Kegelisahan rakyat Indonesia terhadap kondisi bangsa sejak Jokowi berkuasa 20 Oktober 2014 lalu semakin membesar dari hari ke hari. Berbagai tudingan terhadap pemerintahan Jokowi yang setahun dua tahun lalu mengemuka sekarang kian menunjukan kebenarannya.
Tudingan rakyat bahwa Presiden Jokowi lebih merupakan proxy atau respresentasi kepentingan RRC dan masyarakat Tionghoa Indonenesia yang gencar dilontarkan sebelum pilpres 2014 mulai terbukti satu per satu. Kurang dari enam bulan menjabat presiden, Jokowi langsung mengunjungi China dan Jepang. Kunjungan ke Jepang diduga hanya merupakan kedok dari tujuan utama Jokowi yaitu muhibah ke Beijing, RRC.
Utang USD 50 Miliar Dari RRC
Hasil kunjungan Jokowi ke RRC pada Maret 2015 menghasilkan kesepakatan utang dari RRC untuk Indonesia sebesar USD 50 miliar atau Rp 700 triliun. Tidak tanggung-tanggung, utang sebesar Rp 700 triliun dari negara tirai bambu itu langsung dicairkan pada tahun 2015. Inilah utang luar negeri terbesar dalam sejarah Indonesia.
Utang luar biasa besar itu menurut pemerintah akan dialokasikan untuk pembiayaam pembangunan infrastruktur, menambah cadangan devisa, penguatan nilai rupiah, pengadaan barang dan jasa BUMN, penambahan modal kerja BUMN perbankan dan lain-lain.
Permasalahan utang luar negeri dari RRC yang sangat besar dan dalam tempo sangat singkat ini adalah ketidakjelasan atau tidak transparan mengenai terms and conditions seputar kesepakatan utang itu. Utang RRC sekitar Rp700 triliun itu sebagian digunakan untuk pembiayaan proyek dan pembelian barang yang tidak layak/tepat secara ekonomi.
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung misalnya, menelan biaya sekitar Rp 70 triliun di mana Rp40-50 triliun adalah pembiayaan utang RRC. Proyek ini banyak ditentang masyarakat karena dinilai terlalu mahal, tidak prioritas, membebani dan berisiko tinggi bagi konsorsium BUMN yang menjadi mitra pembiayaan proyek tersebut.
Kabar mengenai tingkat bunga utang sebesar 2% per tahun, semakin menguatkan penolakan rakyat terhadap proyek ini. Proyek KA Cepat Jakarta-Bandung yang dimenangkan RRC ini dinilai berkualitas rendah, tidak aman, dan lebih mahal daripada penawaran Pemerintah Jepang.
Penunjukan RRC sebagai pemenang pengerjaan dan pembiayaan proyek KA Cepat Bandung-Jakarta menimbulkan protes keras dari Pemerintah Jepang sebagai inisiator dan telah melakukan studi kelayakan proyek sejak lima tahun lalu.
Keberpihakan Pemerintah Indonesia kepada RRC dan pengabaian terhadap Pemerintah Jepang melahirkan konsekwensi serius dalam hubungan Indonesia-Jepang sekarang dan di masa mendatang.
Jepang selaku investor terbesar di Indonesia selama lebih 40 tahun terakhir merasa dikhianati oleh Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Jokowi. Ancaman mengurangi investasi dan merelokasi sejumlah industri asal Jepang di Indonesia mulai dirasakan dampaknya pada ekonomi Indonesia.
Pada tahun 2015 tingkat pemutusan kerja (PHK) melonjak mencapai rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia yaitu sekitar 700 ribu pekerja.
Penggunaan sebagian utang dari RRC untuk pembiayaan pembelian armada pesawat baru Garuda Indonesia juga mendapat kecaman dan kritik keras dari banyak kalangan termasuk dari Menko SDA dan Maritim Rizal Ramli.
