Manusia adalah makhluk yang sering tidak konsisten (Anthony de Mello). Ia ingin menjadi makhluk yang berbahagia, tetapi acap kali ketika Tuhan memberikan semacam penghormatan lewat masalah, cenderung akan memberikan fokus pada sisi negatifnya.
Ia akan memberi makan pada kekhawatiran dan mempergemuk ketakutan. Hidup dalam bayang-bayang ini, kekhawatiran dan ketakutan, tentu amat menyiksa. Padahal, bahagia adalah ketika manusia melihat segala sesuatu sebagai proses pemapanan. Melihat suatu masalah bukan sebagai pengkerdil jiwa. Tetapi lihatlah masalah dari sisi positif, seperti pemahaman macam apa yang sedang Tuhan ijinkan terserap dalam hidup kita.
Inkonsisten disini artinya “mengharap bahagia”, namun masih memberikan ruang yang lapang terhadap potret-potret negatif, terutama ketika dibebankan masalah. Sementara bahagia, lagi, adalah reaksi itu sendiri terhadap masalah, yakni reaksi positif.
Nah, atas hal ini, kami jadi ingat pada ‘filosofi untung’ orang Jawa. Kalau kita perhatikan, orang Jawa gemar sekali menyelipkan kata pamungkas ‘untung’ dalam banyak percakapan. Misalnya, seseorang yang mengendarai motor banting stir ke parit sawah karena meilhat truk besar pada arah yang berlawanan. Seorang penduduk lokal yang melihatnya lantas menghampiri dan berujar, ‘Untung saja cuma lampunya yang pecah. Nah, coba kalau kepalamu yang pecah’.
Atau seorang ibu lupa mengangkat jemuran ketika hujan turun. Ia lalu berkata dalam hatinya, ‘Untung bajunya gak basah semua. Kalau basah, besok bisa gak pakai pakaian’. Atau contoh lain, seorang anak menjerit kesakitan karena baru saja kejatuhan kelapa. Kepalanya benjol besar. Bapaknya yang melihat itu lantas menghibur, ‘Untung cuma kelapa. Coba kalau durian’. Dan masih banyak contoh untung lainnya yang pastinya sering kita dengar, atau malah kita gunakan tanpa sadar.
Ini mengingatkan kami juga pada kisah tabrakan antara TransJogja 2B dengan Mobil Honda yang diunggah di Youtube. Wong Jogja Ketika Kecelakaan.
Di kisahkan, dari sumber lain, jika Trans Jogja ini menabrak mobil Honda di depannya sampai-sampai para penumpang terpental. Bayangan tentang gondok-gondokan antar pengemudi muncul di benak para penumpang.
Bakal muncul adu mulut dan mungkin fisik. Tapi, tunggu. Kenapa dua pengemudi ini malah saling melempar senyum, bahkan tertawa dan bukannya melempar kata-kata pedas? Adakah yang salah dengan mereka? Nyataya tidak. Mereka sehat walafiat. Mereka menampakkan bahasa tubuh yang akrab dan bukannya defensif atau ofensif.
Mungkin, karena kultur mereka sangat menjunjung tinggi solidaritas. Kalau menurut Niels Mulder, orang-orang Jawa memang punya rasa kolektivitas yang tinggi. Mereka juga cenderung menghindari konflik demi persaudaraan atau kesetiakawanan sosial. Dan bisa jadi, inilah salah satu cara mereka untuk menopang kultur tadi.
Melihat contoh-contoh ini menurutku orang Jawa sebenarnya adalah manusia yang paling konsisten di dunia ini untuk menjadi bahagia. Pilihan mereka untuk menggunakan kata ‘untung’ adalah buktinya. Untung sering dikaitkan dengan hal positif. Dan hal yang positif adalah pemicu paling cair untuk menumbuhkan kebahagiaan.
Jangan-jangan, orang Jawa memang orang yang paling berbahagia di dunia ini. Karena semuanya serba untung. Meskipun bukan Jawa, untunglah kami banyak bergaul dengan mereka.
Catatan :
Kalau diperhatikan, Penggunaan kata ‘untung’ dalam bahasa Jawa dapat diartikan sebagai salah satu cara untuk mensyukuri sesuatu yang telah terjadi. Bisa disimpulkan bahwa orang Jawa adalah orang-orang yang selalu bersyukur
Ditulis oleh :
Efrial Ruliandi Silalahi dan Fransiscus Chrismanto Simamora