Janji-janji palsu yang digelontorkan Jokowi mendorong rakyat untuk segera menggantinya

Janji-janji palsu yang digelontorkan Jokowi mendorong rakyat untuk segera menggantinya

Viralnya tagar #2019GantiPresiden merupakan bentuk nyata enggannya publik dipimpin kembali oleh Jokowi untuk dua periode. Banyak kebobrokan dan janji-janji palsu yang diumbar oleh Jokowi


Memasuki tahun keempat Jokowi memimpin Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang masih menyimpan euphoria atas menangnya pemimpin yang digadang-gadang berasal dari kalangan "wong cilik" atau rakyat jelata.

Masyarakat menyambut bahagia kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu, karena ia dianggap dapat mewakili suara rakyat kecil dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya yang berlatarbelakang militer atau birokrat.

Siklus 5 tahunan yang selalu dijalani masyarakat Indonesia dalam kehidupan berdemokrasi membuat mereka yang mengejar kursi kepresidenan berusaha mencari berbagai self-branding demi mengambil hati rakyat.

Blusukan mungkin adalah hal yang paling kentara dilakukan Jokowi selama masa kampanyenya dulu. Blusukan ini pun menjadi tanda pengenal Jokowi bahwa ia memihak pada kepentingan rakyat.

Padahal jika dilihat dari kacamata sebuah agenda politik demokrasi, blusukan itu tidak lebih dari sebuah pencitraan dibandingkan sebagai "mengenal rakyat lebih dekat".

Janji-janji yang digelontorkan Jokowi semasa kampanye dahulu tidak sedikit yang hanya membekas di lisannya saja. Jika blusukan yang dijadikan sebagai self-branding dimanfaatkan untuk menyerap aspirasi rakyat, seluruh kebijakan yang diambil Jokowi sudah sepatutnya people-centered atau mementingkan rakyat.

Namun, fakta berkata sebaliknya. Banyak kebijakan Jokowi selama hampir 4 tahun memimpin negeri ini yang lebih menyayangi aseng dan asing, tetapi malah mencekik rakyatnya sendiri.

Janjinya untuk swasembada pangan dan mengurangi impor pangan baru-baru ini terbukti sebagai lip-service belaka. Hati rakyat kembali disakiti dengan keputusannya untuk mengimpor beras dan garam yang sebetulnya negeri ini sangat mampu memproduksi dan menyediakan sendiri.

Kebijakan lain seperti student-loan atau kredit pendidikan yang terlihat sangat membantu rakyat berekonomi rendah untuk bisa mengenyam pendidikan juga jelas tidak menolong sama sekali.

Sudahlah rakyat didorong untuk berhutang, ketika sudah lulus pun harus terbebani dengan bunga hutang dari pinjaman yang diambil. Student-loan sejatinya adalah kebijakan tambal sulam yang pada akhirnya tetap menyulitkan rakyat.

Kebijakan student-loan tersebut juga semakin diperparah dengan ditekennya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Tenaga Kerja Asing yang sangat nyata membuka gerbang selebar-lebarnya untuk pekerja asing masuk dan mengadu nasib di Indonesia. Di saat yang bersamaan, rakyat sendiri diminta untuk berkompetisi dengan para pekerja asing yang mungkin daya saingnya jauh di atas rakyat Indonesia.

Dari berbagai kebijakan yang diambil Jokowi untuk kemudian diterapkan atas rakyat inilah muncul anggapan bahwa Jokowi pemimpin Wong Cilik hanyalah lip-service belaka yang bertolakbelakang dengan kenyataan pemerintahannya. Kesadaran publik ini kemudian berkembang hingga menumbuhkan animo masyarakat untuk #2019GantiPresiden.

Viralnya tagar #2019GantiPresiden ini merupakan bentuk nyata enggannya publik untuk dipimpin kembali oleh Jokowi selama dua periode. Banyaknya kebobrokan dan janji-janji palsu yang diumbar oleh Jokowi ternyata mendorong rakyatnya sendiri untuk ingin menggantinya.

Kemampuan publik dalam mengindera realita terkait kepemimpinan Jokowi ini tentu harus diapresiasi, meskipun secara fakta, berbagai kebijakan tidak pro rakyat tersebut bukan sepenuhnya berasal dari pundak Jokowi.

Publik juga harus memahami bahwa seorang pemimpin dalam sistem apapun akan bertindak sesuai dengan mekanisme perpolitikan dan mekanisme ekonomi yang berlaku.

Jokowi yang kepemimpinannya berada dalam sistem demokrasi juga sangat berperan dalam melahirkan kebijakan tidak pro wong cilik tersebut.

Sudah menjadi hal yang umum bahwa cara kerja demokrasi itu sangat diwarnai oleh kepentingan berbagai pihak, termasuk di dalamnya adalah pihak-pihak asing, para pengusaha kapitalis, bahkan mereka yang sekedar ingin mencicipi kursi kekuasaan.

Tidak ada lawan atau kawan yang abadi, namun hanya kepentingan-lah yang abadi di dalam sistem demokrasi.

Kiriman dari Media Oposisi
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel