Saya belum rampung membaca buku “Karya Lengkap Bung Hatta: Kemerdekaan dan Demokrasi”, terbitan LP3ES, tahun 2000. Tapi sudah saya temukan kesalahan fatal Amandemen UUD 45.
Buku itu ada tiga seri, dan saya menelusuri proses sejarah dan kejiwaannya pasal by pasal dalam pikiran Bung Hatta. Penerjemahan “equality before the law, in burden, and responsibility” (kesamaan di depan hukum, pada bebannya, dan tanggung jawabnya) yang dianut Negara Hukum Pancasila pada Ayat 1 Pasal 3 UUD 45, amandemennya salah berat.
Ternyata dalam prosesinya menurut tuturan Bung Hatta, dalam penafsiran saya, ialah menitikberatkan kepada “in burden and responsibility”, bukan “equality before the law” an sich. Itu, yang melandasi kata “asli” pada UUD 45 asli yang, kemudian dibuang oleh Amandemen.
Reasonnya, warga negara Timur Asing, telah dinyatakan sebagai “tidak ikut dalam perang kemerdekaan”. Karenanya, mereka memiliki hak terbatas yang tidak dapat disamakan dengan “warga negara pribumi asli” yang memiliki hak penuh.
Amandemen telah mengeneralisasi perbedaan tiga golongan kewarganegaraan itu. Yakni: 1. Warga Negara Eropa, 2. Warga Negara Timur Asing, 3. Warga Negara Pribumi Asli. Yang berbeda dalam “kue” kemerdekaan itu, adalah frasa “in burden and responsibility”. Pada WN 1 dan 2, tidak ikut memikul beban kemerdekaan, dan tidak memiliki tanggung jawab hukumnya.
Jadi, penghilangan kata “asli” adalah sangat fatal. Kata “asli” itu dihilangkan karena Ketua MPR Amien Rais pada waktu itu akan ikut dalam Pilpres 2004, dan karena Amien Rais masuk dalam Golongan WN Timur Asing, maka frasa “asli” dibuang ketika amandemen UUD 45. Jika tidak, Amien Rais tak bisa mencalonkan diri menjadi Capres tahun 2014.
Isi konstitusi yang dibuang itu antara lain, “Presiden adalah warga negara Indonesia asli”. Dalam kalimat hukum ini, “Indonesia asli” adalah WN Golongan 3, yaitu “Pribumi”, bukan WN Eropa dan bukan WN Timur Asing. Yang dimaksud WN Timur Asing adalah diaspora China, Arab, dan seterusnya.
Implikasi pembuangan kata “asli” langsung paradoksal dengan UU No 60 tahun 1964 tentang pemilikan tanah. Bung Hatta juga menyatakan bahwa WNI golongan dua, tidak boleh memiliki hak milik atas tanah, melainkan hak guna usaha.
Tolong ini diteliti kembali. Jika tidak, serbuan investasi China akan melalap tanah-tanah Pribumi dalam pengertian konstitusi. Pernyataan Bung Hatta tentang itu, dia jelaskan dengan jernih, bukan rasial.
Dalam pemaparan Bung Hatta, WN Timur Asing, antara lain Hoaqiau (diaspora China/ perantauan) dan Arab, tidak boleh memiliki hak milik atas tanah, karena sepanjang proses kemerdekaan tidak ikut dalam perjuangan kemerdekaan, melainkan baik pada penjajahan Belanda maupun penjajahan Jepang, mereka senantiasa digunakan oleh penjajah berhadapan diametral dengan Pribumi, dan belum pernah ikut dalam perjuangan kemerdekaan.
Hilangnya frasa “asli” dari UUD 45 amandemen, berimplikasi efek domino di wilayah hukum tata negara (HTN), antara lain, dalam UU Kewarganegaraan tidak lagi membedakan golongan warga negara Konstruksi Kategori Nederland Indie, dan menganut sepenuhnya HAM (Hak Azasi Manusia) versi negara hukum The Rule of Law (Amerika dan Inggris).
Ini telah menyimpang dari historis dan psikologi historis proses hukum Negara Pancasila seperti dipapar oleh Bung Hatta. Kita jelas memiliki kewajiban, hak, dan tanggung jawab untuk melindungi tanah air dengan frasa “asli” tadi.
Dewasa ini, para ideolog, aktivis, politisi, ilmuwan dan militer gelisah memandang pengusaan tanah, antara lain, oleh para Taipan Hoaqiau dan Hoasan di satu sisi, dan investasi asing Barat di satu sisi. Hemat saya, raibnya kata “asli” telah membuat negara tak mampu melindungi rakyat dan tanah air.
Penghilangan kata “asli” itu, telah memberikan ruang yang sangat besar bagi diaspora, asing- aseng-asong, untuk mencaplok hak-hak pribumi, dan mengancam ekonomi Indonesia. Ini berbahaya, baik secara jasmaniah, maupun resiko juridis dalam menghadapi globalisasi.
Artikel diatas ditulis oleh Djoko Edhi S. Abdurrahman, mantan anggota DPR-RI Komisi III
Pasal 6 UUD 1945 Harus Diamandemen; Presiden RI Harus Orang Indonesia Asli
Pasal 6 UUD 1945 harus diamandemen, sehingga kalimat `Presiden ialah orang Indonesia asli`, kembali masuk ke dalam Pasal 6 UUD 1945 tersebut seperti sebelumnya. Pasca reformasi, kalimat itu diganti menjadi `Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya…`
"Cara terbaik adalah kembali ke Pasal 6 UUD 1945 yang dulu, Pasal itu bicara mengenai orang Indonesia asli. Itu satu-satunya cara agar orang Indonesia asli yang hanya bisa menjadi presiden dan wakil presiden di negeri ini,” kata pakar hukum tata negara, Margarito Kamis kepada Harian Terbit, Minggu (28/8/2016).
Menurut Margarito, untuk bisa mengamandemen Pasal 6 UUD 1945 kembali tergantung dari kemauan politik para pimpinan partai. Jika pimpinan partai menempatkan kepentingan bangsa, bukan kepentingan mendapatkan keuntungan ekonomi, tentu akan lebih mudah mengamandemen pasal itu.
Tapi sebaliknya akan mustahil amandemen dilakukan jika kepentingan untung rugi masuk di kepala mereka. "Jadi pimpinan partai itu mau bekerja untuk kepentingan bangsa atau untuk pemilik modal," ujar Margarito. (ht)