Awal bulan Januari 2017 lalu, Pertamina menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi yaitu Pertalite, Pertamax, Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamax DEX.
Adapun untuk jenis BBM Premium dan Bio Solar tetap dengan harga yang sama.
Sekjen Pro Demokrasi, Satyo Purwanto menyayangkan kenaikkan harga BBM tersebut tidak diimbangi dengan kualitasnya. Terlebih sejak 2005, kandungan timbal BBM di Indonesia masuk kategori sangat tinggi, di atas negara Asia Pasifik lain.
"Dengan kualitas BBM kita sangat buruk, kadar belerang tinggi, hal ini bisa merusak mesin dengan kata lain kalau kita gunakan BBM jelek, imbas lainnya kualitas udara buruk. Kondisi ini tidak berubah sampai sekarang,'' terang Satyo melalui pesan whatsappnya kepada redaksi, Jumat (5/5).
Bukan hanya itu seperti diketahui premium di Indonesia adalah RON 88 dan solar kualitas 48. Bandingkan dengan mayoritas negara di luar negeri kini menggunakan premium RON 92. Bahkan sejak 2007, pemerintah meratifikasi aturan yang memaksa industri otomotif menggunakan mesin euro 2 dan tidak boleh bahan bakar bertimbal.
"Yang sangat mengherankan mengapa pejabat Kementerian Keuangan dan Pertamina berkali-kali membandingkan harga BBM dan menyebutnya lebih murah dari negara lain, padahal kualitas oktannya lebih tinggi," jelasnya.
Satyo pun mencontohkan, seperti di Singapura, Amerika, atau Malaysia, memang harganya lebih mahal, tapi jangan dilupakan punya kualitas lebih tinggi. Sebaliknya, premium dan solar di Indonesia dalam piagam kualitas bahan bakar dunia tidak lulus kategori 1.
"Dengan kata lain, BBM kita tidak bisa dibandingkan," ujarnya.
Dengan kualitas BBM buruk, menurut dia, patut dicurigai jika harga jualnya disamakan dengan standar harga dunia, seperti indeks harga minyak Singapura (MOPS). Pemerintah harus membeberkan dulu biaya produksi premium. Pasalnya, ada indikasi pemberian subsidi pemerintah selama ini tidak murni untuk kepentingan rakyat, melainkan semata mendongkrak profit margin Pertamina.
"Buktinya, pemerintah membiarkan konsumen menggunakan BBM berkualitas buruk," tegasnya.
Kalau pemerintah ingin menetapkan BBM subsidi, kata Satyo, lebih baik berdasarkan harga pokok produksinya, bukan berdasarkan harga internasional. Jika itu dilakukan maka akan ditemukan biaya riil BBM yang pantas dibayar masyarakat.
"Jangan Pertamina mengeruk untung saja dari keringat rakyat, tapi tidak memperhatikan aspek kesehatan dan keberpihakan kepada masyarakat," kritik Satyo. (rmol)