Penting diketahui bahwa Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) merupakan salah satu dari megaproyek Kertajati Aerocity. Hal ini diatur dan dirancang pada Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2013 Tentang Pembentukan Badan Usaha Milik Daerah Pengelola Bandar Udara Internasional Jawa Barat (BIJB) dan Kertajati Aerocity.
Pada perda ini dijelaskan bahwa “Kertajati Aerocity, yaitu suatu kawasan yang meliputi bandara international, kawasan perumahan, kawasan industri, kawasan perdagangan, jasa, perhotelan, dan kawasan penunjang lainnya.”
Begitulah tipu muslihat politik pengusaha properti dan konstruksi bersama pemerintah dalam menjalankan usahanya melalui regulasi-regulasi yang ada, mereka mendoktrin rakyat bahwa usaha yang mereka jalankan adalah pembangunan insfrastruktur untuk kepentingan rakyat dan meningkatkan kesejahteraan yang nyatanya adalah memiskinkan rakyat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) persentase penduduk miskin di pedesaan hanya dalam jangka waktu 6 bulan lamanya kemiskinan naik dari 14,09% pada September 2015 menjadi 14,11% pada Maret 2016. Artinya pembangunan yang dikatakan pemerintah sebagai cara mengentaskan kemiskinan adalah kebohongan besar.
Disaat banyaknya proyek pembangunan yang menyerap APBN disaat itu juga rakyat harus rela kehilangan haknya dalam APBN. Pemerintah saat ini mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur sebesar Rp 313,5 triliun sedangkan untuk sektor pertanian hanya Rp 32,8 triliun (dan 60% untuk impor bahan pangan).
Fakta diatas adalah bukti bahwa pembangunan yang diklaim atas nama rakyat bukanlah rakyat miskin melainkan rakyat kelas atas.
Kembali kepada topik BIJB, BIJB dibangun di atas tanah warga dan sawah pada 11 desa di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka. Alasan pembangunan infrastruktur seperti BIJB merupakan trik klasik sekaligus cara terampuh memarjinalkan rakyat miskin di seluruh penjuru Indonesia yakni dengan pembangunan infrastrukur terlebih dahulu sebelum kemudian disusul kawasan bisnis.
Perlu diketahui bahwa BIJB merupakan salah satu tahapan “pembangunan masalah” dikatakan pembangunan masalah karena :
1. Kertajati Aerocity adalah kepentingan bisnis pengusaha properti yang memakai anggaran negara, meliputi wilayah seluas ± 5.000 Ha terdiri atas bandar udara yakni BIJB seluas ± 1.800 Ha dan Aerocity (hunian perkotaan dan bisnis) seluas ± 3.200 Ha.
2. Luasan kawasan Kertajati Aerocity dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi (KSP) BIJB dan Kertajati Aerocity [1] artinya setiap saat bisa bertambah tanah rakyat yang dirampas atas nama pembangunan tersebut.
3. BIJB awalnya merupakan salah satu proyek nasional MP3EI era Presiden SBY-JK yang banyak ditentang, dan kini dikukuhkan menjadi proyek strategis nasional di pemerintahan Jokowi-JK melalui Perpres no 3 tahun 2016 tentang percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional.
Berdasarkan keputusan sepihak diatas kertas, pemerintah dari level terendah hingga pusat menyetujui pembangunan BIJB yang mulai mencuat sejak tahun 2004 silam.
Dampak yang sudah terjadi pada pembangunan awal Kertajati Aerocity yaitu BIJB ini saja, tidak kurang dari 10.000 KK dari 10 desa sudah terusir dari tanahnya tanpa penggantian yang jelas, minimal penggantian seperti yang diatur dalam UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
Setidaknya tidak kurang dari 10.000 KK telah kehilangan mata pencaharian sebagai petani, ribuan anak terancam putus sekolah karena sawah orang tuanya menjadi BIJB.
Belum lagi perhitungan dampak ekonomi karena hilangnya 1800 hektar sawah, berapa miliar potensi penerimaan pendapatan daerah hilang begitu saja karena BIJB.
Setelah bahaya dan dampak pembangunan BIJB, bahaya yang selanjutnya yang harus diantisipasi adalah pembangunan Kertajati Aerocity. Aerocity memiliki dampak resiko yang lebih luas dari BIJB sendiri karena memerlukan tanah seluas kurang lebih 3200 hektar yang terdiri dari kawasan perumahan, industri, perdagangan, jasa, perhotelan, dan kawasan penunjang lainnya. [2]
Tidak diketahui kapan pastinya sekitar 3200 hektar sawah dan tanah warga akan dihilangkan karena kepentingan bisnis.
Belajar banyaknya penolakan dari warga, kalangan aktifis dan pemerintah sendiri terhadap pembangunan BIJB. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat harus secepatnya mengkaji ulang urgensi dari pembangunan aerocity tersebut dikarenakan hal-hal sebagai berikut :
- Keberadaan lokasi Kertajati aerocity yang jauh dari pusat kegiatan utama yaitu PKN Kawasan Metropolitan Cirebon dan Bandung membuat hambatan dalam mengundang investor akibat perkembangan wilayah yang belum terjamin.
- Keadaan Kertajati dan sekitarnya masih berupa kawasan pedesaan juga akan mengurangi minat investor untuk menanamkan sahamnya.
- Infrastruktur darat belum maksimal.
- Ancaman krisis listrik yang terjadi di Jawa Barat.
- Minim jaminan investasi karena tingginya penolakan warga dan pelanggaran HAM didalamnya.
Saat ini warga Desa Sukamulya merupakan satu-satunya desa yang masih memilih untuk tidak menjadi korban BIJB selanjutnya. Warga desa sukamulya memilih mempertahankan tanah dari ancaman bahaya perampasan tanah BIJB.
Bukan berarti warga anti-pembangunan, namun warga sukamulya hanya mempertahankan apa yang tersisa, saat ini warga Sukamulya sudah tidak memiliki apa-apa lagi selain tanahnya, jika tanah mereka hanya diperuntukan untuk bisnis segelintir orang.
Maka melawan adalah tindakan warga Sukamulya yang paling benar. Hal ini memiliki dasar hukum yakni huruf d pasal 98 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Dan Pemberdayaan Petani dimana setiap orang wajib melindungi tanahnya dari pengalihfungsian tanah pertanian ke non-pertanian.
Penulis : Roni Septian Maulana