Siapa yang tak kenal Tomy Winata? Pengusaha Indonesia keturunan Cina yang satu ini lihai dan licin bagaikan belut. Bagaikan raksasa yang berdiri mengangkang, jaringan bisnisnya menggurita disegala aspek perekonomian. Saking tajirnya, orang bilang uangnya mungkin saja sudah tak ada nomor serinya lagi...
MAJALAH TEMPO-LAPORAN UTAMA
MINGGU, 1 APRIL 2018
Kawan Seiring Sepenanggungan
KETIKA tengah menceritakan riwayat hidupnya sejak lulus Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah, pada 1982, Gatot Nurmantyo tanpa sungkan mengungkap sahabat paling dekat dalam hidupnya yang 58 tahun: Tomy Winata. “Persahabatan saya dengan dia melebihi yang lain,” katanya di kantor Tempo pada Selasa pekan lalu.
Keduanya dipertemukan Edi Sudrajat. Saat itu, Gatot baru enam bulan lulus dari Magelang dan ia menjadi ajudan Edi, yang ketika itu menjabat Panglima Komando Daerah Militer III Siliwangi. Edi membawa seorang anak muda Tionghoa, yang diperkenalkan sebagai orang yang tengah merintis usaha, kepada Gatot.
Dialah Tomy Winata. Usianya 25 tahun ketika itu. Ke mana-mana naik sepeda motor, Tomy berjualan bahan bangunan dan mengerjakan pelbagai proyek tentara. “Ini Tomy, saya akan didik,” ujar Edi, yang meninggal pada 2006, seperti dituturkan Gatot. Edi terkesan pada Tomy yang konsisten membela teman.
Di awal menjadi ajudan, Gatot mengira ia hanya menemani ke mana Edi pergi. Sekali waktu, Edi melihat ada tumpukan kertas di meja kerjanya. Edi bertanya apa kertas-kertas itu. Gatot menjawab tak tahu. Edi membentak sembari melempar kertas-kertas itu. “Ajudan macam apa kamu?” katanya.
Kali lain, Edi melempar tumpukan koran di meja rumahnya. Dari dua kejadian itu, Gatot paham, ia harus membaca semua surat untuk Edi dan menyortirnya, surat mana saja yang penting dan tak penting. Ia harus membaca koran dan membuatkan resume berita yang harus diketahui dan dibaca Edi.
Gatot mengakui Edi sebagai salah satu orang yang paling berpengaruh dalam hidupnya. Ketika dites kewaspadaan, Gatot sudah siap. Edi tiba-tiba masuk ke kamar tidurnya menodongkan pistol. Gatot tidur dengan pistol tergeletak di meja kamar berjarak serengkuhan. “Bagaimana bisa melindungi saya kalau caranya seperti ini?” ujar Edi.
“Di sini ada senjata otomatis, Pak,” kata Gatot, tetap berbaring, seraya membuka piamanya. Di sana, tangan kanannya memegang popor sebuah senapan serbu. Edi tersenyum melihat cara ajudannya itu.
Tomy Winata, sementara itu, punya bisnis kian moncer. Ketika Edi menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Darat, pada 1988, Tomy membeli saham Bank Propelat. Semula, bank ini hanya dimiliki Yayasan Kartika Eka Paksi, yang berada di bawah TNI Angkatan Darat. Bank inilah yang menjadi cikal-bakal Bank Artha Graha, lini utama bisnis Tomy.
Beberapa bulan setelah mengakuisisi Bank Propelat, Tomy mengambil alih saham PT Jakarta International Development, yang mengelola Hotel Borobudur. Untuk transaksi ini, Tomy kembali berkolaborasi dengan Yayasan Kartika Eka Paksi. Empat tahun kemudian, kolaborasi keduanya berekspansi dengan membeli sebuah lahan di kawasan Jalan Jenderal Sudirman.
