Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Soebroto Terawan Agus Putranto mendapatkan standing applause setelah memaparkan desertasinya tentang metode cuci otak (brain flushing) berbasis radiologi intervensi untuk mengatasi stroke.
Sidang promosi doktor Terawan yang dihadiri sekitar 200 orang ini berlangsung pada Kamis, 4 Agustus lalu di Gedung Auditorium Profesor Dr Achmad Amiruddin di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan.
Pemimpin sidang, As’adul Islam yang juga Dekan Fakultas Kedokteran Unhas, memutuskan Terawan lulus dengan predikat sangat memuaskan.
Metode cuci otak untuk mengatasi stroke temuan Terawan memang menjadi perdebatan. Kalangan praktisi dan akademikus kedokteran kerap silang argumentasi. Tak sedikit yang berujung pada debat kusir yang membuat metode ini semakin kontroversial.
Tindakan medis ini menggunakan teknik sederhana, mirip membersihkan saluran gorong-gorong yang menyumbat. Ibarat pipa air, stroke salah satunya terjadi karena sumbatan darah di otak (stroke iskemik), sehingga darah tak mengalir dengan lancar.
Nah, sumbatan inilah yang dibersihkan, sehingga pembuluh darah kembali bersih dan bekerja dengan normal.
Sampai 2012, tak kurang dari 4.142 pasien stroke sukses menjalani terapi. Jumlah ini, kata dia, terus bertambah dengan banyaknya penderita stroke yang tertarik menempuh pengobatan itu.
Problemnya, Terawan tak bisa menjelaskan secara ilmiah karena belum melalui proses metodologi penelitian. “Tapi sekarang tindakan ini sudah terbukti berhasil,” ujar Terawan.
Terawan mengatakan kontroversi ini terletak pada cepatnya penderita stroke mendapat hasil pengobatan. Penderita yang sebelumnya tidak dapat beraktivitas sama sekali selama bertahun-tahun dalam tempo singkat sudah bisa berjalan, hanya butuh 4-5 jam setelah proses tindakan.
Untuk mengakhiri kontroversi seputar terapi cuci otak itu, dia melakukan penelitian di Unhas dengan membawa seluruh hasil tindakan untuk didiskusikan dengan sejumlah guru besar di Unhas.
Sebelum menemukan metode ini, sejak 2003, Terawan telah melakukan berbagai tindakan medis untuk pengobatan penderita stroke akut. Targetnya adalah peningkatan aliran darah di dalam otak. Beberapa cara di antaranya adalah transcranial LED atau pemasangan balon di jaringan otak.
Hasilnya, pemasangan balon ini meningkatkan aliran darah sebesar 20 persen dalam jangka waktu 73 hari. Terawan mengatakan metode ini ditunjang oleh pemberian terapi sebanyak 146 seri untuk mendapatkan hasil yang diinginkan.
Sebagai alternatif, dia juga menggunakan metode pemberian statin. Tapi statin tidak mempengaruhi aliran darah seketika pasca-iskemia. Respons metode ini baru terlihat setelah lima hari.
Untuk menguji metode cuci otaknya, dia meneliti 75 pasien stroke iskemik yang berobat di RSPAD Gatot Soebroto, Jakarta. Pasien didominasi oleh pria dengan rentang usia 41-60 tahun. “Berdasarkan penelitian, diasumsikan bahwa 73,3 persen pasien berada pada usia produktif. Stroke mengganggu kegiatan sosial maupun ekonomi mereka,” kata Terawan.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa tindakan cuci otak memberikan peningkatan aliran darah yang signifikan, sekitar 41,20 persen. Jumlah ini lebih besar dibanding peningkatan pada terapi lain. “Tindakan ini memberikan alternatif peningkatan aliran darah dalam waktu yang singkat dibanding terapi lain."
Cairan untuk membersihkan sumbatan di otak
Untuk membersihkan sumbatan di otak, Terawan menggunakan cairan heparin yang memberi pengaruh terhadap pembuluh darah. Heparin dikenal sebagai antikoagulan (anti-pembekuan darah), agen anti-inflamasi, dan anti-oksidan.
Ihwal heparin ini, salah seorang anggota promotor Terawan, Gatot S. Lawrence, mempertanyakan penggunaannya. Menurut dia, sudah lama heparin diminta untuk tidak digunakan karena akan memberi efek secara klinis.
Menurut Terawan, heparin sebetulnya masih terus dipakai untuk bidang intervensi dengan dosis yang bervariasi. Banyak literatur yang menjelaskan bahwa heparin sangat aman bila diberikan dalam dosis yang tepat. “Dalam penelitian ini tidak ada pasien yang mengeluhkan adanya efek samping,” ujar dia.
Penguji Terawan lainnya, Teguh Ranakusuma, juga mempertanyakan kemungkinan adanya efek samping, seperti gangguan penglihatan, setelah tindakan ini.
Terawan menjawab, sebelum dan sesudah melakukan tindakan cuci otak, dia melakukan pemeriksaan ketat. “Dan tidak ada efek yang dikeluhkan oleh pasien,” dia menambahkan.
Teguh juga menyoal tentang banyaknya biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang pasien, baik yang produktif maupun non-produktif. Menurut dia, banyak pasien yang mau berobat tapi terhambat masalah biaya. Terawan menyebutkan bisa di bawah Rp 10 juta, tergantung perhitungan rumah sakit dan wilayah. “Bisa dengan biaya murah, bisa juga mahal. Tergantung perhitungan unit cost-nya,” kata dia.
Pasien dengan usia non-produktif, biaya pengobatannya bisa ditanggung melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Adapun untuk usia produktif, soal biaya mungkin tidak menjadi masalah.
Terawan berharap penelitian metode pengobatan ini mampu memberi sumbangsih bagi kemajuan dunia kedokteran di Indonesia. Dia mengklaim pengobatan ini merupakan yang pertama kalinya digunakan di dunia. “Baru negara Jerman yang mengadopsi tindakan ini,” ujar dia.
Agar ilmunya dapat ditularkan, dia mempersiapkan RSPAD Gatot Soebroto sebagai pusat pengembangan tindakan cuci otak. Selama ini sudah ada 60 dokter yang tersebar di seluruh Indonesia yang telah dilatih untuk melakukan tindakan tersebut.
“Harapan kami, seluruh rumah sakit juga memiliki peralatan medis untuk melayani pasien stroke di daerah masing-masing,” ujar Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Radiologi Indonesia itu.
NUR ALFIYAH | ABDUL RAHMAN (MAKASSAR)