alumnus FISIP Universitas Indonesia (UI), Fitri Hari, menjelaskan, perlu dilakukan audit publik kepada lembaga survei yang hasil surveinya berbeda jauh dengan penghitungan KPU DKI.
Dia menyarankan agar lembaga survei itu perlu diberikan peringatan atau 'kartu merah' oleh publik karena hasil buruk surveinya di putaran kedua Pilkada DKI. "Publik harus aktif menilai kinerja lembaga survei. Sehingga, ke depannya lembaga survei lebih berhati-hati memublikasi risetnya dan lebih memperhatikan metodologi," kata Fitri menyatakan temuannya, Jumat (21/4).
Menurut Fitri, evaluasi itu penting agar publik tidak hanya dijadikan objek oleh lembaga survei. Publik juga harus menjadi subjek, membangun tradisi mengkritik lembaga survei agar berhati-hati dengan publikasinya.
Fitri menggunakan, kategori kartu merah untuk lembaga survei yang salah fatal. Kartu kuning untuk lembaga survei yang tak mempublikasi hasil surveinya, padahal di putaran pertama mereka aktif. Kartu biru untuk lembaga survei yang berhasil menggambarkan realitas di hari Pilkada.
"Kartu merah diberikan kepada SMRC (Saiful Mujani Research Center), Indikator, dan juaranya Charta Politika," ujarnya.
Dia menambahkan, mengapa Charta Politika dianggap juara kartu merah? Pasalnya, Charta Politika menjadi satu satunya lembaga yang menggambarkan Ahok sudah menyalip Anies. Kenyataannya 180 derajat, dukungan Anies justru semakin meninggalkan Ahok.
Mengapa Charta Politica dianggap juara kartu merah. Pasalnya, Charta Politika menjadi satu satunya lembaga yang menggambarkan Ahok sudah menyalip Anies. Kenyataannya 180 derajat, dukungan Anies justru semakin meninggalkan Ahok.
Sementara itu, Kartu kuning diberikan kepada lembaga survei yang absen di putaran kedua. Padahal di putaran pertama mereka sangat aktif. Fitri mencatat, absen di babak final atau putaran kedua, padahal aktif di babak putaran pertama, itu mengundang kecurigaan.
Lembaga tersebut sangat mungkin memilih tidak mempublikasikan hasilnya karena hasilnya bertentangan dengan kepentingan lembaga itu. Jelas itu absen karena pemihakan.
"Atau bahkan tak mendapatkan order melakukan survei padahal di putaran pertama aktif konferensi pers soal surveinya. Inipun sebuah point negatif kok gagal mendapat order di babak final padahal mendapatkan order di putaran pertama," katanya.
Kartu kuning layak diberikan kepada lembaga itu. Yaitu CSIS, Litbang Kompas, Polltracking, dan juaranya Populi Center. Mengapa Populi Center menjadi juara kartu kuning. Lembaga ini sangat aktif soal pilkada DKI bahkan sebelum para calon gubernur diumumkan. Di putaran kedua, Populi Center sama sekali tak ada konferensi persnya.
Dan yang terakhir, lanjut Fitri, adalah kartu biru diberikan kepada lembaga survei yang berani melakukan konferensi pers dan jelas jejaknya, dan hasilnya bisa menggambarkan hasil resmi pilkada DKI. Lembaga yang tidak melakukan konferensi pers resmi tidak dihitung untuk kategori ini. "Yang mendapatkan kartu biru lembaga survei Median, SDI, dan juaranya LSI Denny JA, " papar Fitri.
Mengapa LSI Denny JA menjadi juara kartu biru? Dibandingkan dengan dua lembaga survei lain, LSI Denny JA satu satunya yang berani mengklaim kemenangan Anies-Sandi dengan dua hal.
Pertama, hanya LSI Denny JA yang konferensi pers dan memublikasikan Anies-Sandi di atas 50 persen. Kedua, LSI Denny JA menggambarkan selisih Anies vs Ahok di atas margin of error, yang bahkan tak bisa disusul walaupun suara swing voters yang tersisa semuanya ke Ahok. (jawapos-republika)