Mengingat romantika masa remaja ketika tinggal di kota Jogja yang penuh kenangan, Kota Jogja dengan segala kekurangan dan kelebihannya, sungguh bikin kangen, bagi siapapun yang pernah tinggal disini dan telah lama meninggalkannya. Jogja memang kota unik diantara banyak kota-kota di Nusantara yang pernah Code Lab singgahi.
Okey inilah rekaman kehidupan sehari hari masyarakat Jogja, siapa tau ada yang berminat untuk membaca kisah ini..
Menurut Babad Gianti, Yogyakarta atau Ngayogjokarto (bahasa Jawa) adalah nama yang diberikan Paku Buwono II (raja Mataram tahun 1719-1727) sebagai pengganti nama pesanggrahan Gartitawati. Jogjakarta berarti Jogja yang kerta,
Sedangkan Ngayogjokarto Hadiningrat berarti Jogja yang makmur dan yang paling utama. Sumber lain mengatakan, nama Yogyakarta diambil dari nama (ibu) kota Sanskrit Ayodhya dalam epos Ramayana. Dalam penggunaannya sehari-hari, Yogyakarta lazim diucapkan Jogja(karta) atau Ngayogyakarto (bahasa Jawa).
MOBIL
Masa itu entah karena keterbatasan wawasan atau karena masih sedikitnya sarana kendaraan maka orang menyebut kendaraan roda empat itu dengan kata “montor”. mungkin hingga kini masih banyak masyarakat Jogja yang menyebut mobil dengan kata "montor'
Mobil pada masa itu kadang dibekali sepotong besi namanya slenger alat ini berguna untuk menghidupkan mesin dengan cara memasukkan dibawah radiator kemudian diputar kekanan atau di slenger sampai mesin hidup, kalau tidak bisa hidup terpaksa didorong ramai-ramai.
“PIT MONTOR”
Disamping sepeda (pit), alat untuk wira-wiri lainnya adalah sepeda kumbang, disebut demikian karena suara mesinnya kalau dihidupkan mbrengengeng seperti suara tawon. Sebutan lainnya adalah “Pit montor” yaitu sepeda yang ada mesinnya.
Mereknya ada beberapa mulai dari Ducati, Mobilet, Alpino, DKW, Victoria dan Solex. Khusus merek Solex yang buatan Holland mesinnya 50 cc nempel di ban roda depan, biasanya dikendarai sebagai motor dinas oleh para suster, model ini bisa berfungsi sebagai sepeda onthel jika handelnya ditarik guna mengubah posisi mesin agar tidak nempel di ban.
Sedangkan merek Victoria buatan England mesinnya 50 cc nempel disamping kiri bawah boncengan belakang, bukan dibawah tempat duduk seperti umumnya sepeda motor sekarang.
Merek Honda merupakan sepeda motor buatan Jepang yang paling awal dikenal masyarakat muncul menjelang tahun 70 an. Saking populernya maka semua merk sepeda motor buatan Jepang yang muncul kemudian disebut “Honda”.
MALIOBORO
Masa itu kemana-mana naik pit, ke Prambanan, Borobudur, Parangtritis, Imogiri semuanya naik pit, apalagi dalam kota termasuk kawasan Malioboro yang longgar dan belum semrawut, lalu lintasnya masih dua arah , trotoar masih lebar, bangunan toko lantai bawah belum di krowak dibuat lorong sehingga para pejalan kaki masih kepanasan kena terik sinar matahari atau kehujanan. Toko terbesar waktu itu namanya toko “Ramai”, sekarang jadi Rami Mall. Ada toko arloji terkenal namanya “Kota Mas” dan toko ini sampai sekarang masih hidup.
Diujung jalan Malioboro terletak pasar Beringhardjo, malam hari jika lapar ingin cari makan tinggal saja nongkrong ditrotoar depan pasar, disitu ada orang jualan gudeg, duduk diatas tikar, santai menikmati makan nasi gudeg tinggal pilih lauknya opor ayam atau dodo menthok, kalau telor dan tahu itu pasti, minumnya teh nasgitel singkatan dari panas, legi, kenthel atau pilih kopi atau wedang ronde, inilah awal mula atau cikal bakal orang jualan makanan lesehan seperti yang kita kenal sampai sekarang.
