Usai menerima surat pemanggilan pada 21 Juni 2018, Julio B. Harianja tahu statusnya sebagai mahasiswa di Universitas Negeri Semarang (Unnes) tengah terancam. Ia diminta Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Bambang Budi Raharjo untuk datang ke lantai 4 gedung rektorat tanpa diberi penjelasan maksud dan tujuannya.
Namun, Julio yakin panggilan ini terkait aksi tolak uang pangkal serta postingannya di media sosial yang dituduh sebagai ujaran kebencian.
Senin siang, 25 Juni 2018, Julio memenuhi panggilan tersebut. Selain Bambang, ia berhadapan dengan wakil dekan bidang kemahasiswaan dari beberapa fakultas. Pertemuan yang ternyata berupa sidang etik itu berlangsung alot, tanpa ada keputusan. Saat itu, kata Julio, “Saya meminta pertemuan direkam, tapi dewan etik menolak. Dan tidak ada keputusan apa pun di dalam (pertemuan).”
Empat hari setelahnya, apa yang dikhawitarkan Julio terbukti lewat Surat Keputusan Rektor nomor 304/P/2018. Isinya penetapan sanksi akademik berupa skorsing selama dua semester. Dalam salah satu poin putusan itu, Julio tidak diperkenankan melakukan kegiatan apa pun, baik akademik maupun non-akademik, di lingkungan kampus Unnes.
Tak terima, Julio berkata bakal menggugat ke pengadilan tata usaha negara. Apalagi, konsideran keputusan itu hanya menyebut: “… Julio Belanda Harianjana diduga keras telah melakukan pelanggaran berat berupa memicu dan/atau menghasut yang menimbulkan keonaran….”
“Sekarang mereka punya bukti apa kalau saya menghasut, membuat keonaran?" ujar Julio. "Mana ada dalam sebuah keputusan pakai kata 'diduga keras'? Mereka juga belum mendapat klarifikasi apa-apa dari saya.”
Menurut Julio, ganjaran skorsing ini tindakan pembungkaman dan memperlihatkan watak Rektor Unnes Fathur Rokhman yang anti-kritik.
Sebelumnya, pada Juli 2017, Unnes pernah melaporkan Julio dan rekannya, Harist Achmad Mizaki, ke Polrestabes Semarang atas dugaan pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Meski demikian, skorsing terhadap Julio hanya satu dari sekian intimidasi yang dilakukan pejabat Unnes terhadap mahasiswanya. Sikap represif kampus terhadap mahasiswa semakin santer seiring kerasnya penolakan terhadap uang pangkal serta mencuatnya dugaan plagiarisme yang menerpa Rektor Fathur Rokhman.
Wakil Koordinator bidang advokasi KontraS, Putri Kanesia, berpendapat tuduhan membuat keonaran apalagi hukuman skorsing terhadap mahasiswa usai aksi tolak uang pangkal pada 4 hingga 7 Juni 2018 merupakan "tindakan represif".
“Jika memang skorsing dilakukan tanpa ada kesempatan yang bersangkutan untuk mengklarifikasi, pihak kampus dapat dikatakan cukup represif. Dialog harus dikedepankan mengingat kampus adalah ruang intelektual,” ujarnya.
Menurut Putri, rektor dan pejabat kampus di bawahnya tak seharusnya menunjukkan sikap intimidatif yang tak pantas dipertontonkan lembaga pendidikan. “Bahkan yang dikritik adalah kebijakan, bukan dengan ancaman,” tegasnya. (banyu mili)
Uang pangkal (UP) adalah uang yang dikeluarkan selain uang kuliah tunggal (UKT) 1x selama kuliah. Wajar jika Julio bersama teman-temannya menolak hal tersebut karena bayar UKT saja sudah mahal.
Dan kebijakan UKT yang mulai diterapkan pada tahun 2013 ini awal mulanya keluar untuk menghapus adanya UP. Beginilah ketika pendidikan dikomersialisasi, yang menjadi korban tentunya adalah rakyat. Selama sistem yang diterapkan di Negara ini adalah kapitalisme, maka komersialisasi pendidikan akan terus ada.
Sayangnya, respon pihak UNNES (Universitas Negeri Semarang) terlalu berlebihan dalam menghadapi suara mahasiswa ini. Pemberian skorsing kepada mahasiswa yang mengingatkan dan mengkritik kebijakannya yang dzolim adalah suatu tindakan represif untuk membungkam suara mahasiswa.
Sebagai seorang intelektual kampus, harusnya pihak kampus UNNES juga bersikap secara intelek. Mendudukkan para mahasiswa uang menyuarakan penolakan UP tersebut dan mendengarkan alasan dan keinginan mahasiswa tersebut.
Bukan dengan menggebuk dan membungkam mahasiswa yang kritis dengan SKORSING. Itu tindakan represif dibalik kekuasaan!
Hal ini tentu tidak bisa dibiarkan begitu saja, jika mahasiswa kritis dan berani langsung dibungkam dan digebuk menggunakan kekuasaan. Maka ini sama saja membiarkan sikap represif pemilik kebijakan untuk membungkam suara kritis mahasiswa.
Mahasiswa jangan diam! Teruslah berani menyampaikan bahwa yang benar itu benar dan yang salah itu salah.
Dwi Maulidiniyah