Memenangkan Prabowo Subianto menjadi presiden Republik Indonesia pada Pemilu 2019 bukan hanya tugas tim sukses atau yang disebut sebagai Badan Pemenangan Nasional Pemenangan Prabowo-Sandi, tetapi menjadi tugas bagi seluruh masyarakat yang merindukan kedamaian dan keadilan sosial.
Ada dua alasan yang paling mendesak kenapa harus memenangkan Prabowo-Sandi.
Alasan Pertama adalah tentang keadilan sosial.
Keadilan sosial masih menjadi wacana belaka, untuk membumbui teks pidato dan argumentasi seminar. Pada substansinya keadilan masih jauh dari harapan dan cita-cita kemerdekaan. Persoalan keadilan sosial ini menjadi penting untuk diingatkan secara berulang-ulang kepada seluruh rakyat Indonesia, supaya tahu sebab musabab terjadinya kecemburuan sosial yang berujung pada retaknya kohesi sosial.
Secara kasat mata keadilan sosial hanya dituliskan sebagai sila kelima dari pancasila. Banyak tokoh menyebutnya sebagai sila paling sial. Kenapa sial?
Mengambil data Badan Pusat Statistik tahun 2018 disebutkan angka sebanyak 26,58 juta penduduk Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan. Jadi ada sekian banyak orang yang transaksi bulanannya kurang dari Rp 400 ribu. Berarti secara rasio kesenjangan sosial masyarakat Indonesia berada di angka empat dunia. Hal ini tentu perlu segera diatasi.
Rasio kesenjangan di bidang ekonomi sangat mengkhawatirkan. Pada tahun 2016 angka gini ratio sudah mencapai 0,49 persen. Berarti 1 persen orang kaya di Indonesia mengusai 49 persen kekayaan alam Indonesia. Ini merupakan ketimpangan yang luar biasa, dan akan memicu terjadi perpecahan dan huru-hara perang saudara yang berkepanjangan.
Dengan gini ratio 1 persen seperti ini, dalam Buku 'Paradoks Indonesia', Prabowo menjelaskan, orang Indonesia memiliki 49 persen kekayaan Indonesia. Jadi, jika populasi penduduk Indonesia 250 juta, artinya hampir 50 persen kekayaan indonesia dikuasai oleh 2,5 juta orang saja.
Keadaan semacam ini tentu akan menjadi tsunami yang menghantam persatuan bangsa. Itulah sebabnya, kenapa persoalan kesenjangan sosial ini menjadi agenda mendesak untuk diatasi setelah suksesi 2019 nanti. Tentu langkah untuk mengetas kemiskinan yang semakin membengkak ini akan mampu diatasi apabila pemimpin Indonesia betul-betul mengutamakan kepentingan bangsa dari kepentingan individu, paham akan bagaimana mengelola negara, dan paling penting adalah mampu berlaku adil untuk menciptakan kemakmuran rakyat banyak.
Selanjutnya adalah keadilan di bidang hukum.
Sepertinya adegium 'hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah' masih menjadi ungkapan yang akan diulang-ulang setiap kita berdiskusi dan berpidato. Kapan negara ini mau mengakhiri adegium itu?
Persoalan keadilan hukum ini menjadi penting, mengingat selamat satu periode pemerintahan Jokowi banyak sekali masalah penegakan hukum yang dianggap tidak memenuhi rasa keadilan. Akibat tidak adanya keadilan itulah muncul gelombang besar yang dimotori oleh ulama dan tokoh Islam sehingga melahirkan akhir besar yang berujung pada aksi super damai 212.
Meskipun momen dari aksi itu telah selesai, tetapi rasa ketidakadilan itu mendorong umat Islam untuk mengadakan peringatan terhadap protesnya dua tahun lalu, di mana mereka merefleksikan perjuangannya untuk mendorong pemerintah menegakkan hukum bagi penista agama.
Tidak sampai di situ, gelombang serangan balik dari pihak penista agama sangat kuat. Sehingga setiap ulama dan tokoh Islam dilaporkan ke polisi, maka dengan cepat direspon dan ditindak. Rasa keadilan terusik kembali, dan kini mayoritas umat Islam merasa terpanggil untuk berjuang mengakhiri ketidakadilan ini melalui momentum 2019.
Kedaulatan
Penguasaan proses produksi migas di sektor hulu di wilayah pertambangan Indonesia yang dikuasai asing, saat ini telah mencapai 85 persen. Hal ini terjadi lantaran UU 22/2001 tentang Migas memberikan kebebasan sepenuhnya bagi kontraktor- kontraktor kerja sama dengan pihak asing.
Saat ini saja kurang lebih 85 persen produksi (migas) di sektor hulu sudah dikuasai oleh asing. kedaulatan Migas Indonesia di era rezim Jokowi yang dirongrong oleh para kapitalis liberal, dan ini sangat memprihatikan.
