Dua puluh tahun sejak belajar dari Pertamina, kini Petronas lebih unggul dari gurunya

Dua puluh tahun sejak belajar dari Pertamina, kini Petronas lebih unggul dari gurunya

Semakin ke sini, posisi Indonesia juga semakin melemah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut cadangan minyak dalam negeri hanya tersisa hingga 2030


Tentunya kita semua pernah dengar bahwa sekitar dua dekade lalu, Malaysia bertandang dan belajar dari Indonesia soal pengelolaan minyak dan gas di negara ini.

Mereka ingin mencontoh kesuksesan Indonesia yang pada tahun 1980-1990an bisa mencapai 1,5 juta barel lebih per hari. Prestasi Indonesia di sektor migas saat itu memang patut dibanggakan, belum genap dua puluh tahun sejak kemerdekaan diproklamasikan saja Indonesia sudah bisa masuk Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia (OPEC), berdiri sejajar dengan negara seperti Arab Saudi, Qatar, Venezuela, dan lainnya.

Tak sekedar anggota, Indonesia bahkan punya peran sangat penting untuk menentukan kebijakan pasar minyak dunia. Tak heran begitu Malaysia mendirikan Petronas pada Agustus 1974, mereka menyasar Indonesia untuk tempat berguru. Indonesia saat itu guru, Malaysia adalah muridnya.

Situasi Mulai Berbalik

Dua puluh tahun sejak studi banding, sang murid malah mengungguli gurunya. Di 2005 angka konsumsi minyak lebih tinggi ketimbang produksi, alhasil Indonesia resmi menjadi net importir dan hengkang dari OPEC.

Bagaimana dengan Malaysia? Di 2007 posisi Petronas, sebagai perwakilan Malaysia, meroket ke nomor 17 dunia sementara Indonesia dengan Pertamina merosot ke nomor 30 berdasar Petroleum Intelligent Weekly.

Semakin ke sini, posisi Indonesia juga semakin melemah. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut cadangan minyak dalam negeri hanya tersisa hingga 2030 dengan asumsi produksi di 800.000 barel per hari tanpa adanya temuan cadangan baru. Berdasarkan data dari BP, cadangan minyak terbukti Indonesia ini jauh kalah dibanding negara tetangga Malaysia dan Vietnam.

Pada tahun 2000, cadangan minyak Indonesia padahal terbukti masih berada di kisaran 5,12 miliar barel, jauh mengungguli Malaysia (4,53 miliar barel). Namun, 17 tahun kemudian keadaannya berbalik 180 derajat, dimana cadangan Malaysia mampu mengungguli Indonesia.

Di tahun 2017, cadangan minyak terbukti Malaysia tercatat sebesar 3,60 miliar barel. Sementara itu, menurut Handbook of Energy and Economics Statistics of Indonesia 2017, cadangan minyak terbukti Indonesia hanya tersisa 3,17 miliar barel pada periode yang sama.

Meskipun sama-sama mengalami tren penurunan, laju penurunan cadangan minyak Malaysia masih lebih lambat dibandingkan Indonesia. Bahkan, cadangan minyak mentah Malaysia cenderung stabil dalam 8 tahun terakhir. Pertanyaan yang muncul, apa alasan Malaysia mampu mengungguli Indonesia dalam menjaga cadangan minyaknya ?

Posisi Finansial

Pertama, dari sisi investasi yang dilakukan untuk pengembangan sumber daya minyak. Apabila membandingkan belanja barang modal (capital expenditure/CAPEX) dari perusahaan minyak negara di Indonesia dan Malaysia, yakni Pertamina dan Petronas, ternyata posisi Pertamina amatlah inferior setidaknya dalam satu dekade terakhir.

Pada tahun 2017, realisasi CAPEX Pertamina hanya di kisaran US$ 3,60 miliar, kira-kira hanya sepertiganya dari realisasi CAPEX Petronas sebesar MYR 44,5 miliar (atau sekitar US$ 10,75 miliar) di periode yang sama.


Untuk tahun ini, Petronas mengalokasikan CAPEX sebesar MYR 55 miliar (sekitar US$ 13,29 miliar), dimana alokasi untuk kegiatan eksplorasi sekitar 50%.

Wakil Presiden Petronas Datuk Mohd Anuar Taib menyatakan bahwa CAPEX masih difokuskan untuk kegiatan pengeboran sumur eksplorasi dan akuisisi data seismik.

Senada dengan Petronas, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko Pertamina Gigih Prakoso juga menyatakan bahwa dari anggaran CAPEX 2018 sebesar US$ 5,59 miliar, 59% nya dialokasikan untuk investasi di sektor hulu.

