Oh ternyata korupsi yang lebih besar bisa diperoleh dengan memperdagangkan kebijakan

Oh ternyata korupsi yang lebih besar bisa diperoleh dengan memperdagangkan kebijakan

Demokrasi tak berbeda dengan hukum rimba, dimana lima puluh satu persen bagian dari rakyat boleh mengambil hak dari empat puluh sembilan persen bagian lainnya. Thomas Jefferson (1743 – 1826)


Hidup dalam Demokrasi memang bagai hidup dihutan, siapa yang kuat dia yang akan menang bedanya modal kekuatan dunia hewan adalah fisik sedangkan modal kekuatan demokrasi adalah uang.

Hasil kajian yang pernah dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ‎menyebutkan untuk maju di Pilkada seorang kandidat kepala daerah membutuhkan biaya rata-rata sekitar Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar.

Sementara harta kekayaan yang dimiliki kandidat setidaknya berdasarkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dilaporkan rata-rata berkisar Rp 6 miliar hingga Rp 8 miliar.

Kekurangan biaya ini yang mendorong calon kepala daerah mencari sponsor kepada pengusaha atau sektor swasta. Namun, setelah menjadi kepala daerah, gaji pokok yang diperoleh rata-rata sekitar Rp 10 juta (Link)

Fenomena ini membuka tabiat Demokrasi menjadi wadah terjadinya vicious circle (lingkaran setan) "Money to power, power to money".

Ujung-ujungnya yang sangat berperan menentukan sosok pemimpin adalah para pemilik modal (kapitalis), rakyat hanya mendapat jatah masuk bilik suara sedangkan suaranya (aspirasi) tak lagi didengar.

Bukan hanya pencalonan bahkan penentuan kebijakan akan sangat tergantung dari pesanan suplier dana politik tersebut. Inilah tabiat asli demokrasi ketika bercumbu dengan kapitalisme.


Cupilkan berita..

Korupsi politik tidak terjadi hanya pada APBN. Dana politik yang jauh lebih besar bisa diperoleh dengan memperdagangkan kebijakan.

"Korupsi APBN, seperti mark-up, fee proyek, pengambilan dana proyek, hanya modus konvensional. Justru korupsi politik melalui kebijakan yang dibuat otoritas pemerintah, baik di kabinet maupun parlemen, jauh lebih besar tapi sulit terdeteksi dalam diskusi publik," tutur pengajar FISIP Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, AAGN Dwipayana, Minggu (3/2/2013), saat dihubungi dari Jakarta.

Sumber dana politik yang sangat potensial antara lain terdapat di sektor-sektor pertambangan dan energi, kehutanan, pertanian, dan perdagangan. Kementerian di bidang-bidang ini pun dibagi pada politisi dari berbagai partai.

Kementerian ESDM dipimpin politisi Partai Demokrat, Kementerian Kehutanan, oleh politisi PAN, Kementerian Pertanian oleh politisi PKS, Kementerian Agama oleh politisi PPP.

Beberapa kasus korupsi yang muncul dari kebijakan yang diperdagangkan antara lain kasus suap Bupati Buol yang melibatkan politisi dan pengusaha Partai Demokrat serta kasus impor daging yang melibatkan elite PKS. Kebijakan yang dimiliki otoritas, baik di parlemen maupun kabinet, menurut Ari, membuka peluang perburuan rente.


Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik di Universitas Airlangga, Surabaya, juga menilai para elite menghidupi partai-partai politiknya melalui aliansi bisnis-politik yang berjalan dalam proses perburuan rente. Hal ini terjadi melalui konsolidasi finansial pada momen elektoral tingkat lokal sampai nasional serta proses legislasi yang melibatkan anggota parlemen lokal dan nasional.

Di sisi lain, perburuan rente dilakukan melalui pos-pos strategis, baik sebagai kepala dinas maupun kementerian yang dikuasai kekuatan parpol. Hal ini terjadi karena sistem kepartaian Indonesia mengalami kartelisasi.

Partai-partai politik bukan berkompetisi dalam pemilu atau di parlemen, melainkan bekerja sama berburu rente. Terlebih lagi, pembiayaan politik di era reformasi semakin tinggi akibat fenomena amerikanisasi metode kampanye. Politisi menggunakan iklan media massa secara massif. Kegiatan politik pun kini ditangani profesional.

"Di tengah kebutuhan biaya politik yang tinggi, jauh lebih mudah mendapatkan rente dengan memperdagangkan otoritasnya ketimbang mendapatkan pembiayaan partai dari sumber partai. Karenanya, elite relatif independen dari grass root untuk mendapatkan sumber pendanaan politik," tutur Ari. (link)

Pejabat Negara Tak Mungkin Lepas dari Parpol

Semua pejabat negara tidak dapat lepas dari dukungan partai politik. Tidak mungkin seseorang menduduki jabatan publik tanpa adanya dukungan partai politik.

Demikian disampaikan anggota Badan Pemeriksa Keuangan Rizal Djalil dalam seminar nasional bertema "Akuntabilitas Dana Politik di Indonesia: Kini dan Besok" di Jakarta, Senin (28/11/2011).

"Tak ada orang yang bisa jadi Dirut BUMN apalagi yang strategis, juga menteri, bahkan BPK, tanpa mendapat dukungan dari partai politik," kata Rizal.

Dengan demikian, Rizal melanjutkan, integritas partai politik benar-benar harus ditegakkan. Salah satunya adalah menyangkut akuntabilitas keuangan partai politik. (link)
Demokrasi tak berbeda dengan hukum rimba, dimana lima puluh satu persen bagian dari rakyat boleh mengambil hak dari empat puluh sembilan persen bagian lainnya. Thomas Jefferson (1743 – 1826)
*  
Google
Klik untuk buka komentar sesuai akun Anda

No comments

Komentar anda sangat berguna untuk meningkatkan penulisan artikel