Pembelian armada pesawat Garuda untuk melayani rute Jakarta – Eropa dan Jakarta - Amerika Serikat itu dipastikan akan membebani keuangan GIA dan berpotensi besar menjadi kredit macet. Argumentasi penolakan terhadap pembelian armada pesawat Garuda itu sangat kuat dan logis.
Garuda tidak mungkin mampu bersaing melawan maskapai penerbangan asing yang telah lebih dulu mapan dan merajai rute Jakarta-Eropa dan Jakarta-Amerika. Garuda mustahil mampu bersaing dalam hal harga tiket dan pelayanan dengan maskapai asing. Kondisi faktual seperti itu menyulitkan Garuda memenuhi target load factor di atas 70%.
Dapat dipastikan, dalam 5-10 tahun mendatang, Garuda Indonesia terjerembab dalam kondisi finansial distress akut dan pasti mengalami kebangkrutan jika tidak disuntik penambahan modal dari APBN.
Kabar mengejutkan muncul dari Senayan. Rapat kerja Pemerintah cq Kementerian BUMN dengan Komisi VI DPR mengungkap fakta bahwa pencairam utang dari RRC sebesar USD 3 miliar atau Rp40 triliun kepada tiga bank BUMN (Mandiri, BRI dan BNI) ternyata telah dilakukan pada tanggal 29 Desember 2015.
Padahal dalam Raker sebelumnya, DPR sudah meminta pemerintah untuk menyerahkan salinan kesepakatan utang USD 3 miliar itu sebelum pencairam utang dilakukan.
Kekhawatiran atas penggunaan utang RRC semakin membesar saat diketahui utang itu disalurkan ketiga Bank BUMN kepada tiga debitur yang ketiganya merupakan perusahaan berentitas hukum RRC. Fakta ini menjelaskan bahwa utang sebesar Rp40 triliun itu yang awalnya disebutkan untuk penambahan modal perbankan BUMN ternyata dusta belaka.
Bank Mandiri, BNI dan Bri tidak lebih bertindak hanya sebagai calo kredit atau channelling penyaluran kredit. Bagaimana syarat dan ketentuan perjanjian utang dan penyalurannya kepada debitur berentitas hukum RRC itu sampai hari ini belum terungkap.
Potensi Macet Utang RRC
Pengelolaan utang luar negeri secara prudent harus diterapkan pemerintah agar tidak menimbulkan bencana ekonomi di kemudian hari. Pencairan utang dari RRC sebesar Rp700 triliun pada 2015 yang alokasi peruntukannya kurang tepat pasti menjadi masalah besar di masa mendatang.
Utang harus dibayar dan membutuhkan cadangan devisa untuk pembayaran utang pokok dan bunga. Rakyat tidak tahu persis tenor (jangka waktu) dan tingkat bunga utang yang disepakati pemerintah dengan RRC.
Namun, jika informasi yang menyebutkan tingkat bunga utang sebesar USD 50 milaar dari RRC adalah benar 2% per tahun selama jangka waktu 30 tahun, maka beban utang pokok dan bunga yang harus dibayar pemerintah Indonesia adalah sebesar USD 80 miliar, di mana USD 30 miliar adalan beban bunga utang.
Bandingkan jika pemerimtah Indonesia meminjam dari Jepang yang menawarkan tingkat bunga 0.1% per tahun, total beban bunga utang selama 30 tahun hanya sebsar USD 1.5 miliar saja. Dari aspek beban bunga utang, kesepakatan utang RI-RRC tahun 2015 ini telah merugikan Indonesia sebesar USD 28.5 miliar.
Persoalam kedua adalah sumber pendanaan devisa untuk pembayaran utang kepada RRC di masa mendatang. Dari mana pemerintah memastikan mendapat devisa yang cukup untuk membayar utang dan bunga utang kepada RRC.
Selama ini utang luar negeri yang dilakukan pemerintah diutamakan untuk pembiayaam sektor usaha yang mendorong pertumbuhan dan peningkatan ekspor guna menjamin perolehan devisa.
Pembiayaan infrastruktur strategis dari utang luar negeri dapat dibenarkan karena ketersediaam infrastruktur akan menjamin peningkatan produksi dan ekspor.