Meskipun porsi CAPEX Pertamina untuk pengembangan hulu memang lebih besar (59% vs Petronas 50%), namun secara nominal jelas jumlahya kalah jauh dari alokasi Petronas (US$ 3,30 miliar vs Petronas US$ 6,64).

Memang dari segi net profit, Petronas secara konsisten mampu mengalahkan Pertamina, bahkan saat net profit Petronas anjlok habis-habisan pada tahun 2015-2016. Seiring harga komoditas minyak yang jatuh, net profit Petronas terjun bebas dari US$ 11,32 pada 2014 ke US$ 3,39 miliar pada 2015. Namun, jumlah tersebut pun masih mengungguli net profit Pertamina pada periode 2015 sebesar US$ 1,45 miliar.


Teknologi dan Inovasi

Kedua, tidak hanya dari segi finansial, Petronas juga mengungguli Indonesia dalam pengembangan teknologi pengelolaan sumber daya minyak. Pada semester II 2014, Petronas bekerja sama dengan ExxonMobil untuk menerapkan proyek Enhanced Oil Recovery (EOR) Tapis, yang berlokasi sekitar 190 km dari Terengganu di semenanjung Malaysia.

ExxonMobil dan Petronas menggunakan skema Production Sharing Contract (PSC), dan mengaplikasikan teknologi Water Alternating Gas (WAG) untuk memperpanjang usia dari 7 (tujuh) lapangan, yakni Seligi, Guntong, Tapis, Semangkok, Irong Barat, Tebu, dan Palas.

Proyek tersebut diklaim Petronas sebagai proyek EOR berskala besar pertama di Asia Tenggara, dan diekspektasikan meningkatkan usia lapangan hingga 25 tahun, serta menambah produksi hingga 35.000 barel/hari.

Lantas, bagaimana dengan Pertamina? Sebenarnya Pertamina mulai mengembangkan EOR sejak 2006 hingga saat ini, namun belum menunjukkan kemajuan signifikan.

Berdasarkan laporan tahunan 2016 Pertamina, terdapat 4 proyek EOR prioritas yang saat ini sedang dalam proses pembangunan/pengembangan, yakni EOR Talang Jimar, Rantau, Tempina, dan Jirak, yang seluruhnya dikelola anak perusahaan PT Pertamina EP. Namun, keseluruhan proyek tersebut masih dikembangkan dalam skala kecil.

Laporan terakhir per Maret 2017 diketahui Pertamina EP sukses mendapatkan tambahan produksi minyak dari teknologi EOR sebanyak 3.372 barel per hari. Angka ini tentu masih jauh dibanding prestasi Malaysia yang bisa menggenjot hingga 10 kali lipatnya.

Malahan menjelang akhir tahun lalu, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ego Syahrial, menyatakan bahwa metode EOR tidak cocok dengan lapangan yang ada Indonesia, karena kekompleksan geologinya. Menurut dia, yang cocok untuk meningkatkan produksi adalah memperbanyak titik serap.

Namun demikian, Ego menambahkan bahwa metode EOR masih akan tetap berjalan, dan hingga saat ini Kementerian ESDM Bersama SKK Migas masih memikirkan seperti apa EOR ke depannya. (gus)

Alasan Pertamina Kalah dari Petronas Malaysia

"Kami pernah jadi guru Petronas, dan kini ditinggalkan," kata Direktur Utama Pertamina, Karen Agustiawan, di Jakarta, Jumat 24 September 2010.

Menurut Karen, kalahnya Pertamina dari Petronas saat ini karena pemerintah pernah melarang Pertamina menggarap sektor hulu. Padahal, sebagai perusahaan pertambangan, bisnis sektor hulu sangat menguntungkan.

Karena larangan di sektor hulu ini, Karen mengatakan, Pertamina saat ini lebih dikenal sebagai perusahaan stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), bukan perusahaan kilang minyak dan gas.

"Selama ini Pertamina hanya dilihat sebagai perusahaan SPBU, belum dianggap perusahaan hulu," katanya. Sebagai catatan, Pertamina saat ini mengelola 4.000 SPBU yang sebagian besar merupakan kerja sama dengan swasta.

Kebijakan larangan mengembangkan hulu, menurut Karen, telah menyebabkan Pertamina lebih fokus sebagai pelaksana kebijakan layanan publik (public service obligation/PSO). "Kami disuruh konsentrasi di SPBU," ujar dia. (v)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel