Setelah tragedi Tolikara, Umat Islam di Papua kembali dizalami dengan aksi intoleran di Manokwari, Papua Barat. Sebuah spanduk dipasang sekelompok orang yang diduga berasal dari kelompok Kristen di depan bangunan masjid.
Spanduk yang mengatasnamakan umat Kristen Papua Barat itu menolak adanya pembangunan masjid di kota Manokwari yang diklaim sebagai kota injil. Seruan penolakan itu ditulis dengan huruf kapital berwarna merah dan di sebelah kanan dan kiri dibubuhi lambang salib.
PAPUA ADALAH TANAH DAMAI, TOLONG HARGAI DAN MENGERTI KAMI UMAT KRISTEN DI TANAH PAPUA DAN BERHENTI MEMBANGUN PEMBANGUNAN MASJID YANG SEDANG DIBANGUN DI ANDAI DAN JANGAN MENAMBAH PEMBANGUNAN MASJID LAGI DI KOTA INJIL MANOKWARI PROVINSI PAPUA BARAT, UMAT KRISTEN
Demikian tulisan dalam spanduk tersebut.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat (Humas) Pimpinan Pusat Hidayatullah, Mahladi Murni dimana Pondok Pesantren Hidayatullah di Manokwari berdekatan dengan tempat kejadian perkara, membenarkan adanya spanduk tersebut.
“Informasi yang kita terima, ada sejumlah pemuda, sekitar 60 orang sekitar pukul 10.00 WIT, tanggal 17 (September 2015, red.), mendatangi masjid tersebut,” kata Mahladi Murni ketika dihubungi Panjimas.com, Jum’at (18/9/2015). (Sumber berita lengkap)
Toleransi Berbalut Kebebasan Demokrasi !
Oleh:Farisa Fitriana
Mahasiswi, sekaligus anggota komunitas penulis Pena Langit....
Pembangunan Masjid di Desa Arfai 2, Kelurahan Andai, Kecamatan Manokwari Selatan, Papua Barat mendapat tentangan dari sekelompok pemuda Kristiani. Kepala Cabang Baitul Maal Hidayatullah (BMH) Maulana Muhammad menjadi saksi atas aksi pelarangan yang dilakukan oleh puluhan pemuda Kristiani yang terjadi pada Kamis (17/9) lalu.
Maulana menceritakan, pada pukul 10.00 hari itu sekitar 50-70 pemuda mendatangi lokasi pembangunan Masjid tepatnya berada di Jalan Trikora Km 19 di saat para tukang sedang bekerja.
"Puluhan pemuda itu menyampaikan orasi-orasi meminta penghentian aktivitas pembangunan Masjid," ujar Maulan saat dihubungi Republika.co.id, Senin (21/9).
Persekutuan Gereja-gereja di Kabupaten Jayapura (PGGJ) menuntut pembongkaran menara Masjid Al-Aqsha Sentani karena lebih tinggi dari bangunan gereja yang sudah banyak berdiri di daerah itu. Hal ini menuai respons dari sejumlah pihak.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin berharap agar masalah ini bisa diselesaikan dengan musyawarah. Menag juga mendukung rencana tokoh agama untuk menggelar dialog yang produktif dengan para pihak terkait. "Selesaikan dengan musyawarah.
Kami mendukung penuh langkah-langkah pemuka agama, tokoh masyarakat, dan Pemda yang akan melakukan musyawarah antar mereka," kata Menag di Jakarta, Minggu (18/03).
Bicara tentang toleransi maka yang lebih pas dan tepat untuk dibicarakan adalah toleransi beragama atau toleransi keyakinan. Karena, isu terkait SARA memang pas digunakan dalam sebuah negeri yang menganut sistem kebebasan.
Toleransi zaman now memiliki makna ganda. Kenapa? Karena ketika toleransi itu disematkan pada umat muslim, maka standardnya adalah umat muslim wajib menghormati agama lain dengan cara tidak mengganggu privasi ritual agama lain serta umat muslim diwajibkan ikut serta dalam euforia perayaan agama lain.
Ketika mereka tidak melaksanakan standard toleransi itu maka mereka disebut intoleran dan islam mereka adalah islam radikal. Tapi ketika toleransi itu disematkan pada non muslim, maka standardnya sangat jauh berbeda.
Atas nama HAM mereka menginginkan pemberhentian pembangunan masjid, mereka menuntut pembongakaran masjid, ketika posisi masjid itu lebih tinggi daripada gereja. Dan hal itu terjadi di daerah yang umat muslim adalah minoritas dari segi jumlah.
Itulah kondisi standard toleransi zaman now, merujuk pada beberapa fakta yang memang membuktikan bahwa umat muslim, ketika berada di daerah dimana mayoritas non muslim, maka biasanya umat Islam mengalami diskriminasi.
Sangat wajar memang ketika hal itu terjadi, dalam sistem demokrasi yang memang mengusung kebebasan serta dalam negara demokrasi ruang toleransi hanya terbuka untuk non Islam.
Segala sesuatu yang memang tidak bersumber dari sang Pencipta termasuk sistem kenegaraan, maka pasti akan menimbulkan perpecahan dan permusuhan.
Dan segala sistem yang memang tidak berasal dari sang Pencipta maka sistem itu tidak akan pernah kompatibel dengan Islam.