Di seberang pasar Beringhardjo terletak gedung bioskop Indra (bisokop ini sekarang sudah mati). Film-film yang diputar umumnya jenis film cow boy, India dan juga film Indonesia, hiburan yang murah kala itu ya nonton film. Kalau mau nonton terutama film “box office” harus berjuang antre bersaing dengan “makelar” yaitu para calo karcis yang seringkali disertai keributan.
Untuk pelajar / mahasiswa yang masuk siang disediakan waktu khusus pagi hari mulai jam 10.00 dinamakan pertunjukan “matinee”. Sehabis nonton matinee sekeluarnya dari gedung bioskop matanya kriyip-kriyip karena blereng alias silau sehabis dari ruangan gelap keluar kena sinar matahari jam 12.00...
Ada pembatasan usia penonton yaitu untuk segala umur, 13 tahun keatas dan 17 tahun keatas, untuk yang 17 tahun keatas kadang2 ini bisa disiasati dengan memakai celana panjang kalau badannya kecil. Film dengan judul yang sama seringkali diputar didua gedung bioskop dengan selisih waktu 15 menit atau 30 menit karena menunggu roll film dibawa dengan sepeda dari gedung bioskop sebelumnya.
RADIO
Belum ada televisi, yang ada baru radio itupun yang punya terbatas, dengan merek yang populer antara lain Blaupunt buatan Jerman, RCA buatan Amerika dan Philips buatan Holland. Didesa desa yang belum ada listriknya mesti pakai batery khusus untuk radio, bukan accu. Masa itu siaran radio hanya dari RRI yang tidak boleh menyiarkan lagu-lagu barat populer karena sedang gencar-gencarnya ada gerakan “kembali kepada kepribadian nasional”.
Stasiun Tugu masa kini |
Lagu-lagu the Beatle atau Bee Gees dan sejenisnya termasuk lagunya “Koes Bersaudara”digolongkan sebagai lagu ngak….ngik….ngok… yang tidak boleh untuk diperdengarkan.
Kalau pengin mendengarkan lagu-lagu barat harus nyetel Radio Australi yang meskipun agak kecil suaranya dan kemeresek tapi lumayanlah.
Untuk rakyat pada umumnya hanya mendengarkan dari radio umum yang dipasang diluar gedung kantor penerangan setempat, biasanya kalau malam minggu ada acara siaran wayang kulit semalam suntuk disitu puluhan penduduk dengan tertib bisa menikmatinya sambil duduk lesehan plus kemulan sarung.
Kebudayaan nasional khususnya di Jogja memang tambah gayeng dan marak. Ingat ketoprak pimpinan mBah Tjokrodjijo, dagelan mataramnya pak Basiyo dengan pangkur jengglengnya, kemudian sandiwara radio RRI dengan tokoh-tokohnya Sumardjono, Hastin Atas Asih, Unun Pratiwi, habib Bari, kemudian teknik dan montase dening Rahutomo tuwin Samudro menghipnotis masyarakat Jogja setiap minggunya, dan tak ketinggalan obrolan pak Besut yang berisi satire kehidupan masyarakat sehari-hari serta sedikit kritik kepada pemerintah yang dibawakan secara jenaka, dengan tokoh-tokohnya mulai mbok Besut, mbakyu Santinet dan Man Djamino.
MAKANAN
Jenis makanan atau jajanan masih sangat terbatas, mengingat daya beli masyarakat khususnya pelajar dan mahasiswa memang pas-pasan. Masa itu belum ada orang jualan makanan bakso yang dijual di mana-mana dengan gerobag dorong kecuali direstoran cina tertentu, namun sudah ada warung soto Kadipiro, gudeg Bu Juminten di Kranggan, mie jawa Mundiyo di jalan Brigjen Katamso, sate Pak Amad di alun-alun lor dekat gedung bioskop Sobo, kupat tahu di perempatan SGM dan ayam mbok Berek Kalasan.
