Sisa-sisa persoalan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali disidangkan. Termasuk soal penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI Sjamsul Nursalim menimbulkan pro dan kontra.
Mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie dihadirkan dalam sidang terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsjad Temenggung. Kwik diakui ikut dalam rapat-rapat yang dipimpin mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.
Ia pun membeberkan banyak hal peran Megawati terkait SKL BLBI Sjamsul Nursalim. Intinya, Kwik tidak bisa menerima pemberian SKL BLBI Sjamsul Nursalim, namun Megawati memaksakan penerbitan SKL tersebut.
Kasus BLBI mencuat sejak Mei 2002. Saat itu, KPK mencium praktik korupsi dalam penerbitan SKL kepada PT Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) Tbk.
Menurut KPK, kewajiban Sjamsul yang mesti diserahkan ke BPPN sebesar Rp4,8 triliun. Namun Sjamsul baru membayarnya, lewat penyerahan aset perusahan miliknya, Dipasena, yang nilainya hanya Rp1,1 triliun. Alhasil, Sjamsul masih memiliki kewajiban Rp3,7 triliun.
Syafruddin ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK sejak April lalu. Ia dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam sidang Syafruddin ini, Kwik mengungkapkan soal pertemuan di kediaman Presiden RI 2001-2004 Megawati Soekarnoputri yang berujung pada penyetujuan pemberian SKL penerima BLBI.
Kwik dihadirkan ke persidangan oleh jaksa penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jaksa Wayan Riana membacakan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) Kwik yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK).
Dalam BAP disebutkan sebelum pemerintah memutuskan menerbitkan SKL BLBI Sjamsul Nursalim, digelar tiga kali pertemuan sepanjang tahun 2002. Pertemuan pertama berlangsung di rumah Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta.
Turut hadir dalam pertemuan itu, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti selaku Menko Perekonomian, Boediono selaku Menkeu, Laksamana Sukardi selaku menteri BUMN dan Ma Rahman selaku Jaksa Agung.
Kwik diundang oleh Megawati di kediaman presiden Jl. Teuku Umar untuk membahas tentang SKL obligor yang kooperatif, tetapi ia menolak karena ia berpendirian bahwa obligor yang dapat SKL bayar utang sesuai dengan kas negara.
Jaksa Wayan saat membacakan BAP Kwik, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, mengatakan dalam BAP, Kwik mengungkapkan dalam pertemuan itu dia tidak setuju karena sedianya pertemuan itu harus dilakukan di Istana Negara dengan disertai undangan resmi. Apalagi topiknya cukup krusial, yakni tentang keuangan negara. Pertemuan itu pun ditutup oleh Megawati tanpa menghasilkan satu keputusan.
Kemudian, pertemuan kedua digelar di Istana Negara. Pertemuan kali ini juga dihadiri oleh orang-orang yang sama ketika pertemuan pertama di kediaman Megawati. Dalam pertemuan kedua Kwik menyatakan menolak penerbitan SKL bagi obligor meski telah dijelaskan bahwa SKL hanya diberikan kepada obligor yang dianggap kooperatif.
Menurut Kwik, obligor yang dianggap kooperatif itu seharusnya tidak hanya datang saat dipanggil, tetapi juga memenuhi kewajibannya membayar utang. Sebab, bisa saja obligor tersebut bersikap kooperatif saat dipanggil, tapi faktanya tidak membayar uang kas negara yang sesuai. Rapat kedua pun ditutup tanpa hasil.
Lantas, rapat ketiga membahas SKL BLBI kembali digelar di Istana Negara. Namun, menurut pengakuan Kwik dalam BAP, kali ini Yusril Ihza Mahendra selaku Menteri Kehakiman turut hadir. Pertemuan itu membahas topik yang sama. Sikap Kwik pun tetap sama, menolak penerbitan SKL.
Kwik mengaku saat itu sudah menyampaikan pendapat soal wacana penerbitan SKL BLBI. Namun, argumennya ditepis dan Megawati pun memerintahkan Yusril menyusun instruksi presiden terkait hal tersebut.
Rangkaian pertemuan itu diakui oleh Kwik dalam persidangan. Ia pun menjelaskan dirinya tak bisa beradu pendapat pada pertemuan terakhir lantaran para pihak yang hadir memberikan inisiatif, hingga akhirnya Megawati memutuskan hal seperti itu.
“Di dalam rapat sidang kabinet terakhir, saya tidak banyak protes karena tidak berdaya dengan pembicaraan para menteri yang langsung inisiatif bertubi-tubi. Akhirnya, Presiden Megawati menutup rapat. Seingat saya menugaskan Yusril Menteri Kehakiman untuk menyusunnya,” kata Kwik di persidangan.
Beberapa waktu kemudian, instruksi Presiden (Inpres) mengenai status hukum obilgor BLBI terbit dan diteken pada 30 Desember 2002
Tak masuk akal
Di hari yang sama, mentan Menko Ekuin sekaligus Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK) periode 2000-2001 Rizal Ramli menilai, kasus korupsi penerbitan SKL oleh Syafruddin tidak masuk akal. Karena banyak pihak yang memiliki wewenang di atas jabatan Syafruddin tapi tidak ikut dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Bahasa sederhananya, ini enggak masuk akal. Kok cuma pak Syafruddin yang diperiksa,” kata Rizal di Pengadilan Tipikor Jakarta hari ini.
Menurut Rizal, BPPN tidak bisa mengambil keputusan sendiri karena harus meminta persetujuan KKSK sebelum mengambil kebijakan. Apalagi terkait dengan kebijakan yang strategis. Aturan ini, sudah diterapkan selama dirinya menjabat Kepala KKSK.
“Jadi menurut kami agak ajaib kasus ini, kok hanya berhenti di level ketua BPPN. Harusnya sampai level-level di atas-atas, yang selama ini selalu sembunyi, seolah-olah enggak ada tanggung jawab,” kata dia.
Itu sebabnya perlu juga dihadirkan dalam Sidang Tipikor itu Megawati Soekarnoputri maupun Yusril Ihza Mahendra agar jelas pokok perkara dan siapa berperan apa. Sehingga dari sana Pengadilan Tipikor dalam memutuskan perkara seadil-adilnya.
Penulis Djony Edward