Tomy mengubahnya menjadi Sudirman Central Business District, kawasan perniagaan elite di Jakarta hari ini. Riset Ernst & Young, seperti dikutip Human Rights Watch, menaksir nilai aset kawasan tersebut beserta pengembangannya saat dibeli mencapai US$ 3 juta ketika itu. Belakangan, kolaborasi Yayasan Kartika Eka Paksi dan Tomy merambah ke berbagai lini bisnis lain, seperti kehutanan, konstruksi, perumahan, pabrik, jasa, dan pertambangan.
Dalam sebuah wawancara dengan Tempo pada 1999, Tomy mengakui bisnisnya banyak ditopang tentara. Namun ia mengatakan kerja sama tersebut dilakukan secara resmi dan lewat tender. Tomy mengaku sudah berbisnis dengan TNI Angkatan Darat sejak 1970-an. “Dengan Yayasan Kartika Eka Paksi baru pada 1985,” ujarnya.
Persinggungan Gatot dengan Tomy terjadi saat Bank Artha Graha hendak mengakuisisi Bank Arta Prima. Pada 1997, Tomy membeli 35 ribu lembar saham bank itu dengan harga Rp 1 per lembar. Setelah diakuisisi Tomy, bank itu berubah nama menjadi Bank Artha Pratama. Menurut Gatot, dia banyak terlibat dalam proses merger karena saat itu menjabat Komisaris Utama Bank Artha Graha. “Sehingga saya tahu seluk-beluknya,” kata Gatot.
Gatot mengatakan sama sekali tidak risi membuka persahabatan dengan Tomy, pengusaha Tionghoa yang acap dihubungkan dengan bisnis gelap di Jakarta. Tomy bahkan selalu dikaitkan dengan “Naga Sembilan”, kelompok pengusaha Tionghoa yang menguasai bisnis gelap di Indonesia. “Saya tidak pernah menengadahkan tangan kepada dia,” ujarnya.
Kedekatan Gatot dengan Tomy dibenarkan Desmond Junaidi Mahesa, pengacara Tomy yang kini menjadi politikus Partai Gerindra. “Mereka berdua memang dekat sejak dulu,” tutur Wakil Ketua Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat ini. Karena kedekatan itulah, kata Desmond, Tomy acap mengundang Gatot ke acara perusahaannya.
Pada 10 Juni 2017, Tomy mengundang Gatot melepasliarkan seekor anak harimau bernama Mulli di Tambling Wildlife Nature Conservation di Pesisir Barat, Lampung. Tambling adalah hutan konservasi yang dimiliki dan dikembangkan Tomy. “Kehadiran Pak Gatot di sana sebagai kawan saya,” ujar Tomy kepada Tempo pada Kamis pekan lalu.
Tak ayal, persahabatan ini menimbulkan spekulasi bahwa Tomy salah satu penopang finansial Gatot dalam pemilihan presiden nanti. Itu pula sebabnya Mayor Jenderal Kivlan Zen menyebutkan Gatot punya logistik yang lebih banyak daripada Jenderal Prabowo Subianto.
Apalagi, kepada sejumlah orang dekatnya, Tomy pernah mengatakan bersedia membantu Gatot dengan cara apa saja jika mantan Panglima TNI ini menjadi calon presiden. Tomy tak menjawab ketika dimintai konfirmasi soal janjinya ini.
Gatot mengatakan belum mendengar secara langsung Tomy Winata berjanji membantunya jika ia menjadi calon presiden, apalagi sampai ada rumor Tomy siap menjual rumahnya. “Saya tahu siapa dia,” ujarnya. “Orang paling konsisten dalam berteman.”
Kivlan Zen: Uang Gatot Banyak, Melebihi Uang Prabowo
Kegamangan sikap Prabowo untuk berlaga di Pilpres 2019 sempat menimbulkan tanda tanya di benak publik. Hal ini sangat berbeda ketika mantan Danjen Kopassus itu mengikuti kontestasi Pilpres 2014. Prabowo jauh-jauh hari sudah menyatakan kesiapannya untuk menjadi RI-1. Iklannya yang begitu megah dan mahal pun diobral di layar kaca.
kabar mengejutkan diungkapkan oleh mantan Kepala Staf Kostrad ABRI Mayjen (Purn) Kivlan Zein. Dalam diskusi kebangsaan Alumni 212 di Roemah Rakjat, Tebet, Jakarta Selatan, pada Jumat (2/3/2018), Kivlan menyatakan bahwa ia mendukung mantan Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo untuk berlaga di Pilpres 2019. Kivlan menyebut Gatot memiliki pendanaan yang cukup banyak untuk mendukung logistik selama pilpres.