Tetapi karena minimnya uang saku, jenis-jenis makanan tersebut tentu sekedar sebuah daftar yang sulit untuk dapat dijangkau. Namun, kalau toh pengin makan nasi gudeg tentu pilihannya gudeg tahu atau telor separo, kalau pengin gudeg ayam pilihannya jatuh pada organ ayam yang paling murah seperti suwiwi atau sayap alias “wing” atau gulu karo endas pitik alias kepala dan leher ayam. Paha apalagi dodo mentok masih merupakan “barang mewah” untuk ukuran kantong mahasiswa saat itu.
Bagi mahasiswa UGM ada istilah populer yaitu SGPC atau sego pecel warungnya bu Wiryo sebelah timur gedung pusat administrasi UGM Bulaksumur. Saat itu marak juga makanan bubur kacang ijo dan ketan item yang banyak dikunjungi mahasiswa. Berbagai jenis makanan snack mulai dari pisang goreng, tahu tempe bacem, tape goreng alias “rondo royal” atau balok alias singkong goreng tersedia di warung rumahan, salah satunya ada disudut pertigaan jalan Jendral Sudirman-jalan C.Simanjuntak.
Bagaimana dengan minuman? Sudah ada semacam soft drik “limun” (lemonade) oranyekrus “orange crush ” dengan rasa jeruk, ada juga minuman rasa temulawak yaitu sarsaparila, minuman2 tersebut rasanya kemranyas. Tapi kalau duit lagi cekak kita beli saja bubuk citrun yang warnanya macam-macam ada hijau, merah dan oranje nanti tinggal di sedu dengan air dingin atau air panas.
Minuman es gosrok ada, juga es lilin yang bentuknya memanjang seperti lilin diberi pegangan dari stick bambu, pabriknya ada di Lempuyangan. Di jalan Mangkubumi ada es cream namanya "Tip top" yang cukup terkenal. Bicara minuman es waktu itu masih ada orang jualan es ting ting yaitu es puter yang dipikul dijajakan keliling dengan membunyikan bel kecil bunyinya ting...ting...ting...
Khusus minuman kebugaran ada warung jamu Ginggang, letaknya di sebelah kraton Pakualaman yang menjual berbagai minuman jamu terutama es beras kencur dan cabe puyang. Ada juga penjual jamu pikul keliling kampung, namanya "jamu gandring" dikenal orang Jogja karena cara menawarkannya yang khas dengan suara keras;
"Jaa....muu...ja..muuuu...jamu..nee....jamu... gandringgg....over...treehhh..."
Tidak jelas maksud kata "overtreh" tetapi yang pasti ramuan jamunya terdiri dari jahe, gula jawa, mrica dan ramuan rempah rempah lainnya yang menyegarkan dan menyehatkan badan.
Tidak seperti umumnya bakul jamu, penjual jamu yang satu ini laki-laki berbadan tegap dan gempal. Ciri Khas lain adalah pikulannya ada semacam wayang orang di kedua sisi, tapi bukan tokoh wayang, hanya ciptaan si penjual jamu gandring.
Dahulu, para ibu jika menemukan kesulitan "ndulang" anaknya dan atau anaknya suka minta jajan, maka ibu itu akan bilang “nek jajanan terus ora gelem maem tak undangke jamu gandring, ben digawa lungo lebokne mbagor”
Itulah sebagian kecil wajah kota Jogjakarta tempo dulu, keadaan sekarang tentunya telah banyak berubah dan akan terus berubah sesuai perputaran jaman. Mengenang masa lalu setidaknya dapat melatih daya ingat kita agar tidak cepat tumpul. Semoga menjadi inspirasi bagi para pembaca lainnya untuk melengkapi sebagian kenangan ini dengan kenangan lainnya.