Kemudahan perizinan Tenaga Kerja Asing (TKA) melalui Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 dianggap memberi celah bagi pekerja asing ilegal di Indonesia.
Pasalnya, dalam ketentuan pasal 22 beleid itu menyebut bahwa TKA dapat menggunakan visa terbatas (vitas) dan izin tinggal sementara (itas) untuk bekerja di Indonesia.
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar mengatakan, artinya pekerja asing bisa bekerja di Indonesia hanya bermodal dokumen yang tidak diterbitkan di Indonesia.
Sebab, sesuai pasal 20 beleid itu, permohonan vitas dan itas bisa dilakukan di perwakilan Indonesia di luar negeri yang merupakan perpanjangan tangan Imigrasi.
Penggunaan vitas dan itas ini memiliki implikasi negatif. Pertama, kini usaha perseorangan bisa menggunakan TKA hanya dengan bermodal visa terbatas.
Padahal, menurut Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, hanya badan usaha saja yang boleh meminta izin untuk menggunakan pekerja asing.
Lihat juga: Jokowi Buka Pintu Lebar-lebar Bagi Tenaga Kerja Asing
Artinya, kini terdapat dua pintu masuknya TKA yaitu Kementerian Ketenagakerjaan untuk penggunaan pekerja asing yang diajukan badan usaha dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi pekerja asing perseorangan.
Selain bertentangan dengan konstitusi, masuknya TKA dari dua pintu ini bisa bikin pekerja asing ilegal hilir mudik di Indonesia.
"Jika pengawasan lemah, pintu TKA dibuka gampang. Maka TKA asing ilegal akan banyak," ujar Timboel, Jumat (6/4).
Apalagi, pengawasan semakin sulit lantaran vitas kini memiliki batas waktu dua tahun dari sebelumnya 30 hari saja. Dengan kata lain, ada potensi pekerjaan yang seharusnya bisa dilakukan oleh kompetensi lokal malah dilakukan oleh TKA.
Ini menjadi parah setelah pasal 6 Perpres itu menyebut bahwa pemberi kerja bisa menggunakan TKA yang sedang dipekerjakan pemberi kerja lain dalam jabatan yang sama.
Timboel bilang, ini bisa mengurangi kesempatan kerja bagi profesional Indonesia dan pemberi kerja bisa mengacuhkan pasal 4 beleid yang sama, bahwa pemberi kerja wajib mengutamakan tenaga kerja dalam negeri.
"Pasal 6 ayat 1 menutup kesempatan bagi profesional dalam negeri," imbuh dia.
Tak hanya merugikan pasar tenaga kerja Indonesia, banyaknya TKA ilegal juga menggerus Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Sebab, tidak ada biaya kompensasi TKA yang masuk ke kantong Indonesia.
Sesuai pasal 47 UU Ketenagakerjaan, pemberi kerja wajib membayar kompensasi atas setiap TKA yang dipekerjakannya. Saat ini, kompensasi TKA berada di level US$100 per bulan. Jika TKA ilegal menjamur, maka bisa dibayangkan potensi PNBP yang seharusnya bisa didapat oleh Indonesia.
"Selain sesat pengawasan, menurunkan pendapatan negara juga. Lapangan kerja semakin turun jumlahnya," imbuh dia.
Lihat juga: Perpres Tenaga Kerja Terbit, Menteri Hanif Minta Jangan Panik
Sebelumnya, pemerintah kini tidak mewajibkan seluruh TKA yang bekerja di Indonesia untuk memperoleh Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disetujui oleh Kementerian dan Lembaga teknis terkait. Hal ini tercantum dalam Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Sesuai pasal 10 beleid tersebut, pemberi kerja tidak wajib memberikan RPTKA bagi TKA yang memegang saham dan menjabat sebagai anggota direksi, pegawai diplomatik, dan jenis-jenis pekerjaan yang masih dibutuhkan pemerintah.
Rencananya, jenis-jenis pekerjaan yang masih dibutuhkan pemerintah akan diatur ke dalam Peraturan Menteri Ketenegakerjaan tersendiri.
Data Kementerian Ketenagakerjaan mencatat saat ini ada 126 ribu TKA yang ada di Indonesia per Maret 2018. Angka ini tumbuh 69,85 persen jika dibandingkan posisi akhir 2016 yakni 74.813 orang. (lav/bir)