"Pokoknya cukup beli partai, tapi saya tak sebutkan jumlahnya. Tapi apakah dia lakukan? saya enggak tahu," kata Kivlan. Ia mengaku sering bertemu empat mata dengan Jenderal Gatot. Soal pendanaan, Kivlan menyebut uang Gatot lebih banyak daripada uang Prabowo yang kemungkinan diusung Gerindra. Menurutnya, Jenderal Gatot hanya tinggal meyakinkan partai untuk mencari kendaraan politik baru (kumparan.com, 02 Maret 2018).
Kalau memang benar pernyataan Kivlan, bisa jadi tak hanya akan berdampak serius terhadap nasib kandidasi Prabowo, tetapi juga bisa mengubah peta koalisi parpol pendukungnya. Kita juga dikejutkan oleh sikap PAN yang terkesan mulai menjaga jarak dengan Gerindra.
Hal itu bisa dibaca melalui proses lobi politik Zulkifli Hasan yang lebih banyak bermain sendiri dengan mencoba mendekati PDI-P. Apakah hal itu juga karena faktor finansial? Tentu hanya kubu PAN yang bisa menjawab pertanyaan sensitif ini.
Pernyataan Kivlan, bisa jadi juga menjadi pukulan telak, bukan hanya bagi Prabowo secara personal, melainkan juga bagi kader-kader Gerindra yang sudah bulat dan satu suara untuk mengusung Prabowo kembali di Pilpres 2019.
Sejauh ini, yang baru bisa kita simak dari kubu Gerindra adalah bahwa deklarasi Prabowo untuk berlaga di Pilpres baru akan disampaikan pada Agustus 2018 ketika pendaftaran Capres-cawapres 2019 sudah dimulai. Kita tunggu saja!
Cerita Fiksi :
Sosok mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD yang sempat jadi komandan tim pemenangan Prabowo - Hatta. menerima kekalahan kubunya, karena baginya politik itu tidak kasat mata.
Kekuasan adalah ibarat madu yang amat manis, dimana ada kekuasaan pasti ada politisi. termasuk di KMP.
Kemudian ada elit Golkar berbeda persepsi mengenai KMP sebagian mau bergabung dengan kekuasaan, begitu pula dengan PPP.
PDIP menunjuk Yasonna laoly sebagai panglima perang dalam operasi menghancurkan KMP, maka disiapkanlah Dana dan logistik baik ke kubu romy di PPP maupun ke kubu AR di Golkar.
JK sebagai wapres yang merupakan kader Golkar bekerja dibelakang layar, demikian juga nasdem tentu berkepentingan atas operasi jenderal Yasonna ini. ia lalu mendorong dengan segala jiwa terlaksananya munas Ancol oleh Golkar serta muktamar Surabaya PPP oleh Romi CS.
JK sadar KMP terlalu besar dan tak baik bagi kelanjacarn progran Jokowi JK 2014-2019, JK menjadi mentor utama Yasonna dalam operasi penghancuran KMP.
Akhirnya, Lewat keputusan di Munaslub, Partai Golkar secara resmi keluar dari Koalisi Merah Putih (KMP). KMP adalah koalisi pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa saat Pilpres 2014 lalu.
Sementara Mega dan elit PDIP hanya bersifat Fasif,"biarlah operasi ini ditangani oleh jenderal Yasonna beserta para administratur di kementriannya", begitu kira kira pikiran elit PDIP.
Sumber
Gatot tak risih bersahabat dengan taipan Tomy Winata yang acap dihubungakn dengan bisnis gelap
(ucN) dan (kumparan)