Kita boleh berbangga dengan kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia, tetapi kita juga pasti menangis jika melihat kenyataan bahwa kekayaan alam kita dikuasai oleh asing.
Sumber kekayaan alam Indonesia dieksploitasi hanya untuk memenuhi kebutuhan industri Negara-negara maju seperti Amerika, Inggris, Australia, Jepang dan China.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah Indonesia mendapatkan apa dari penglolaan kekayaan alam yang dilakukan oleh asing? Di negeri sendiri rakyat Indonesia hanya dijadikan sebagai penonton atau sapi perahan pendukung eksploitasi SDA.
Berdasarkan catatan Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dominasi asing di sektor Migas 70%, batu bara, bauksit, nikel dan timah 75%, tembaga dan emas sebesar 85% serta diperkebunan sawit sebesar 50%.
Jumlah ini menunjukkan bahwa betapa lemahnya posisi pemerintah untuk melindungi aset Negara. Selain itu peran pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik agraria di sektor pertambangan juga sangat lemah. Pada tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat ada 38 konflik di sektor pertambangan dengan luas konflik 197.365,90 ha.
Ada beberapa gunung yang dikuasai oleh asing dan dijadikan area pertambangan.
Pertama, Gunung Tembagapura yang ada di Mimika, Papua dikuasai oleh Freeport sejak 1967.
Kedua Gunung Meratus yang ada di Kalimantan Selatan dikuasai oleh PT Antang Gunung Meratus (AGM) sejak 1999.
Ketiga Gunung Salak yang ada dibogor dikuasai oleh PT Chevron.
Keempat, Gunung Pongkor yang dikuasai PT Aneka Tambang (Antam).
Kelima adalah Gunung Ceremai yang ada di Jawa Barat yang dikuasai Chevron.
Gunung Tembagapura
Dalam artikel Lisa Pease, “JFK, Indonesia, CIA and Freeport” menceritakan bahwa Freeport Sulphur sempat mengalami kebangkrutan pada 1959. Fidel Castro yang berhasil menggulingkan rezim Baptista melakukan nasionaslisasi di Kuba.
Freeport Sulphur yang ingin melakukan pengapalan produksi nikel terkendala. Namun kondisi Freeport Sulphur terselamatkan setelah presiden Soeharto memberikan ijin pengelolaan tambang tembaga yang ada di Tembagapura, Papua tahun 1967.
Kehadiran Freeport yang ada di Tembagapura, Papua bagaikan sebuah kutukan. Pasalnya sejak lahan seluas 178.000 ha dikuasai Freeport masyarakat tidak pernah merasakan manfaat perusahan tersebut.
Malahan masyarakat adat yang sudah mendiami lahan tersebut secara turun-temurun tergusur. Sejak 1995 Freeport mengeruk 2 miliar ton emas dan tahun 2007 keuntungan perusahaan ini adalah $ 6.255 miliar (Muhaedhir abuchai).
Setelah tembaga dan emas di Gunung Tembaga habis maka Freeport akan mengeruk keuntungan uranium yang harganya jauh lebih mahal dari emas.
Saham PT Freeport Indonesia dikuasai oleh Freeport Mc Mo Ran Cooper & Gold Inc 81,28%, sedangkan sisanya PT. Indocopper Investama Corporation 9,36% dan Indonesia 9,36% (Witrianto).
Jadi sangat wajar kehidupan di Papua tidak sejahtera karena hasil tambangnya sebagian besar dibawa ke Amerika. Selain dari ketidak pedulian Freeport terhadap masyarakat sekitar, perusahaan asing tersebut juga tidak memperhatikan lingkungan.
Sisa penambangan emas yang dilakukan oleh Freeport telah meninggalkan lubang yang sangat besar. Proses penambangan yang selama ini dilakukan oleh freeport hanya memberikan kerugian, baik materi maupun kerusakan lingkungan serta konflik terhadap masyarakat adat.
Gunung Meratus
PT Antang Gunung Meratus yang bergerak dalam pertambangan batubara mulai beroperasi di Banjarmasin, Kalimantan Selatan sejak dikeluarkannya keputusan menteri pertambangan dan energi nomor 50/28/SJNT/1999.
Luas kawasan pertambangan PT AGM adalah 22.433 ha yang ada di empat kabupaten (Banjar, Tapin, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Selatan). Dari hasil keputusan ini PT AGM mengelola pertambangan batu bara dengan luas 1,767 ha dengan produksi 1,5 juta ton per tahun selama delapan tahun. Namun pada perpanjangan ijin pertambangan PT AGM mendapat ijin pengelolaan lahan pertambangan selama 26 tahun sejak 2002.
Jumlah kemiskinan di Kalimantan Selatan pada tahun 2011 berjumlah 194.623 jiwa. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 0,07% dari tahun sebelumnya (181.960 jiwa). Ini menunjukkan keberadaan PT AGM tidak memiliki dampak yang positif kepada masyarakat Kalimantan Selatan. Hal ini memang sangat disayangkan karena hanya segelintir orang yang menikmati hasil tambang di Kalimantan Selatan.