Hadirnya Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing sungguh cepat, kalau tak ingin disebut kilat. Peraturan yang mempermudah Penggunaan tenaga kerja asing ini menjadi problem tersendiri. Selain meminggirkan angkatan kerja kita yang masih pengangguran, juga mengusik kedaulan bangsa Indonesia. kedaulatan Indonesia sedang dikepung oleh pekerja Asing dari Tiongkok.
Eksodus membanjirnya pekerja ilegal juga akibat dipermudahnya pekerja Asing memiris hati. Para pekerja yang datang itu, selain diduga sebagai mantan wajib militer di negaranya, juga keberadaannya yang jauh dari pemukiman warga akan mudah mendirikan kekuatan-kekuatan atau kamp-kamp mengepung Indonesia.
Apalagi wilayah yang berbatasan dengan Indonesia kini telah banyak ditempati armada militer negara-negara kuat. Di Sekitaran tebing Darwin yang berbatasan langsung dengan Australia ada pasukan militer Amerika dan akan ditingkatkan sekitar 2.500 marinir.
Selain di Australia, posisi militer AS juga terdapat di Kepulauan Diego Garcia yang berada di tengah Samudera Hindia. Lokasi terdekat lainnya adalah Filipina yang dianggap sebagai koloni abadi AS. yang Paling dekat adalah pasukan AS di Singapura yang berbatasan dengan Batam kepulauan Riau.
Belum lagi ngototnya cina untuk memaksakan kehendak di Perairan Laut Cina Selatan. Meskipun arbitrase internasional memenangkan Filipina di pengadilan, China menolak itu. Ini tentu merupakan ancaman besar bagi Indonesia.
Yang lebih mencengangkan adalah pemerintah menghapus 35 bidang usaha dari daftar negatif investasi (DNI) dalam paket kebijakan ekonomi jilid X. Kini investor asing bisa sepenuhnya atau menanamkan modal 100 persen untuk menguasai bidang-bidang usaha tersebut.
Jelas ini sangat merugikan pedagang kecil dan rakyat Indonesia pada umumnya. Seakan-akan dengan keluar kebijakan warga negara asing boleh berjualan dengan menanam modal 100 persen itu, pemerintah Indonesia lebih mensejahterakan asing daripada warganya sendiri. Apakah kita telah kehilangan kedaulatan sama sekali atau kita tengah menyediakan fasilitas bagi neokolonialisme yang lebih massif.
Duet Prabowo-Sandi jalan keluar.
Duet seorang perwira militer yang berpengalaman dengan pengusaha muda yang sukses telah memberikan angin segar bagi ketimpangan sosial, ketidakadilan yang merata, dan kedaulatan yang tengah dironrong oleh asing.
Sebab, sebagai militer, Prabowo adalah seorang ahli dalam menciptakan strategi bagi ketahanan bangsa dan negara dari bahaya asing. Pengalamannya di bidang militer dengan dulungan pengetahuannya yang gamblang tentang arah Indonesia ke depan menjadi optimisme bagi kaum-kaum terpelajar dan intelektual.
Berbagai pidato dan tulisannya, Prabowo mendiagnosa masalah Indonesia dan memberikan solusi supaya Indonesia tidak bangkrut dan bubar, bahkan sebaliknya ia memiliki konsep yang utuh untuk memajukan Indonesia.
Untuk menopang strategi dan konsep yang sangat komprehensif itu Prabowo menggandeng Sandiaga Uno sebagai wakilnya. Seorang anak muda yang telah mampu memberikan banyak lapangan kerja bagi banyak orang.
Pengalaman dan jiwa mudanya sangat dibutuhkan oleh Indonesia. Sandiaga mengerti tentang bagaimana membangun perekonomian nasional yang tidak melulu mengandalkan hutang. Duet ini akan menjadi duet maut bagi kemajuan Indonesia yang akan datang.
Karena di tengah bangsa yang kehilangan keteladanan kepempinan dari pemimpinannya, kehilangan kepercayaan setelah dibohongi dengan janji-janji muncullah dua sosok yang memiliki integritas bagus, rekam jejaknya mengilaukan mata dan optimisme membangkitkan semangat. Mereka mengusung Indonesia yang adil dan makmur, dua hal yang masih sangat sulit untuk diwujudkan apalagi setelah utang membengkak, hukum dijadikan alat untuk mengkriminalisasi lawan politik.
"Ketika pemujaan terhadap infrastruktur membabi buta, sementara masalah fundamental bangsa mereka buta, lalu mengaku diri sebagai yang paling berjasa, padahal mengklaim prestasi sejarah. Maka tidak ada kata lanjutkan, karena 2019 Indonesia adil dan makmur." Wallahualam bis shawab.
Furqan Jurdi
(ketua umum Komunitas Pemuda Madani)