Pemerintah biasanya selalu melakukan kalkulasi cermat terhadap proyeksi pertumbuhan ekonomi, peningkatan ekspor, perolehan devisa dan kebutuhan devisa untuk pembayaran utang luar negeri. Perhitungan dan analisa sektor ekonomi makro dan moneter ini dilakukan secara cermat dan prudent.
Keputusan Presiden Jokowi menyepakati perjanjian utang USD 50 miliar dari RRC dapat dipastikan tidak masuk dalam perencanaan pemerintah sebelumnya dan belum dilakukan kajian mendalam terhadap semua risiko yang mungkin timbul.
Mungkin Presiden Jokowi berprinsip, “Yang penting utang dicairkan dulu. Soal alokasi, peruntukan, kajian dan risikomya dapat menyusul belakangan”.
Tanpa perencanaan dan kajian yang matang, penarikan utang besar-besaran dari RRC pasti mengakibatkan timbulnya persoalan serius pada sektor moneter dan keuangan RI di masa datang.
Dari tiga contoh alokasi utang: pembiayaan proyek KA cepat Jakarta-Bandung, pembelian armada pesawat Garuda dan penyaluran kredit mega dari tiga bank BUMN untuk tiga perusahaan RRC yang beroperasi di Indoensia, hampir dapat dipastikan penarikan utang dari RRC akan menjadi masalah besar bagi pemerimtah dan negara Indonesia.
Dampak Ekonomi dan Politik
Dalam jangka pendek pencairan utang dari RRC sebsar USD 50 miliar pada tahun 2015 membawa pengaruh positip terhadap penguatan nilai rupiah. Aliran dana asing (RRC) masuk ke Indonesia menambah cadangan devisa secara signifikan dan mengurangi tekanan terhadap nilai rupiah.
Pada awal Maret 2016, nilai rupiah telah menguat menjadi di bawah Rp13.000/ dollar AS. Namun, penguatan rupiah yang disebabkan oleh penambahan utang tidak mencerminkan kondisi objektif perekonomian nasional. Nilai tukar mata uang idealnya ditentukan oleh neraca perdagangan/pembayaran ekspor dan impor.
Penguatan nilai rupiah dikarenakan penambahan utang dan bukan karena peningkatan surplus neraca perdagangan dan neraca pembayaran hanyalah merupakan penguatan semua karena tidak berdasarkan atas kondisi objektif ekonomi suatu negara.
Cadangan devisa berasal dari utang itu akan cepat tergerus defisit neraca pembayaran yang pada akhirnya akan membutuhkan penambahan utang baru untuk menutupi defisit tersebut. Dalam situasi seperti ini, nilai tukar rupiah akan kembali merosot dan untuk memulihkannya dibutuhkan utang yang jauh lebih besar. Indonesia akan terjerumus dalam praktek gali lubang tutup lubang.
Permasalahan ekonomi nasional akan semakin berat bilamana pihak kreditur (RRC) tidak lagi bermurah hati jor-joran memberi utang kepada Indonesia saat dibutuhkan.
Sangat mungkin RRC menerapkan persyaratan jauh lebih berat yang sangat merugikan atau Indonesia terpaksa mencari kreditur baru untuk memperoleh tambahan utang, yang mana kreditur baru itu belum tentu bersedia memberikan utang kepada Indonesia.
Dalam situasi seperti ini, Indonesia akan terjerembab dalam krisis ekonomi yang lebih berat dibanding krisis ekonomi tahun 1998.
Konsekwensi dari krisis ekomoni Indoneia adalah penderitaan seluruh rakyat Indonesia yang belum tentu dapat dipulihkan dalam 10-20 tahun ke depan.
Pola rencana atau skema penyelamatan ekonomi Indonesia dari krisis yang mungkin akan terjadi nanti, pasti sangat merugikan kedaulatan politik dan ekonomi RI seperti terjadi pada 1998 melalui penandatangan Letter of Intern IMF-RI.
(Dari berbagai sumber di Internet)