Gunung Salak
Di sekitar Gunung Salak terdapat perusahaan besar, yaitu PT Chevron yang membangun Gheothermal. Sebelum Chevron melakukan kegiatan geothermal lahan tersebut dikuasai oleh Perhutani yang mengelola hutan produksi. Namun pada tahun 1997 sejak Chevron masuk maka lahan tersebut berubah menjadi areal pertambangan geothermal. Petani yang pada awalnya menggarap lahan Perhutani berubah statusnya menjadi perambah hutan sehingga Perhutani mempunyai alasan untuk menggusur mereka.
Tambang geothermal yang dibangun oleh Chevron bertujuan untuk mengaliri listrik ke PLN. Saat ini Chevron yang ada di Gunung Salak sedang mengelola 69 sumur dengan suhu temperatur rata-rata 220-315oC.
Fungsi geothermal yang bertujuan untuk memasok listrik ke PLN tidak sampai kepada masyarakat. Buktinya sampai saat ini di Bogor ada 6.000 orang yang belum menikmati listrik bahkan desa Leuwikaret belum pernah masuk listrik.
Selain itu pemadaman listrik secara bergilir masih sering terjadi di kota Bogor. Listrik yang dihasilkan oleh geothermal Gunung Salak ditujukan untuk mengaliri listrik tambang minyak milik Chevron yang tersebar di tanah air.
Aktivitas Chevron yang ada di Sukabumi telah merusak 500 unit rumah warga Kecamatan Kalapanunggal. Sampai saat ini ganti rugi bangunan warga belum selesai.
Gunung Pongkor
Gunung Pongkor merupakan surga bagi PT Aneka Tambang (Antam) karena gunung tersebut menghasilkan 200 kg/bulan. Cadangan emas seluas 6.047 ha yang dikuasai oleh Antam akan habis pada tahun 2019. Jika tidak ada lagi temuan baru, wilayah tersebut akan dijadikan tempat objek wisata tambang, sejarah dan keanekaragaman hayati.
Hasil 200 kg emas setiap bulan tidak bisa menuntaskan kemiskinan yang ada di Kebupaten Bogor. Pada tahun lalu berdasarkan data BPS angka kemiskinan sebesar 446.040 jiwa.
Tentu yang menjadi pertanyaan kita adalah kemana hasil tambang emas yang dikelola oleh Antam ? Pengelolaan tambang yang ada di Bogor, baik geothermal maupun tambang emas membuktikan bahwa swasta dan negara gagal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal serupa juga terjadi pada masyarakat Pongkor, yaitu hasil tambang hanya dinikmati segelintir orang.
Gunung Ceremai
Baru-baru ini kita dikagetkan dengan berita tentang penjualan Gunung Ceremai kepada Chevron. Jika berita ini benar, kita tidak perlu terkejut karena sekarang ini pemerintah memang sudah menjadi kaki tangan pemodal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri.
Empat contoh gunung di atas yang dijual kepada swasta maupun dikelola oleh Negara tidak memiliki manfaat positif bagi peningkatan taraf ekonomi masyarakat. Gunung-gunung tersebut dieksploitasi tanpa memperhatikan kondisi sosial masyarakat.
Tidak mengherankan jika jumlah rakyat miskin di Indonesia mancapai 31,02 juta jiwa. Pemerintah membuka peluang yang cukup besar kepada pemilik modal untuk menguasai sumber agraria secara berlebih.
Dampaknya, masyarakat yang tidak mampu mengelola kekayaan alam karena kerterbatasan modal dan pengetahuan menjadi tergilas. Untuk melindungi kepentingan para investor maka pemerintah melibatkan aparat yang terlatih dalam penyelesaian konflik di masyarakat.
Demikian yang terjadi di Gunung Ceremai, berdasarkan penuturan Sekda Kuningan, Yosep Setiawan bahwa tender pengelolaan panas bumi (geothermal) telah dimenangkan oleh Chevron.
Nasib masyarakat yang ada di Gunung Ceremai tidak akan berbeda dengan masyarakat yang ada Gunung Salak. Masyarakat hanya akan mendapat dampak negatif dari pembangunan geothermal tersebut, seperti kerusakan lingkungan akibat aktivitas pertambangan, pengkaplingan lahan yang melarang aktivitas pertanian dan non pertanian disekitar area pertambangan serta manfaat listrik dari geothermal tidak akan dirasakan masyarakat.
Pola pembangunan pertambangan yang dikelola oleh swasta sangat berorientasi pada keuntungan sehingga kepentingan masyarakat terabaikan. Dalam mengelola kekayaan alam yang paling berhak adalah rakyat Indonesia.
Wujudnya bisa diwakili oleh Negara ataupun kumpulan individu yang berasal dari warga sekitar. Inisiatif untuk melakukan nasionalisasi aset Negara bisa dimulai oleh rakyat yang terkena dampak langsung dari pembangunan pertambangan.
Rakyat tidak pernah merasakan hasil pertambangan dari Freeport, Chevron maupun perusahaan swasta lainnya, jadi keberadaan mereka di negeri ini menyimpang dari amanat konstitusi Pasal 33 dan UUPA dimana, reforma agraria menjadi kerangka utama pembangunan ekonomi nasional. Mari periksa, apa gunung di wilayah anda sudah dibidik, diincar bahkan telah dijamah kaki tangan asing untuk diekspolitasi? SEMOGA TIDAK! (PA)
*Dari berbagai sumber yang dirangkum !